Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA
Eksistensi madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia seolah-olah semakin terpinggirkan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern lantaran model pendidikannya dianggap kurang dapat mengikuti perkembangan zaman. Kenyataan ini seyogyanya mendorong madrasah untuk mulai berbenah diri.
Persepsi sebagian publik tentang madrasah diperburuk oleh stigma miring seperti polanya yang tradisional dan menjadi sarang teroris yang masih terasa sampai sekarang, meskipun menurut Direktur Pendidikan Madrasah Kementrian Agama, Nur Kholis Setiawan, tuduhan tersebut sama sekali tidak terbukti.
Dia mengakui, stigma tersebut acapkali membuat masyarakat minder dan tidak bangga terhadap institusi madrasah itu sendiri. Padahal kalau dirunut dalam sejarah – menurut penelitian Jakaria Makzumi (2012) – madrasah sejak saat itu mengalami banyak perubahan dan sekaligus tantangan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sesungguhnya, kata dia, madrasah merupakan akar pendidikan Indonesia yang telah melahirkan leader dalam bidang pendidikan dan agama, negarawan dan bahkan pahlawan. Sebut saja misalnya Wahid Hasyim, Hamka, Abdurrahmad Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid (Cak Nur), Hasyim Muzadi dan Mahfudz MD.
Mereka adalah lulusan madrasah yang telah memberikan kontribusi bagi perkembangan karakter bangsa. Dari sini, kata Nur Kholis, tak salah bila dikatakan madrasah adalah kontributor terpenting bagi peradaban Islam Nusantara.
Madrasah adalah institusi pendidikan paling awal yang mengajarkan nilai-nilai Islam di Indonesia. Ia berkembang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Karena dipandang sebagai aset umat Islam, madrasah akhirnya dikelola di bawah naungan Departemen Agama (kini Kementerian Agama) sejak pascakemerdekaan hingga kini.
Terkait dengan kian tersisihnya madrasah dalam dunia pendidikan di Indonesia, Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Harsoyo memandang lembaga pendidikan ini perlu direvitalisasi dan diperkuat kapasitasnya agar dapat berperan maksimal.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Hal itu karena menurut dia, dalam konteks pendidikan di Tanah Air, peran penting madrasah sebagai lembaga pendidikan pionir tidak dapat dipandang sebelah mata. Jauh sebelum sekolah-sekolah modern lahir, madrasah telah tumbuh, eksis, dan mengakar di tengah masyarakat Indonesia.
“Pada era kemerdekaan, madrasah juga memainkan peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai Islam, cinta Tanah Air, dan patriotisme bagi generasi muda. Bangsa Indonesia tidak akan melupakan peran madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi jauh sebelum adanya sekolah modern,” katanya.
Dalam upaya merevitalisasi dan memperkuat kapasitas madrasah, Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Islam Indonesia (UII) misalnya meluncurkan Madrasah Empowering Center (MEC).
“MEC merupakan inisiatif PAI UII yang bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain diinisiasi oleh Program Studi PAI UII, pembentukan MEC juga mendapat dukungan dari Badan Pengembangan Akademik UII melalui dana hibah internal,” ujarnya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
UII, katanya, melihat kondisi madrasah saat ini memerlukan upaya penguatan kapasitas agar tetap dapat bersaing. “UII tentu akan memberikan kontribusi melalui sumbangan pemikiran dan upaya nyata lain dalam kerangka kerja sama tersebut.”
Setara dengan sekolah umum
Kata madrasah menurut Nur Kholis berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat untuk mengenyam pendidikan. Madrasah di Indonesia merupakan hasil perkembangan modern pendidikan pesantren yang secara historis, eksis jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Lembaga pendidikan Islam yang pertama ada di Indonesia adalah pesantren.
Pesantren mendidik para santrinya untuk mendalami ilmu agama. Ketika pemerintah Belanda memerlukan tenaga terampil untuk membantu administrasi pemerintah jajahan di Indonesia, maka diperkenalkanlah jenis pendidikan yang berorientasi pada pekerjaan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, kebutuhan akan tenaga terdidik dan terampil untuk menangani administrasi pemerintahan sangat mendesak. Untuk itu pemerintah memperluas pendidikan model Barat yang dikenal dengan sekolah umum, sedangkan umat Islam ingin memodernkan lembaga pendidikan mereka dengan mendirikan madrasah.
Madrasah, katanya, menganut sistem pendidikan formal (dengan kurikulum nasional, pemberian pelajaran dan ujian yang terjadwal, bangku dan papan tulis seperti umumnya sekolah model Barat). Penambahan mata pelajaran umum di madrasah tidak berjalan seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur.
“Pada awalnya, kurikulum madrasah masih 100 persen berisi pelajaran agama, tetapi sudah mengadopsi sistem pendidikan modern seperti bangku, papan tulis, ulangan, ujian. Lulusan madrasah saat itu tidak bisa melanjutkan pelajarannya ke sekolah umum yang lebih tinggi,” ujar Nur Kholis.
