MAHMOUD Khalil, aktivis Palestina memainkan peran penting dalam protes mahasiswa Universitas Columbia, sebuah universitas swasta di New York City, Amerika Serikat, selama setahun terakhir.
Khalil ditangkap pada hari Sabtu (8/3/2025) oleh agen Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) dari apartemennya di Kota New York.
Dalam beberapa jam berikutnya, mesin disinformasi mulai bekerja, saat pemerintahan Trump mulai menuduhnya sebagai pendukung “terorisme” dan karena telah “memimpin kegiatan yang berkaitan dengan Hamas, organisasi teroris”, versi Amerika Serikat.
Tokoh politik terkemuka dari Presiden AS Donald Trump hingga Menteri Luar Negeri Marco Rubio semua mengecam Khalil. Akun media sosial pro-Israel di AS pun memuji penangkapannya, dan menyebarluaskannya di dunia maya.
Baca Juga: Prof Teungku Muslim Ibrahim, Ahli Fatwa Aceh Kontemporer
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan awal pekan ini, tim hukum Khalil mengatakan bahwa pernyataan Trump menunjukkan bahwa penangkapan Khalil merupakan cara untuk membungkam perbedaan pendapat yang sepenuhnya sah di Negara liberal AS.
“Meskipun besok atau setelahnya pemerintah mungkin mengutip undang-undang atau sedang dalam proses, tapi itu sudah tidak berlaku lagi dan tidak dapat ditarik kembali. Tujuan pemerintah sama transparannya dengan melanggar hukum,” ujar tim pengacara.
“Peran kami sebagai pengacara Mahmoud adalah untuk memastikan hal itu tidak terjadi,” demikian bunyi pernyataan pengacara Khalil.
Meskipun pemerintahan Trump berupaya menjelek-jelekkan Khalil, dengan menyebutnya sebagai “mahasiswa asing radikal pro-Hamas”, komunitas mahasiswa Columbia menggambarkan aktivis tersebut dengan cara yang sama sekali berbeda.
Baca Juga: Cut Nyak Dien, Pahlawan Besar dan Teladan Wanita Aceh
Kebanyakan mahasiswa malah memberikan simpatinya kepada aktibis tersebut.
Siapakah Mahmoud Khalil?
Mahmoud Khalil lahir pada tahun 1995 dan dibesarkan di Suriah, tempat keluarganya tinggal sebagai pengungsi warga Palestina.
Selama beberapa dekade keluarganya tinggal di sana, setelah pemindahan paksa dari kota Tiberias di Palestina, dalam tragedi Nakba pada tahun 1948.
Baca Juga: Jejak Pusat Observasi Falak dan Sosok Abu Muchtar Marsai
Setelah perang saudara di Suriah berkecamuk lebih dari satu dekade lalu, keluarga Khalil mencari perlindungan di luar negeri, terutama ke Eropa.
Antara tahun 2018 dan 2022, Khalil bekerja di Kantor Suriah di kedutaan Inggris di Beirut.
Andrew Waller, mantan diplomat Inggris, yang bekerja di kedutaan saat Khalil berada di Beirut, menggambarkan Khalil “sebagai orang yang sangat baik dan teliti dan dia dicintai oleh rekan-rekannya di Kantor Suriah”.
Waller menepis deskripsi Trump tentang Khalil sebagai alasan pencemaran nama baik.
Baca Juga: Malyoso, Lentera Semangat di Tengah Keterbatasan
“Anda tidak akan menemukan siapa pun yang akan mengatakan hal buruk tentangnya. Dia sangat ahli dalam pekerjaannya,” katanya kepada Middle East Eye.
Dia menambahkan bahwa Khalil telah “melalui proses pemeriksaan untuk mendapatkan pekerjaan itu dan diizinkan untuk bekerja pada isu-isu sensitif untuk pemerintah Inggris”.
Setelah bekerja di Beirut, pada tahun 2022 Khalil diterima di program magister administrasi publik dari Sekolah Urusan Internasional dan Publik Universitas Columbia.
Mahmoud menyelesaikan gelarnya pada Desember 2024 dan diperkirakan akan lulus pada Mei 2025.
Baca Juga: Abu Ibrahim Woyla; Ulama Sufi Aceh dan Sanad Keilmuannya
Pada November 2023, Khalil menikah dengan seorang warga negara AS dan menjadi penduduk tetap AS pada tahun 2024.
Ketika Khalil ditahan pada Sabtu malam, istrinya yang sedang hamil delapan bulan berada di sampingnya. Istrinya juga diancam akan ditangkap, jika dia terus memprotes apa yang sedang terjadi.
