Oleh: M. Wahid Supriyadi, Dubes RI untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus 2016-2020
Lubarto tidak bisa menahan air matanya, ketika dia bertemu dengan saudara-saudara sepupu dan keponakannya di Desa Sokanegara, Purwokerto, Selasa 26 Oktober lalu. Setelah 52 tahun, inilah untuk pertama kalinya Lubarto menginjakkan kakinya di tanah leluhurnya. Bapaknya, Sartoyo, adalah mahasiswa ikatan dinas yang dikirim oleh Presiden Sukarno tahun 1962 untuk belajar di bidang Ilmu Hukum. Sartoyo selalu mengatakan padanya bahwa “Kamu wong Jowo dan tanah leluhurmu Indonesia”.
Bahkan Sartoyo senior mengajarkan Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia sekaligus, walaupun akhirnya Lubarto banyak lupa karena dari lahir sampai umur 52 tahun lingkungannya berbahasa Rusia. Dia pun sempat ragu apakah dia bisa pulang kampung ke tanah kelahiran orang tuanya.
Dia mengaku mulai kembali merasa sebagai orang Indonesia setelah menyaksikan Festival Indonesia yang diselengarakan 4 kali berturut-turut sejak 2016 oleh KBRI Moskow. Di situ dia ikut membaur dengan orang-orang Indonesia dan menyaksikan betapa beranekaragamnya Indonesia dengan seni budaya yang sangat mengagumkan. Sebelumnya dia mengaku jarang KBRI Moskow. Sejak itu Lubartio bertekad bulat untuk pergi ke Indonesia mencari sanak suadaranya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Pekan pertama April 2016 atau sepekan setelah kedatangan saya di Moskow, KBRI Moskow mengundang warga negara RI yang tingal di Moskow dan para Indonesianis untuk acara perkenalan dengan saya sebagai Duta Besar baru. Ini kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh KBRI di mana pun.
Tiba-tiba ada seorang yang sudah cukup senior memakai kursi roda menegur saya. “Saya dengar Pak Dubes dari Kebumen?”, tanya Bapak itu yang ternyata bernama Pak Sartoyo. Beliau adalah seorang ahli hukum dan mengajar di sebuah universitas di Moskow. Belum sempat saya menjawab, beliau langsung berkata:”Nyong seneng Pak Dubes sekang Kebumen, nyong bisa ngomong ngapag maning (Saya senang Pak Dubes berasal dari Kebumen, sehingga saya bisa bicara lagi dengan dialek Banyumasan)” yang disambut oleh hadiri yang di sekitar yang mendengarkan beliau ngomong memakai dialek Banyumasan, atau yang dikenal dengan “ngapag”.
Walaupun sudah tidak bisa berjalan, Pak Sartoyo bicaranya sangat jelas dan lugas. Beliau memakai peci dengan Lambang Garuda dan bendera persahabatan RI-Rusia. Beliau meninggal Februari 2017, dan belum sempat pulang ke Indonesia sejak menginjakkan kakinya di Rusia tahun 1962.
Sebelum pulang saya menyempatkan diri bertemu secara khusus dengan Lubarto di sebuah restoran Korea Hite di daerah Dobrinskaya, masih di bilangan pusat kota Moskow. Saya sampaikan bahwa dia adalah orang yang tepat untuk menjembatani Rusia-Indonesia. Selain memiliki ayah asli orang Indonesia, Lubarto yang juga pemegang gelar MBA dan Sarjana Ilmu Politik, terakhir aktif dalam kegiatan ekpor-impor yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota Moskow.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Saya berjanji, kalau dia ke Indonesia, saya akan menemaninya menemukan keluarganya di Purwokerto dan mempertemukannya dengan Bupati Banyumas. Momen yang tepat untuk datang ke Indonesia adalah menghadiri ajang pameran terbesar di Indonesia, Trade Ekspo Indonesia. Karena pandemi, Lubarto baru bisa datang ke Indonesia Oktober tahun ini dan dia membawa anak laki-lakinya bernama Mattis Sartoyo, 24 tahun.
Tanggal 26 Oktober saya menepatii janji. Setelah menempuh perjalanan sekitar 7 jam dengan mobil, sampailah saya dan Lubarto di Purwokerto. Berkat bantuan Eka Sukawati, mahasiswa asal Purwokerto yang baru saja menamatkan S2 di Northen Arctic University di Arkhangelsk, salah satu kota paling utara dengan suhu minus 40 derajat Celsius, Lubarto akhirnya bertemu dengan saudara-saudara dekatnya di Desa Sokanegara. Tangis bahagia pun pecah di antar mereka.