Orangtua yang ingin mendidik anaknya dalam ilmu agama dan ilmu umum terpaksa harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, sekolah umum dan madrasah. Namun dengan terbitnya SK Bersama Tiga Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) tahun 1975, lulusan madrasah dianggap setara dengan lulusan sekolah umum.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang lebih tinggi, dan siswa madrasah boleh pindah ke sekolah umum yang sama jenjangnya. Demikian pula sebaliknya.
Kompensasi dari kesetaraan itu menurut dia, adalah bahwa 70 persen dari kurikulum madrasah harus berisi mata pelajaran umum.
Bahkan, berdasarkan kurikulum madrasah 1994, kurikulum madrasah harus memuat 100 persen kurikulum sekolah umum, sehingga madrasah dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri Islam. Dengan masuknya madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional, maka ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Upaya memodernkan madrasah tampaknya bukan hal mustahil. Salah satu contoh adalah Madrasah Ibtidaiyah Darud Da’wah wal-Irsyad (MI DDI) di Pinrang Barat, Salawesi Selatan yang semula kumuh dan merupakan tempat kambing makan rumput – berhasil “disulap” menjadi madrasah yang cukup modern.
Berkat kerja keras dan tekad kuat pimpinan MI DDI, Muhammad Ajis, tahun 2000 lalu berhasil mengubah madrasah “kandang kambing” itu menjadi tempat belajar yang sangat layak, setelah dia memotivasi dan melibatkan peran serta masyarakat setempat dalam pembenahan madrasah.
Dia yang juga adalah fasilitator USAID Prioritas daerah Kabupaten Pinrang USAID, mengubah madrasah melalui manajemen berbasis sekolah, mengefektifkan pembelajaran dengan program Pakem dan mengembangkan budaya baca dengan menghadirkan sudut baca, taman baca serta perpustakaan aktif.
Modernisasi madrasah itu tentu saja membawa dampak positip. Menurut salah seorang guru MI DDI Pinrang Barat, Andi Irmayanti, “dulu masyarakat menimbang-nimbang dulu sebelum memasukkan anaknya ke madrasah ini. Sekarang minat calon siswa membludak, nyaris tidak tertampung.”
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Kemajuan yang berhasil dicapai MI DDI Pinrang Barat itu juga menjadi rujukan dan referensi madrasah-madrasah lain di kabupaten Pinrang yang jumlahnya tercatat 36.
Sikap-sikap moderat itu menurut Direktur Pendidikan Madrasah pada dasarnya sudah ditanamkan dan diajarkan di madrasah (tingkat Raudlatul Atfal, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan bahkan Aliyah). Kini Kementerian Agama telah menaungi sekitar 72.726 madrasah di seluruh Indonesia.
Kenyataan bahwa madrasah bisa diubah menjadi lembaga pendidikan modern dan menghasilkan lulusan yang bermutu, sudah seharusnya membangkitkan kebanggaan dan kepercayaan diri umat Islam, karena sudah memiliki madrasah.
“Menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri terhadap madrasah merupakan langkah awal menuju agenda utama Direktorat Pendidikan Madrasah yakni menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan tujuan, bukan lembaga pendidikan alternatif,” kata Nur Kholis.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Untuk mewujudkan ini diperlukan peningkatan kualitas. Baik dan buruknya mutu madrasah bisa dilihat melalui penilaian akreditasi. “Sebab itu, akreditasi sangat diperlukan, tidak hanya akreditasi kelembagaan, tetapi juga sumber daya manusia pengelola lembaga termasuk sertifikasi guru,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, madrasah harus mampu mempertegas, membuat dan mempertahankan titik-titik perbedaan dengan sekolahan lain. Ciri keislaman yang melakat pada madrasah harus diterjemahkan menjadi program-program yang mampu menghasilkan keluaran yang unik dibandingkan dengan lulusan sekolah pada umumnya. “Inilah yang menjadi nilai tambah.”
Untuk itu, arahnya adalah madrasah tidak hanya memberikan metode pengajaran baru dan sistem lainnya seperti kelas, buku-buku teks baru, mengajarkan sains dan pengetahuan agama Islam lainnya, tetapi juga berfungsi sebagai wadah diseminasi gagasan-gagasan reformasi Islam. Madrasah menjadi lokus bagi penciptaan muslim progresif modern.
Menjadi tanggung jawab umat Islam bersama untuk terus mengembangkan madrasah sebagai salah satu bentuk amal jariyah dan kebanggaan kita, katanya. Tantangan ke depan sangatlah jelas, bagaimana madrasah mampu mencetak akademisi yang mampu membawa nama Islam Indonesia ke kancah global dan menjadi penyangga peradaban Islam dunia. (R01/P001)
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)