Menurut pengacaranya, agen ICE yang berpakaian sipil memasukkannya ke dalam kendaraan tanpa tanda dan tidak memberinya informasi tentang ke mana dia akan dibawa atau bagaimana cara menghubunginya.
Baru pada Senin pagi (10/3/2025) dia mengetahui bahwa dirinya telah dibawa ke fasilitas ICE yang berjarak lebih dari 2.000 kilometer di Louisiana.
Baca Juga: Teungku Fakinah; Ulama Wanita dan Panglima Perang Aceh
Intimidasi di Universitas Columbia
Ketika protes dimulai di Universitas Columbia, menyusul serangan genosida Israel di Gaza, Khalil bertindak sebagai perantara antara mahasiswa dan administrator universitas atas tuntutan gerakan mahasiswa agar universitas melepaskan perusahaan senjata yang mengambil untung dari perang Israel di Gaza yang terblokade.
Khalil sendiri tidak berpartisipasi dalam perkemahan itu, melainkan memilih untuk berunding dengan administrator dan menawarkan bimbingan kepada para mahasiswa.
Beberapa kolega dan teman menggambarkan Khalil sebagai mentor, kakak laki-laki, dan sosok yang inspiratif bagi komunitas mahasiswa.
Baca Juga: Abu Muchtar Marsai Penjaga Thariqat Ilmu Falak Ibnu Al-Shatir
Mereka mengatakan bahwa Khalil merasa bertanggung jawab untuk menyuarakan hak-hak Palestina di bawah hukum internasional.
Ia juga merupakan pendukung kuat perlakuan yang adil terhadap semua mahasiswa.
“Saya pikir ia pemberani, karena empati selalu menutupi segala risiko yang mungkin menimpanya,” kata Maryam Alwan, mahasiswa Columbia dan teman Khalil.
“Ia masih berstatus mahasiswa saat perkemahan itu terjadi, dan ia masih berdiri di depan setiap mikrofon dan bertemu dengan administrasi meskipun ada semua ancaman dari pejabat pemerintah yang bekerja sama dengan para donatur dalam obrolan Group WhatsApp,” kata Alwan.
Baca Juga: Teungku Chik Lampaloh Ulama Aceh Ahli Tafsir Keturunan Raja Mataram
Ia merujuk pada pengungkapan bahwa beberapa miliarder Amerika telah membuat obrolan grup pribadi dengan pejabat kota untuk membentuk opini publik selama enam bulan pertama perang Israel di Gaza.
Mahasiswa di Columbia melaporkan pada saat itu bahwa di antara mereka yang ada dalam Group whatApp tersebut tersebut termasuk Howard Schultz, CEO Starbucks,Michael Dell, pendiri Dell,serta Joshua Kushner, seorang pemodal dan saudara laki-laki menantu Trump, Jared Kushner.
Alwan mengatakan bahwa meskipun pemerintah dan media arus utama secara berkala berupaya untuk menggambarkan protes tersebut sebagai antisemit, Khalil “selalu berdiri di depan kamera, dan ia akan selalu berbicara tentang bagaimana ia merasa bersalah karena ia tidak dapat berbuat lebih banyak untuk rakyatnya yang menghadapi genosida”.
“Saya tidak tahan membayangkannya seperti sekarang, tidak merasa takut seperti biasanya. Namun saya tahu bahwa hatinya akan membuatnya lebih peduli pada perjuangan daripada apa pun yang terjadi padanya,” tambah Alwan yang berusia 22 tahun.
Baca Juga: Teungku Chik Pantee Geulima; Ulama dan Panglima Perang yang Disegani
Menurut teman dan kolega di Colombia, Khalil telah menjadi sasaran perundungan dan intimidasi oleh mahasiswa pro-Zionis selama berbulan-bulan di jurusan tempat Khalil belajar.
Temen-teman Khalil menggambarkan Khalil sebagai sosok yang menangani serangan dengan kesabaran dan keanggunan.
Seorang mahasiswa pascasarjana di Colombia, yang meminta untuk tidak disebut namanya, mengatakan bahwa ia mengagumi Khalil karena ketenangannya dalam lingkungan yang penuh tekanan.
“Ia benar-benar sangat baik, seperti diplomat ulung; sangat pandai bergaul dengan orang lain dan bersikap ramah, sangat cerdas,” ujarnya.
Baca Juga: Teungku Chik Di Tiro; Mujahid Besar, Sanad Keilmuan, dan Perjuangannya
Mahasiswa lain yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Yahudi, meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan dari teman sekelasnya yang pro-Zionis, mengatakan bahwa Khalil berulang kali menghadapi komentar agresif di media sosial.
