Kuala Lumpur, MINA – Berjalan di sepanjang Ah Quee Street di George Town, Pulau Pinang, Malaysia, yang sempit, Anda mungkin tidak akan melihat warung kecil mencolok ini dengan papan nama “Maj Muslim Food.”
Struktur jongkok mungil itu memiliki sebuah meja kasir dengan pot-pot berisi kari; meja dan kursi plastik disusun di sebidang kecil tanah di sebelahnya.
Ada juga konter minuman, tempat teh tarik dituangkan dengan terampil, didorong ke sudut; ada dapur kecil di belakang gedung.
Di belakang konter, Abdul Ahadhu Mohamed Ali menuangkan saus dan kari ke piring nasi di antara menerima pembayaran dari antrean panjang pelanggan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Di sebelahnya, seorang pekerja terus menggelindingkan adonan dan menggoreng chapati sepotong demi sepotong.
“Kakek saya Seeni Mohideen memulai bisnis pada tahun 1940-an menggunakan kereta dorong,” kata Abdul Ahadhu seperti dilansir Malay Mail, Selasa (18/12).
Saat itu, basis pelanggan mereka sebagian besar buruh dan pekerja di kota-kota inti George Town.
“Kakek saya menyajikan nasi dan roti canai untuk sarapan dan makan siang para pekerja,” katanya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Selama bertahun-tahun, kereta dorong ditingkatkan menjadi kios makanan permanen ketika mereka membangun gedung kecil ini untuk menampungnya.
Ayah Abdul Ahadhu, Mohamed Ali Jinnah, mengambil alih atau membeli kios makanan itu pada tahun 1977.
“Itu saat dia menamai gerai Maj yang merupakan inisial namanya,” katanya.
Ibu Abdul Ahadhu, Sahabunisa Ahmad, kemudian mulai memasak untuk keperluan kedai dan mereka memperkenalkan chapati alih-alih melanjutkan dengan roti canai.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
“Saya tumbuh besar membantu ayah saya mengelola kios ini dan sampai hari ini, ibu saya terus memasak hidangan setiap pagi,” bebernya.
Sahabunisa akan mulai memasak pagi-pagi sekali untuk menyiapkan berbagai hidangan ayam, daging sapi, dan daging kambing setiap hari.
Abdul Ahadhu mengatakan mereka ingin mempertahankan cita rasa masakan mereka yang dimasak sendiri, itulah sebabnya ibunya harus datang lebih awal setiap hari.
“Meskipun kami memiliki banyak pelanggan tetap dan pengunjung, kami tidak berniat memperluas usaha menjadi restoran mewah besar,” katanya.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Dia mengatakan, Maj mulai sebagai tempat bagi para pekerja untuk menikmati makanan rumahan tanpa embel-embel dengan harga yang wajar dan akan terus berlanjut dengan tradisi ini.
“Pelanggan kami menyukai rasa yang dimasak sendiri dan lingkungan kami, ruang terbuka santai, dan karena itulah mereka akan terus datang kembali,” katanya.
Maj terkenal di antara penduduk setempat di daerah itu sebagai tempat menikmati sarapan chapati dan juga tempat yang populer untuk makan siang nasi dan kari yang hangat.
Kios itu menawarkan empat jenis daging kambing; dimasak dalam kurma, dipanggang, digoreng dengan bawang dan dicincang; tiga jenis ayam, dua jenis daging sapi bersama dengan kari ikan.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
“Hidangan kami yang paling populer adalah ayam goreng dengan bawang dan daging kambing yang digoreng dengan bawang, selain kari,” kata Abdul Ahadu.
Pada hari Jumat, kios itu menawarkan Spesial Briyani.
Menjadi tempat favorit di kalangan penduduk setempat, kedai makanan itu sering ramai karena tempat duduk terbatas.
Waktu terbaik untuk berkunjung adalah selama jeda antara makan siang dan istirahat minum teh ketika kerumunan orang makan siang agak mereda. (AT/R11/RS2)
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global