SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lord Arthur Balfour Sumber Bencana Palestina

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 13 Maret 2024 - 21:18 WIB

Rabu, 13 Maret 2024 - 21:18 WIB

0 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency), Duta Al-Quds Internasional*

Pada Laporan Kabar Kemenangan Badai Al-Aqsha yang disampaikan oleh Gaza Crisis Center (GCC) edisi 154 halaman 11, Jumat 27 Sya’ban 1445 H. / 8 Maret 2024 M., menyebutkan aktivis kampanye “Palestine Action” untuk mendukung Palestina di Universitas Cambridge di Inggris merusak sebuah plakat bergambar “Lord Arthur Balfour,” yang membuka jalan bagi “Pembentukan tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi,” di #Palestina dalam apa yang dikenal sebagai “Deklarasi Balfour”.

Menurut media Middle East Monitor (MEMO), pengunjuk rasa pro-Palestina itu memotong lukisan Lord Balfour, mantan Perdana Menteri Inggris yang menjadi pendukung utama pembentukan negara Yahudi di Palestina.

Dalam sebuah video yang diposting di media sosial oleh Palestine Action, seorang anggota kelompok tersebut terlihat mengecat lukisan tahun 1914 yang menggambarkan Lord Arthur Balfour, yang bertanggung jawab atas Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menyatakan bahwa pemerintah Inggris mendukung pendirian Negara Yahudi di Palestina.

Baca Juga: Manajemen atau Pengelolaan, Bukan Hanya Perencanaan

Di media sosial kelompok tersebut, mereka berkata, “Ditulis pada tahun 1917, deklarasi Balfour memulai pembersihan etnis Palestina dengan menjanjikan tanah tersebut, padahal Inggris tidak pernah mempunyai hak untuk melakukannya.”

“Deklarasi Balfour mengawali pembersihan etnis Palestina dengan menjanjikan tanah tersebut akan diambil alih oleh yang tidak berhak dilakukan oleh Inggris,” kata Palestine Action dalam keterangan yang menyertai klip tersebut.

Pekan lalu, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menyerukan pengawasan yang lebih ketat terhadap protes, mengingat meningkatnya ujaran kebencian.

PM Sunak mengatakan masyarakat mempunyai hak untuk melakukan protes, namun dukungan terhadap warga Palestina di Gaza tidak dapat dijadikan alasan untuk mendukung Hamas, gerakan bersenjata yang menguasai Gaza, yang dianggap Inggris sebagai kelompok teroris.

Baca Juga: Memberantas Judi Online di Masyarakat

Tindakan perusakan lukisan itu Lord Arthur Balfour, menunjukkan aksi protes, betapa sudah lebih dari satu abad, sejak tanggal 2 November 1917, ketika Menlu Britania Raya (Inggris) kala itu, Arthur James Balfour, menulis secarik kertas kontroversial. Sepucuk surat yang disebut Deklarasi Balfour, yang kemudian dijadikan dalih bagi Yahudi-Diaspora untuk menyerbu dan kemudian menduduki tanah Palestina dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.

Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia (World Zionist Organization), agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.

Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.

Isi surat yang berupa surat ketikan yang ditandatangani dengan tinta oleh Balfour, sebagai berikut dari sumber Wikipedia.

Baca Juga: Kunci Sukses Dalam Membina Umat

Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.

Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina, tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis. Salam,
Arthur James Balfour.

Berdasar secarik surat itu, Inggris di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby, Panglima Tertinggi Pasukan Inggris,  kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan. Ribuan sukarelawan Yahudi bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian berhasil menduduki Palestina pada Desember 1917.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.

Baca Juga: KH. Ahmad Hanafiah, Ulama Lampung yang Gigih Melawan Penjajah

Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionis Internasional yang didirikan oleh Theodor Herzl tahun 1897, mulai mendorong migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), justru ikut menyetujui Mandat Britania atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”. PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 181 tanggal 29 November 1947 tentang pembagian Palestina untuk negara Arab (Palestina) dan Yahudi (the partition of Palestine into Arab and Jewish states).

Hingga akhirnya pada 14 Mei 1948, merasa mendapatkan angin dari PBB, Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaan ‘Negara Israel’ secara sepihak, dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Namun Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.

Pendudukan Pun Dimulai

Baca Juga: 10 Kunci Meraih Sukses Menurut Petunjuk Al-Quran

Rentang masa 106 tahun lebih, surat kontroversial Balfour itu, disebut sebagai awal pendudukan, penjajahan dan pembersihan etnis Palestina dari negerinya sendiri.

Zena Al-Tahhan, jurnalis dan produser online Al-Jazeera menyatakan, Deklarasi Balfour telah mengubah tujuan Zionis untuk membangun sebuah negara Yahudi di Palestina menjadi sebuah kenyataan ketika Inggris berjanji untuk mendirikan sebuah “rumah nasional untuk orang-orang Yahudi” di sana.

Menurutnya, ini dianggap sebagai salah satu dokumen paling kontroversial dan diperebutkan dalam sejarah modern dunia Arab.

“Kasus Palestina, bagaimanapun, adalah unik. Tidak seperti mandat pascaperang lainnya, tujuan utama Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi untuk pembentukan rumah nasional Yahudi. Padahal komunitas Yahudi saat itu kurang dari 10 persen populasi,” lanjutnya.

Baca Juga: Penyelenggaraan Ibadah Haji 2024 Terbilang Sukses?

Nyatanya, setelah pemberian mandat itu, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke Palestina. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.

Deklarasi Balfour Tidak Sah

Kini, lebih dari 106 tahun berlalu, penindasan penjajahan itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, Amerika Serikat, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.

Deklarasi Balfour telah memberi dampak terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.

Baca Juga: Global Kurban, Bukti Cinta Umat Islam Indonesia untuk Dunia

Namun kini, seiring dengan perkembangan jaman, pakar hukum mulai meyakini bahwa Deklarasi Balfour tidak sah secara hukum. Karena itu, segala sesuatu yang dihasilkannya, dan segala sesuatu yang mendasarinya, adalah salah.

Para ahli hukum internasional percaya bahwa Deklarasi Balfour tidak mempunyai status mengikat secara hukum, karena bersifat pernyataan unilateral, tanpa kewajiban terkait, dan hanya diterbitkan dalam bentuk surat yang ditujukan oleh Menteri Luar Negeri Inggris kepada entitas lain. Pernyataan ini tidak berstatus perjanjian atau kontrak internasional , menurut Kantor Berita Wafa Palestina.

Kehadiran Inggris di Palestina hanyalah sebuah pendudukan, dan pendudukan atau mandat tersebut tidak mempunyai hak untuk menyerahkan atau membagikan tanah atau wilayah yang diduduki kepada entitas lain. Palestina pun bukan milik Inggris, jadi bagaimana Inggris memberikannya kepada pihak lain?

Pemerintah Inggris dalam banyak kesempatan mengumumkan bahwa tujuan pendudukannya adalah untuk membebaskan Palestina dari Kekuasaan Ottoman (Turki Utsmani) dan mendirikan pemerintahan nasional di sana.

Baca Juga: Naik Turunnya Keuangan Syariah: Refleksi Ketidaksempurnaan Sistem

Referensi lebih lengkap tentang Deklarasi Balfour dan seputar Palestina ini, dapat pembaca simak di Buku “Bumi Palestina Milik Bangsa Palestina”, yang disusun oleh Imaam Yakhsyallah Mansur dan Ali Farkhan Tsani, Penerbit MINA Publishing House, Februari 2024.

Wajib Dihentikan

Deklarasi Balfour yang merupakan awal dari kejahatan terhadap rakyat Palestina dan masyarakat di wilayah tersebut, tentu harus dihentikan. Ini karena isi dan dampak Deklarasi Balfour sebagai kejahatan pencurian dan perampokan terbesar dalam sejarah modern, mencuri tanah air dari pemiliknya yang sah.

Mengutip pernyataan Organsasi Kerjasama Islam (OKI) pada Peringatan 106 Tahun Deklarasi Balfour, tanggal 2 November 2023 lalu, “Kita semua harus menegaskan penolakan terhadap meningkatnya pembunuhan, terorisme, pengungsian, dan penghancuran bangunan tempat tinggal yang disengaja di Jalur Gaza.”

Baca Juga: Khutbah Idul Adha 1445: Pengorbanan Untuk Pembebasan Al-Aqsa

OKI menyerukan dunia Islam untuk memperbarui komitmen permanennya dalam mendukung perjuangan, ketabahan dan pengorbanan rakyat Palestina, serta untuk memulihkan hak-hak nasionalnya yang sah, yang masih menjadi tanda kelam dalam sejarah.

Pernyataan OKI menyebutkan, “Hari ini menandai peringatan 106 tahun Deklarasi Balfour, yang menandai dimulainya tragedi yang terjadi pada tahun 1948, dengan pengusiran rakyat Palestina, perampasan hak-hak mereka yang sah, dan pendirian negara pendudukan kolonial Israel, yang didasarkan pada pemukiman kolonial, agresi militer, pemindahan paksa, pembersihan etnis, penyitaan tanah, penghancuran properti, dan yahudisasi kota terhormat Al-Quds (Yerusalem).

Dampak Balfour kini pada nasib saudra-saudara kita di Jalur Gaza yang terus-menerus digepur pasukan pendudukan Israe. Terjadi peningkatan pembunuhan, terorisme, pengungsian, dan penghancuran yang disengaja terhadap bangunan tempat tinggal, sekolah, rumah sakit (termasuk Rumah Sakit Indonesia dan Rumah Sakit Baptis milik kaum Kristiani), tempat ibadah (masjid dan gereja), dan infrastruktur, dan kejahatan perang terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pendudukan Israel.

Saatnya seluruh anggota OKI, anggota Liga Arab dan dunia internasional dan dunia Islam, memikul tanggung jawabnya dalam mengakhiri pendudukan Israel, dan memungkinkan rakyat Palestina mendapatkan kembali hak-hak sah mereka.

Baca Juga: Peran Penting Literasi Pengakuan Internasional terhadap Warisan Tak Benda Indonesia

Termasuk haknya untuk kembali dan mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur (Al-Quds) sebagai ibu kotanya. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

*Penulis, Ust. Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I., adalah Wartawan dan Redaktur Senior MINA, Duta Al-Quds Internasional, Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor, Penulis Buku Kepalestinaan. Penulis, Dapat dihubungi melalui Nomor WA : 0858-1712-3848, atau email [email protected].

Rekomendasi untuk Anda