Lima “Tersangka” Serangan Kimia di Suriah (Pertama dari 2 Tulisan)

Presiden Bashar Al-Assad bertemu rekan Rusianya Vladimir Putin di Sochi, . (Dok. Today)

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)

Sabtu, 7 April, para petugas penyelamat sipil dan medis melaporkan telah terjadi serangan kimia di Douma, sebuah kota kecil di Ghouta Timur, timur pinggiran Damaskus, ibu kota Suriah.

Lebih 40 warga sipil meninggal dengan kondisi lemas dan tercekik sulit bernapas, banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Ada pula yang melaporkan bahwa korban mencapai 80 orang.

Anggota tim penyelamat White Helmets di lokasi mengatakan, seluruh keluarga mati lemas ketika mereka bersembunyi di ruang bawah tanah, tempat mereka biasa berlindung dari serangan udara dan bom drum.

Ketua White Helmets Raed Al-Saleh mengatakan, gas klorin, serta gas yang tidak teridentifikasi tetapi lebih kuat, dijatuhkan di Douma.

Petugas penyelamat dan medis segera menyalahkan Pemerintah Suriah sebagai pihak penyerang.

Douma adalah kota terakhir yang dipertahankan oleh kelompok oposisi Jaish Al-Islam di Ghouta Timur, daerah kantong yang hampir dua bulan mengalami serangan besar-besaran dari pasukan Pemerintah Suriah dan Rusia.

Ghouta Timur menjadi prioritas untuk ditaklukkan karena posisinya berada di pinggiran timur Damaskus, yang jika dibiarkan akan mengancam ibu kota negara perang itu.

Namun, dengan cepat Pemerintah Damaskus dan Rusia membantah bahwa serangan udaranya menggunakan bahan kimia.

Terduga Suriah

Suriah adalah tersangka utama pelaku serangan kimia di Douma, meski tidak ada saksi mata yang melihat bahwa jet tempur Suriah menjatuhkan senjata terlarang tersebut.

Tudingan itu sangat beralasan, karena sejak 8 Februari hingga akhir Maret, pasukan Suriah bersama sekutunya telah menggelar operasi besar-besaran di Ghouta Timur yang menewaskan lebih 1.600 warga sipil. Operasi besar tersebut bertujuan menyingkirkan oposisi Suriah dari Ghouta dan mensterilkan wilayah sekitar ibu kota dari keberadaan kelompok oposisi.

Namun, ada beberapa situasi yang membuat pasukan Suriah jauh sebagai tersangka.

Pertama, pasukan Suriah tidak perlu menggunakan serangan kimia dan jika melakukannya justru jadi boomerang baginya.

Serangan kimia terjadi di saat pasukan Pemerintah sudah menguasai lebih 95 persen wilayah Ghouta Timur, bisa dikatakan seluruhnya. Menjadi pertanyaan jika serangan kimia itu ditujukan kepada kelompok oposisi yang sebelumnya dilaporkan sudah pergi meninggalkan Ghouta Timur.

Kurang sepekan dari serangan kimia, tepatnya Senin 2 April 2018, pejuang kelompok oposisi terakhir, Jaish Al-Islam meninggalkan Ghouta, setelah mereka sepakat dalam negosiasi dengan Rusia untuk dievakuasi pergi ke utara Suriah. Perginya kelompok oposisi terkuat dari Ghouta Timur tersebut mengakhiri pemberontakan panjang di Ghouta Timur.

Kondisi Ghouta Timur yang sudah ditaklukkan membuat kota Douma pun tidak berbahaya dan tidak ada alasan kuat bagi pasukan Suriah melepaskan serangan kimia, kecuali Damaskus memang menargetkan warga sipil.

Kedua, Suriah sudah dilucuti. Pada tanggal 6 Oktober 2013, para pakar yang melaksanakan mandat resolusi Dewan Keamanan PBB mulai memusnahkan hulu-hulu ledak peluru kendali, bom-bom udara serta peralatan yang mengandung kimia di Suriah.

Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) bertugas memusnahkan 1.000 ton zat saraf sarin, gas kimia dan persenjataan terlarang lainnya di lusinan lokasi di Suriah hingga pertengahan tahun 2014.

Persetujuan Presiden Bashar Al-Assad untuk dimusnahkan seluruh senjata kimianya, terjadi setelah peristiwa serangan kimia di Ghouta pada 21 Agustus 2013 yang menewaskan ratusan warga sipil.

Serangan kimia itu membuat Amerika Serikat mengancam akan menyerang Suriah dan memaksa PBB mengeluarkan resolusi. Namun, Presiden Assad tetap membantah bahwa pasukannya melakukan serangan kimia di Ghouta.

Jika serangan kimia terbaru di Douma dilakukan oleh pasukan Suriah, timbul pertanyaan, “Apakah Suriah masih memiliki senjata kimia?”

Jika benar Damaskus adalah pelaku penyerangan kimia di Dhouma, itu berarti ada senjata kimia yang lolos dari pemusnahan, atau diproduksi setelah tahun 2014, atau pasukan Suriah mendapat dari sekutunya, yaitu Rusia atau .

Terduga Rusia

Jet tempur Rusia di Suriah. (Foto: Kementerian Pertahanan Rusia)

Sebagai sekutu utama Suriah dalam menaklukkan kantong oposisi Ghouta Timur, militer Rusia termasuk terduga utama pelaku serangan kimia di Douma. Sebagai negara produsen senjata, Rusia sangat mampu menggunakan senjata kimia di Suriah, tempat militernya menjadi kekuatan utama dalam melawan pemberontakan terhadap Pemerintah Suriah.

Anggota parlemen Rusia Vladimir Shamanov pada 22 Februari mengatakan, wilayah dan kota-kota di Suriah telah menjadi tempat uji coba teknologi militer terbaru Rusia.

“Ketika kami membantu orang-orang Suriah, kami menguji lebih dari 200 jenis senjata baru,” kata Shamanov.

Shamanov mengisyaratkan bahwa senjata tersebut telah “berhasil” sehingga Pemerintah Suriah telah memesan stok dan tidak ragu lagi akan digunakan untuk rakyat mereka sendiri.

Rusia menjadi pemasok sebagian besar gudang persenjataan Pemerintah Suriah yang telah digunakan secara ekstensif selama perang.

Namun, Rusia pun sudah “tidak memiliki” senjata kimia, karena pada 27 September 2017 Rusia memusnahkan stok senjata kimianya yang masih tersisa.

“Hari ini amunisi kimia terakhir dari stok senjata kimia Rusia akan hancur,” kata Presiden Rusia Vladimir Putin saat itu.

“Ini benar-benar peristiwa bersejarah, dengan mempertimbangkan jumlah besar yang kami warisi dari masa Uni Soviet yang cukup untuk menghancurkan semua makhluk hidup berkali-kali. Ini adalah langkah besar untuk membuat dunia modern lebih seimbang dan aman,” katanya.

Saat operasi di Ghouta Timur, pejabat militer Rusia menjadi negosiator dengan kelompok-kelompok oposisi agar mau menyerah dan meninggalkan Ghouta Timur. Dengan perginya kelompok kombatan, korban sipil tidak jatuh lebih banyak karena keberadaan mereka. Karenanya, menjadi pertanyaan jika Rusia pelaku serangan kimia di saat Ghouta Timur sudah terkendali dan bebas dari militan.

Terduga Iran

Iran termasuk pihak yang dituding oleh Amerika Serikat bertanggung jawab atas terjadinya serangan kimia di Douma.

Iran memiliki kehadiran militer di Suriah sebagai sekutu utama Presiden Assad, tapi tidak signifikan seperti Rusia. Iran lebih kepada pengiriman “penasihat militer” dan lebih banyak mengirim pasukan para militer yang mereka rekrut, latih dan bayar. Milisi asal Irak dan Afghanistan itu bernama divisi Fatemiyon.

Iran pun dilaporkan juga membangun fasilitas militer di Suriah, yang kemudian menjadi target Israel dalam serangan udara, seperti serangan 9 April yang melanda pangkalan udara Suriah, menewaskan tujuh penasihat militer Iran.

Namun, nyaris tidak pernah terdengar bahwa jet tempur Iran beroperasi di Suriah.

Adapun serangan kimia di Douma dijatuhkan oleh pesawat. (A/RI-1/RS2)

Tulisan masih bersambung ke Lima “Tersangka” Serangan Kimia di Suriah (Kedua dari 2 Tulisan)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.