Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lima Pelanggaran Zionis Israel di Lebanon

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 55 detik yang lalu

55 detik yang lalu

0 Views

Asap mengepul di Provinsi Nabatieh di Lebanon selatan akibat serangan udara Israel. (Foto: Anadolu)

Aksi serangan pasukan Zionis Israel ke Lebanon telah meningkat selama sebulan terakhir dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Zionis melancarkan perangnya di Gaza.

Tindakan agresi itu, setidaknya menunjukkan lima jenis pelanggaran Zionis Israel terhadap hukum internasional.  Arabic Post melaporkan, Sabtu (12/10).

Dalam agresinya ke Lebanon, Zionis Israel memulainya dengan pengeboman melalui alat komunikasi pager dan pembunuhan para pemimpin gerakan Hezbollah, melalui invasi darat ke Lebanon selatan.

Selain itu, ada juga peningkatan serangan udara, perintah evakuasi warga sipil untuk meninggalkan rumah mereka, selain menargetkan  Pasukan Perdamaian PBB (UNIFIL).

Baca Juga: Masya Allah, di Pengungsian Anak-anak Gaza Tetap Menghafal Al-Quran

Tindakan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel di Lebanon merupakan perpanjangan dari serangkaian pelanggaran yang berujung pada kehadiran mereka di Pengadilan Internasional.

Mahkamah Internasional (ICJ) telah berulang kali menyerukan untuk mengakhiri agresi Israel di Gaza.

Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) juga sudah mengajukan permintaan agar pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanannya Yoav Galant.

Selanjutnya, dalam laporan Arabic Post disebutkan, ada sedikitnya lima bentuk pelanggaran Zionis Israel terhadap hukum internasional sejak Israel meningkatkan operasi militernya di Lebanon dan pasukan daratnya menginvasi bagian selatan negara tersebut, dengan klaim untuk menghancurkan infrastruktur dan militer Hezbollah.

Baca Juga: Satu Tahun Genosida di Gaza, Rakyat Palestina tidak Bersama Saudaranya

  1. Pelanggaran invasi darat ke Lebanon selatan

Meskipun Israel mengklaim bahwa mereka memiliki hak untuk membela diri, para ahli berpendapat bahwa pembelaan diri mempunyai batasan hukum, terutama jika penggunaan kekuatan senjata menginvasi ke negara lain secara tidak proporsional yang mengancam warga sipil.

“Anda mempunyai hak untuk membela diri, tetapi Anda harus melakukan pembelaan diri itu dengan cara tertentu,” kata Hakim Kai Ambos, seorang guru besar hukum di Universitas Göttingen, Jerman.

Ambos merupakan anggota pengadilan khusus di Den Haag, yang mengadili kejahatan perang yang dilakukan di Kosovo pada tahun 1990an.

Pasal 2(4) Piagam PBB menyebutkan, “melarang ancaman atau penggunaan kekerasan dan menyerukan kepada semua anggota untuk menghormati kedaulatan, integritas teritorial dan independensi politik negara lain.”

Baca Juga: Parfum Mawar Untuk Masjid Al-Aqsa

Piagam PBB juga sudah menetapkan bahwa hak untuk membela diri tidak berlaku “sampai Dewan Keamanan PBB mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.”

Dewan Keamanan PBB telah mencoba untuk mengamankan gencatan senjata antara Israel dan Hezbollah sejak tahun 2006, saat Israel melancarkan invasi darat ke Lebanon.

Tahun itu, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang melarang pasukan asing memasuki Lebanon.

Beberapa pejabat PBB telah menyatakan bahwa invasi darat saat ini merupakan “pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Lebanon,” dan panel ahli PBB mengatakan bahwa hal tersebut merupakan “pelanggaran terbaru Israel terhadap hukum internasional.”

Baca Juga: Keseharian Nabi Muhammad SAW yang Relevan untuk Hidup Modern

  1. Pelanggaran mengebom warga sipil

Pasukan Zionis Israel telah memperluas aksi genosida yang dilakukannya di Gaza sejak 7 Oktober 2023, hingga mencakup sebagian besar wilayah Lebanon, termasuk ibu kotanya, Beirut, melalui serangan udara, sejak 23 September lalu, yang menargetkan warga sipil.

Intensitas kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya berdampak pada peringatan internasional dan resolusi PBB.

