DALAM dunia dakwah, lisan seorang da’i adalah senjata utama yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah pesan. Ucapan yang santun ibarat embun di tengah gurun; menyejukkan jiwa, mendamaikan hati, dan membuka jalan bagi hidayah. Sebaliknya, lisan yang tajam dan menyakitkan, walau sarat ilmu, bisa menjadi penghalang bagi sampainya kebenaran.
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan, terlebih bagi mereka yang mengemban amanah dakwah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah prinsip dasar yang menjadi pijakan seorang da’i dalam menyampaikan pesan-pesan langit.
Seorang da’i tidak cukup hanya memiliki ilmu yang luas, tetapi juga akhlak mulia yang memancar dari lisan dan perbuatannya. Lisan yang santun adalah cermin dari hati yang bersih dan jiwa yang lapang. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata kepada Fir’aun dengan qaulan layyinan (perkataan yang lembut), meski Fir’aun adalah penguasa paling zalim saat itu (QS. Thaha: 44).
Dakwah yang menyejukkan bukan berarti mengaburkan kebenaran atau menyembunyikan kebaikan. Justru sebaliknya, ia menyampaikan kebenaran dengan cara yang penuh hikmah dan kelembutan. Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Baca Juga: Dari Boikot ke Bangkrut, Runtuhnya Bisnis-Bisnis Afiliasi Zionis
Adab seorang da’i dalam berdakwah mencakup cara berbicara, pemilihan kata, nada suara, ekspresi wajah, serta empati terhadap kondisi mad’u (objek dakwah). Seorang da’i tidak boleh merendahkan, mencela, apalagi menghakimi. Dakwah yang baik adalah dakwah yang mampu membuat orang merasa dihargai, bukan diadili.
Dalam kehidupan nyata, banyak orang lebih tersentuh oleh kelembutan daripada ketegasan yang membentak. Banyak hati yang terbuka karena keramahan, bukan karena debat yang keras. Oleh karena itu, da’i harus lebih mengedepankan pendekatan hati daripada logika semata.
Lisan yang santun adalah bagian dari strategi dakwah yang berkelanjutan. Sebab, dakwah bukan sekadar menyampaikan, tetapi juga membina dan membimbing. Untuk membina, diperlukan hubungan yang hangat dan saling percaya, dan ini tidak akan terbangun tanpa lisan yang menyejukkan.
Kesantunan dalam berdakwah juga harus ditopang oleh kesabaran. Tidak semua orang langsung menerima nasihat. Ada yang menolak, ada yang mencemooh, bahkan ada yang memusuhi. Seorang da’i harus tetap santun, tidak mudah tersinggung, dan tidak membalas dengan kata-kata kasar. Inilah ujian sejati bagi lisan seorang penyeru kebaikan.
Baca Juga: Refleksi 70 Tahun KAA di Tengah Pelanggaran Gencatan Senjata di Gaza
Panduan adab ini juga mencakup niat yang lurus. Jangan sampai dakwah menjadi ajang pamer ilmu, unjuk kehebatan retorika, atau alat untuk menjatuhkan pihak lain. Dakwah adalah ibadah, maka harus disandarkan sepenuhnya kepada ridha Allah dan dilakukan dengan keikhlasan.
Di era digital, adab da’i juga diuji dalam ruang-ruang media sosial. Kata-kata yang diketik, komentar yang disampaikan, dan video yang dibagikan, semuanya merefleksikan karakter dakwah kita. Jika lisan kita santun di dunia nyata, maka jari kita pun harus santun di dunia maya.
Terkadang, da’i harus menyampaikan kritik. Dalam hal ini, adab tetap menjadi pagar. Kritik harus membangun, bukan menghancurkan. Jangan jadikan dakwah sebagai senjata untuk memojokkan individu, tetapi sebagai pelita yang menerangi jalan banyak orang.
Salah satu cara menjaga kesantunan lisan adalah dengan banyak berdoa dan introspeksi. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa, “Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang menjadi penjaga urusanku, perbaikilah duniaku yang menjadi tempat kehidupanku…” Dalam doa-doa ini tersimpan kesadaran bahwa lisan adalah bagian penting dari perbaikan diri.
Baca Juga: Membentuk Generasi Ahlul Qur’an, Tantangan dan Harapan
Mereka yang dakwahnya menyentuh biasanya bukan hanya pandai bicara, tapi juga hidup dalam apa yang mereka ucapkan. Konsistensi antara lisan dan perbuatan menjadikan dakwah lebih kuat dan terpercaya. Ketika ucapan selaras dengan tindakan, maka kata-kata menjadi lebih bermakna.
Akhirnya, dakwah yang menyejukkan akan meninggalkan jejak panjang dalam kehidupan umat. Lisan yang santun bisa menjadi sebab seseorang mendapatkan hidayah. Karena itu, marilah kita menjadi da’i yang bukan hanya berilmu, tapi juga beradab. Semoga Allah menjadikan lisan kita sebagai wasilah tersebarnya kebaikan di muka bumi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Habis Jahiliyah Terbitlah Nur, Pentingnya Menghapus Kebodohan dalam Cahaya Syariat Islam