Pada awal Maret, Khalil mengatakan universitas telah melontarkan lebih dari selusin tuduhan terhadapnya, yang melibatkan beberapa unggahan media sosial yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Setelah pengacaranya turun tangan, universitas tersebut mengingkari ancaman untuk menahan transkripnya dan menghentikan kelulusannya.
Dalam petisi habeas corpus yang diajukan selama akhir pekan, pengacaranya menggambarkan Khalil telah mengalami “kampanye intimidasi yang mendalam selama lebih dari dua bulan terkait dengan aktivitasnya yang dilindungi Amandemen Pertama dalam mendukung hak asasi manusia Palestina”.
“Pelecehan itu begitu meluas sehingga Mahmoud Khalil mengirim email ke administrasi Universitas Columbia berulang kali untuk meminta dukungan,” tulis pengacara tersebut.
Menurut Khalil, orang lain yang terus-menerus berusaha menjelek-jelekkannya termasuk Shai Davidai, profesor Columbia yang menggambarkan Khalil sebagai “pendukung teroris” dan secara terbuka menyarankan agar dia dideportasi.
Setelah penangkapan Khalil, Davidai menulis bahwa “potensi Khalil deportasi adalah konsekuensi langsung dari pilihan yang telah dibuatnya”.
Khalil juga menjadi sasaran kelompok supremasi Yahudi ultra-Zionis Betar USA, yang mengatakan bahwa ia ada dalam “daftar deportasi” mereka.
Dukungan Mahasiswa dan Global
Kasus penangkapan Mahmoud Khalil mendapat aksi dukungan yang melimpah dari seama rekan-rekan mahasiswa di AS.
Pada hari Senin (10/3/205), ribuan orang berbaris di jalan-jalan di Manhattan, AS bagian bawah untuk mengekspresikan rasa jijik mereka terhadap serangan pemerintah AS terhadap Khalil.
Demonstran juga menyebut adanya kolaborasi terbuka Universitas Columbia dengan pemerintahan Trump untuk menggunakan ancaman pencabutan visa mahasiswa atau status penduduk tetap sebagai alat untuk menghentikan protes pro-Palestina terhadap perang Israel di Gaza, yang telah dicap sebagai genosida oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, organisasi internasional, dan para pemimpin dunia.
Para pengunjuk rasa membawa plakat dan meneriakkan yel-yel saat penyelenggara dari organisasi lokal mengecam Trump dan Universitas Columbia karena bekerja sama dengannya.
Puluhan polisi berbaris di jalan-jalan saat para pengunjuk rasa mengejek polisi karena bekerja untuk Trump.
Beberapa aktivis membandingkan taktik represif tersebut dengan era McCarthyisme pada tahun 1950-an, dan perjuangan untuk mengakhiri perang Vietnam di bawah Presiden Richard Nixon, serta ancaman deportasi berdasarkan larangan perjalanan Trump selama masa jabatan pertamanya.
“Kami pernah mengalami hal ini sebelumnya. Ketika saya masih muda, saya pikir Presiden Richard Nixon adalah iblis yang paling jahat. Dan kami mampu mengalahkannya,” kata Jaime, seorang aktivis dari New York City.
Pada hari Rabu (12/3/2025), kasus Khalil disidangkan di pengadilan untuk pertama kalinya. Belum diketahui apa hasilnya sidangnya.
Sementara itu, petisi dukungan terhadap Khalil yang dimulai beberapa jam setelah penahanannya, terus mengumpulkan jutaan tanda tangan.
Beberapa tindakan direncanakan dalam beberapa hari mendatang di seluruh negeri AS, saat para aktivis memperingatkan tentang taruhannya jika Trump diizinkan membuat preseden dengan kasus Khalil.
Pengacara Khalil merilis pernyataan yang mengatakan bahwa Khalil dalam keadaan sehat dan “tergerak oleh dukungan yang sangat luas dan teguh yang telah diterimanya dari berbagai komunitas yang memahami apa yang dipertaruhkan.”
Sentimen ini juga disuarakan oleh rekan dan sahabat di Columbia.
“Mahasiswa Universitas Columbia mendukungnya, dan kami tidak ingin keadaan berjalan seperti biasa saat ia ditahan, dan kami akan terus berjuang untuknya, terus membelanya, dan kami sangat mencintainya. Ada kesenjangan besar di komunitas kami saat ini,” kata salah seorang mahasiswa Yahudi. []
Mi’raj News Agency (MINA)