Korban sisipil tecatat hingga Jumat malam (11/10/2024), mengakibatkan 1.411 orang tewas dan 3.979 orang terluka, dengan sejumlah besar perempuan dan anak-anak.

Dampak lainnya, lebih dari 1,34 juta warga menjadi pengungsi, menurut data resmi Lebanon.

Baca Juga: Satu Tahun Badai Al-Aqsa, Membuka Mata Dunia

Banyaknya korban sipil ini mendapat kecaman internasional yang luas, terutama karena telah menewaskan sedikitnya 558 orang, termasuk 50 anak-anak dan 95 wanita, hanya dalam satu hari.

Para pemimpin internasional telah menyatakan keprihatinannya mengenai serangan Israel di Lebanon, termasuk Perdana Menteri Irlandia Simon Harris, yang mengatakan bahwa jatuhnya korban sipil menunjukkan “pengabaian yang mencolok” terhadap hukum internasional

“Kami juga melihat warga sipil menjadi sasaran lagi. Kami tidak melihat respons yang ditargetkan,” kata Harris, merujuk pada jumlah anak-anak yang menjadi korban tewas.

“Jadi pola pelanggaran hukum internasional dan mengabaikan perlindungan warga sipil,” tambah Harris.

Baca Juga: Satu Tahun Taufanul Aqsa

Hukum Konflik Bersenjata dan Konvensi Jenewa menyebutkan, kekuatan militer hanya untuk menargetkan sasaran militer dan personel militer.

Bahkan ketika melancarkan serangan terhadap sasaran militer yang sah, semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata wajib, sebisa mungkin, untuk mengurangi risiko kerugian dari pihak sipil.

Jika suatu saat pelaksanaan suatu serangan ternyata jelas mengakibatkan kerugian yang tidak proporsional bagi warga sipil, maka serangan tersebut harus dibatalkan atau diberikan peringatan yang sesuai.

Sebuah laporan oleh Amnesty International menggambarkan “peringatan” evakuasi Israel terhadap warga sipil di Lebanon sebagai sesuatu yang menyesatkan dan tidak memadai.

Baca Juga: Memetik Buah Manis Syukur dalam Kehidupan Muslim

Amnesty mengatakan bahwa peringatan evakuasi yang dikeluarkan oleh tentara pendudukan Israel kepada penduduk pinggiran selatan Beirut dan masyarakat Lebanon selatan tidak memadai, dan bahkan menyesatkan dalam beberapa kasus, menekankan bahwa peringatan ini tidak membebaskan Israel dari kewajibannya berdasarkan perjanjian hukum internasional dan hukum kemanusiaan.

“Peringatan yang dikeluarkan oleh tentara Israel kepada penduduk di pinggiran selatan Beirut yang padat tidak memadai,” kata Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International.

  1. Pelanggaran menargetkan tenaga medis

Pada tanggal 4 Oktober 2024, pesawat pendudukan Israel menargetkan ambulans di dekat Rumah Sakit Pemerintah Marjayoun di Lebanon selatan, menewaskan empat paramedis, menurut Kantor Berita resmi Lebanon.

Sehari sebelumnya, Menteri Kesehatan Lebanon Firas Al-Abyad mengungkapkan bahwa sejak 23 September, serangan udara Israel telah menewaskan 97 personel medis dan darurat serta menyebabkan kerusakan pada lebih dari 10 rumah sakit.

Baca Juga: Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga

Lebanon menyerukan komunitas internasional untuk turun tangan menghentikan pelanggaran tersebut.

Paramedis Lebanon juga melaporkan menerima panggilan aneh dengan suara berbahasa Arab di ujung sana, memperingatkan mereka untuk tidak mengevakuasi pusat kesehatan mereka.

Banyak perjanjian internasional yang mengkriminalisasi penargetan personel dan fasilitas medis selama perang, termasuk Pasal 12 Protokol Tambahan Pertama pada Konvensi Jenewa tahun 1977, yang menegaskan “perlunya menghormati dan melindungi unit medis bergerak dan tetap setiap saat.”

Pasal 18 Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 juga menyatakan bahwa “rumah sakit sipil yang diselenggarakan untuk merawat orang yang terluka dan sakit tidak boleh diserang, dan harus dihormati serta dilindungi dari semua pihak yang berperang.”