Yuni, salah satu kerabat Lubarto (keponakan) bercerita bagaimana dia mulai mencari pamannya di Rusia setelah puluhan tahun putus hubungan. Berkat Facebook, dia mendapatkan kumpulan orang-orang Indonesia di Moskow , dan akhirnya bisa berkomunikasi dengan Pak Sartoyo. Sayang beliau meninggal tahun 2017, komunikasi dilanjutkan dengan Lubarto. Sayangnya Lubarto sudah tidak bisa berbahasa Indonesia, dan Bahasa Inggrisnya pun cukup terbatas. Untunglah berkat Google Translate mereka dapat berkomukasi dengan lancar.
Bertemu Bupati Banyumas
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Jujur saya tidak kenal dengan beliau. Tapi sayang jika Putra Banyumas ini tidak diterima. Kontak saya adalah Titik Wahyuningsih, dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang juga adik kelas saya di UGM, dan Yusuf Bawor, teman Facebook saya yang kebetulan kenal pribadi Bupati Banyumas Ir. Achmad Husein. Dari merekalah akhirnya Lubarto dan keluarganya ditemui Bupati di Kantor Bupati Banyumas. Inilah “the power of social media”. Jika digunakan dengan baik, hasilnya pun baik.
Bupati Banyumas segera memanggil Asisten Ekonomi, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian untuk rapat mendadak. Intinya Bupati Banyumas ingin memanfaatkan Lubarto Sartoyo agar produk-produk Banyumas bisa masuk pasar Rusia. Sejauh ini, Banyumas telah mengekspor gula semut ke Rusia berkat partisipasi salah satu UMKM Banyumas dalam Festival Indonesia Moskow. Bupati bahkan memerintahkan jajarannya untuk kemungkinan Banyumas mengirim misi bisnisnya pada Ekspo Makanan terbesar di Moskow Februari 2023. Lubarto bersedia untuk membantu dari sisi Rusia.
Universitas Muhammadiyah Purwokerto pun memanfaatkan kedatangan Lubarto untuk merintis kembali kerjasama antar universitas dengan Rusia, khususnya di bidang pertanian, IT dan bisnis. Wakil Rektor I, Ir.Arman Suyadi, MP pun langsung memimpin pertemuan didampingi Dekan dan dosen senior terkait.
Minum Air Kelapa Segar Pertama Kali
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Sepanjang jalan menuju Purwokerto, pohon kelapa di sepanjang jalan sangat menarik perhatian Lubarto. Hal ini wajar, karena pohon ini tidak tumbuh di Rusia, namun produk kemasan air kelapa sangat populer dan harganya sangat mahal. Sayangnya produk-produk ini bukan dari Indonesia, melainkan dari Vietnam, Thailand dan Filipina.
Ketika saya tawarkan untuk minum air kelapa muda segar sambil makan siang, mukanya langsung ceria. Saya pun memutuskan untuk mencari restoran langganan saya belasan tahun lalu, ketika saya pulang pergi Jakarta-Kebumen-Yogyakarta melalui jalur selatan, sebelum terkoneksinya jalan tol Jakarta-Surabaya. Di daerah Prupuk ada Restoran Sukasari yang menawarkan sate Tegal, togseng, gulai , opor ayam dan lain-lain. Di situ juga dijual kelapa muda. Pas, pikir saya.
Di situlah saya melihat Lubarto dan anaknya menikmati air kelapa muda segar untuk pertama kalinya. “This is different from what I had in Moscow, very delicious and authentic”, kata Lubarto. Lubarto dan anaknya pun menghabiskan sate, tongseng dan opor ayam yang saya pesan. Semua habis tanpa sisa. Bagi orang yang pernah ke Rusia, makanan Rusia umumnya hambar atau anyeb (Jawa). Nasi goreng, mie goreng dan sate sudah mulai populer di Rusia berkat Festival Indonesia.
Setelah Purwokerto, Lubarto dan anaknya akan berkunjung ke Yogyakarta, mengikuti rangkaian acara B-20 di Bali dan masih ingin berkunjung ke daerah lain di Indonesia. Selamat datang ke Indonesia Lubarto. Spasibo Bolshoi.(AK/R1/P2)
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Mi’raj News Agency (MINA)