Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lima Penghalang Manusia Beramal Saleh

Rana Setiawan - Jumat, 5 Agustus 2016 - 22:15 WIB

Jumat, 5 Agustus 2016 - 22:15 WIB

756 Views

(KWPSI)

Banda Aceh, 2 Dzulqa’dah 1437/5 Juli 2016 (MINA) – Setiap orang Islam selalu bercita-cita ingin menjadi orang bertaqwa, beramal saleh, masuk surga dan diangkat martabatnya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan berbagai kebaikan di dunia dan akhirat kelak.

Namun, keinginan mulia tersebut biasanya sering hanya sebatas ucapan saja dan tidak sejalan dengan realita dalam kehidupan sehari-hari, karena di saat yang sama justru banyak Muslim yang sering terjebak pada perbuatan yang mengarahkan kita semakin menjauh dari amal saleh.

Demikian disampaikan Tgk H Muhammad Hatta Lc M.Ed (Pimpinan LPI Dayah Madani Al-Aziziyah Lampeuneureut Ujong Blang, Darul Imarah, Aceh Besar) ‎saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (3/8) malam, sebegaimana keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

“Semua kita kalau ditanya mau hidup senang dan bahagia dunia dan akhirat dan ingin masuk surga.Tapi giliran diajak beriman dan beramal saleh, semuanya menghindar. Ngomong saja takut pada Allah, padahal tiap saat berkhianat pada Allah‎. Apakah ini karena hatinya sudah digembok, sampai-sampa tidak paham lagi kebenaran dan tujuan hidup di dunia‎,” ujar Tgk. Muhammad Hatta yang juga Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh.

Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Diguyur Hujan 

Ulama muda yang akrab disapa Abiya Hatta ini juga menyebutkan, ‎sahabat Rasulullah, Saidina Ali‎ bin Abi Thalib pernah menyampaikan, kalau bukan karena lima perkara yang merusak di dunia ini, maka semua orang Islam akan berbuat kebaikan dan beramal saleh sehingga terangkat martabat‎nya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Pertama, merasa senang dengan kebodohan, artinya adalah membiarkan diri bahkan merasa nyaman dengan ketidaktahuan dalam masalah agama. Sebagaimana banyak terjadi pada Muslim masa kini yang tiap harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bermacam pekerjaan demi mencapai cita-citanya mengejar harta kekayaan dan materi dunia.

Sedangkan masalah ke-Islaman cukup dipasrahkan saja kepada para ulama atau ustaz yang dipanggil ketika dibutuhkan. Entah untuk berdoa, untuk ditanya, ataupun sekedar dijadikan teman curhatnya.

Tidak ada dalam dirinya keinginan belajar dengan sungguh-sungguh apa itu Islam dan bagaimana seharusnya menjadi Muslim yang baik. Tidak pernah ingin tahu cara salat dan wudhu yang benar.

Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan

“Tidak merasa khawatir kita bodoh dengn ilmu agama, salatnya dan bacaan Al-Fatihah salah tidak masalah. Ingin salat cepat dan tidak betah yang membuktikan kita belum cinta Allah. Padahal dekat dengan Allah saat sujud,” jelasnya.

Mereka sudah puas dengan pengetahuan yang didapatnya dari teman ataupun dari meniru tetangga. Paling-paling belajar keislamannya didapat dari tayangan televisi, tidak belajar ilmu agama secara khusus dengan‎ sanad ilmu yang jelas.

Memang itu tidak salah, tapi semua itu menunjukkan ketidak seriusan keislaman mereka dibandingkan dengan keseriusannya belajar ilmu pengetahuan atupun kesibukannya mengurus berbagai urusan dunia.

Orang seperti ini seharusnya mengingat pesan Rasulullah Saw: “Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tetapi bodoh dalam urusan akhirat”.

Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan

Kedua, tamak atau terlalu cinta dengan dunia dan takut mati‎. Orang ini mau masuk surga, tapi tidak siap mati karena merasa banyaknya dosa dalam hidup ini.‎ “Tidak siap mati/gelapnya alam kubur, itu sama juga tidak mau masuk surga,” jelasnya.

Ketiga, bakhil dengan kelebihan harta. Siapapun yang tamak dan merasa kurang dengan berbagai kepemilikan hartanya pastilah dia akan berlaku bakhil dan sangat sayang dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menyinggung tentang ketamakan. Beliau berkata, mencintai harta adalah sumber segala kecelakaan dan keburukan. Baik keburukan fisik maupun mental.

Kita perlu berintropeksi diri mengapa diri ini seringkali mengejar satu pekerjaan. Betapa para pebisnis itu sering kali keluar masuk rumah sakit berganti-ganti penyakit karena komplikasi yang disebabkan kurangnya perhatian dalam mengurus diri dan lebih suka mengejar materi.

Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia

Betapa kecintaan dan ketamakan dunia selalu membawa petaka. Belum lagi petaka mental yang merusak negeri ini. Korupsi, kolusi dan juga kebiasaan berbohong demi citra diri semua bermuara pada satu kata ‘tamak terhadap dunia’.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:‎ Zuhud (tidak suka) dunia sangat menyenangkan hati dan badan. Sedangkan cinta dunia sangat melelahkan hati dan badan.

Kebakhilan ataupun kepelitan merupakan dampak sistemik yang tidak terhindarkan dari ketamakan dunia. Kebakhilan pasti akan menjauhkan seseorang dari Allah, surga dan sesama manusia. Itu artinya kesalehan bagi orang yang bakhil adalah angan-angan belaka.

“Seandainya kikir para sahabat Rasul dulu, kita hari ini tidak akan pernah kenal Islam. Kelebihan Khadijah sangat dermawan, begitu juga Usman bin Affan, ‎Abdurrahman bin Auf ‎dan lainnya sehingga Islam tegak sampai‎‎ hingga sekarang,” terang kandidat Doktor di UIN Ar-Raniry ini.

Keempat, riya dalam beramal. Riya’ adalah pamer yaitu melakukan satu amal ibadah (agama) dengan maksud mendapatkan pujian dari manusia. Riya dapat juga dikatakan dengan mengharapkan nilai dunia dengan pekerjaan akhirat.

Baca Juga: Longsor di Salem, Pemkab Brebes Kerahkan Alat Berat dan Salurkan Bantuan

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menegaskan, riya termasuk dalam kategori syirik kecil (As-syirikul asyghar) dalam salah satu sabdanya “Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan atas dirimu adalah syirik kecil, yaitu riya.”

Perwujudan riya yang sangat halus dan tidak kentara. Adanya hanya dalam hati. Tidak ketahuan di dalam tindakan diri. Para sufi mengibaratkan halusnya riya seperti semut hitam yang merayap di atas batu keras warna hitam di tengah pekat malam. Begitu halusnya riya hingga seringkali mereka yang terjangkit penyakit ini seringkali tidak sadar.

Kelima, adalah ujub atau membanggakan diri. Yaitu merasa diri paling benar dan sempurna dibandingkan dengan yang lain. Ketidakbolehan perasaan ujub ini dikhawatirkan pada lahirnya kesombongan, dan kesombongan itu sendiri merupakan sifat Allah yang tidak boleh ada dalam diri manusia.‎(T/R05/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Tausiyah Kebangsaan, Prof Miftah Faridh: Al-Qur’an Hadits Kunci Hadapi Segala Fitnah Akhir Zaman

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
MINA Millenia
Indonesia
Indonesia