Baca Juga: Kekuatan Iman, Sumber Ketenangan dalam Hidup Sehari-hari

Sementara Pasal 8 Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional menganggap “serangan yang disengaja terhadap unit medis atau individu yang bekerja di dalamnya merupakan kejahatan perang, terutama jika mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional.”

  1. Pelanggaran ledakan alat komunikasi pager

Pertengahan September lalu, perangkat komunikasi nirkabel (pager) yang dibawa sejumlah anggota Hezbollah di berbagai wilayah Lebanon terkena peretasan Israel, yang menyebabkan perangkat tersebut meledak di tangan dan menyebabkan ratusan orang terluka, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon.

Korban luka diperkirakan berjumlah besar, dengan kurang lebih 4.000 orang menderita luka di kepala dan perut.

Beberapa dari mereka juga cacat kehilangan penglihatan atau anggota tubuh, terutama jari tangan.

Baca Juga: Meraih Syafaat Melalui Shalawat

Beberapa prinsip dasar telah muncul yang harus dipertimbangkan oleh negara dan peserta konflik lainnya sebelum mengambil tindakan militer apa pun. Prinsip “pembedaan” menyatakan bahwa pihak-pihak yang bertikai harus selalu membedakan antara kombatan dan penduduk sipil, serta antara sasaran militer dan obyek sipil (seperti rumah atau tempat ibadah).

Juga dilarang melancarkan serangan tanpa pandang bulu yang menargetkan warga sipil dan fasilitas sipil, serta untuk mencapai tujuan militer.

“Proporsionalitas” melarang serangan yang diperkirakan mengakibatkan kematian dan cedera pada warga sipil, atau kerusakan pada objek sipil, dengan cara yang “berlebihan” dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan.

Alonso Gormindi-Dinkelberg, peneliti di London School of Economics yang berspesialisasi dalam organisasi perang internasional, mengatakan sulit bagi Israel untuk memverifikasi prinsip proporsionalitas, perbedaan, dan kebutuhan militer sebelum serangan.

“Kami tidak memiliki cukup informasi untuk mengetahui secara pasti bagaimana pager tersebut diledakkan, namun jika seperti yang terlihat dari laporan yang ada, mereka diledakkan pada saat yang sama, sehingga sulit untuk melihat bagaimana verifikasi dapat dilakukan,” oleh Alonsi pada Middle East Eye.

  1. Menargetkan pasukan perdamaian PBB

Beberapa hari terakhir pecan kedua Oktber ini, militer Israel menargetkan anggota pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon selatan, UNIFIL.

Dua tentara dari Indonesia dilapokan terluka pada hari Jumat (11/10) ketika tank Israel menargetkan menara pengawas UNIFIL, pada serangan ketiga dalam dua hari berturut-turut.

Kantor Berita Lebanon melaporkan bahwa pasukan Israel menembakkan peluru artileri yang menargetkan pintu masuk utama pusat komando UNIFIL di Naqoura (selatan Lebanon), yang menyebabkan kerusakan di pintu masuk.

Pakar hukum menegaskan bahwa serangan Israel baru-baru ini terhadap Pasukan Sementara PBB di Lebanon merupakan pelanggaran hukum internasional. 3

Tamer Morris dari Fakultas Hukum Universitas Sydney mengatakan bahwa penjaga perdamaian tidak boleh menjadi sasaran selama mereka tidak terlibat langsung dalam perang melawan Israel, menurut Anadolu Agency.

Morris menambahkan bahwa menyerang pasukan penjaga perdamaian PBB merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.

Morris menjelaskan bahwa serangan itu juga merupakan pelanggaran terhadap Resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB, yang menetapkan tanggapan Dewan terhadap pelanggaran apa pun, mungkin dengan menjatuhkan sanksi terhadap Israel atau menyerukan penerapan resolusi tersebut.

Dia menambahkan bahwa serangan itu akan mengarah pada penyelidikan dan penuntutan atas kejahatan perang terhadap pejabat dan pemimpin militer Israel.

Dia menambahkan bahwa pasukan penjaga perdamaian bekerja di bawah kepemimpinan PBB, namun tetap mematuhi mandat nasional mereka.

Meskipun serangan terhadap pasukan UNIFIL secara teknis bukan merupakan serangan terhadap negara yang menyediakan pasukan, namun secara politis serangan tersebut dapat dianggap demikian oleh negara-negara yang bersangkutan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda