Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MAKANAN DAN PENGARUHNYA BAGI MANUSIA

Admin - Rabu, 9 Oktober 2013 - 18:03 WIB

Rabu, 9 Oktober 2013 - 18:03 WIB

2360 Views ㅤ

Oleh: KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A.*

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ/ الْمُؤْمِنُوْن [٢٣]: ٥١.

Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebaikan. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al Mu’minun [23]: 51)

Baca Juga: Ahlul Qur’an, Pelita Umat dalam Cahaya Ilahi

Ayat ini menunjukkan betapa eratnya hubungan makanan dengan perbuatan manusia. Pada ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada para rasul, sebagai manusia terbaik untuk makan makanan yang baik dan melakukan perbuatan yang baik.

Musthafa Al-Maraghi mengatakan, walaupun secara tekstual ayat di atas ditujukan kepada para rasul tapi maksudnya adalah umum, mencakup seluruh umat Islam yang menjadi pengikut mereka. Hal ini sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:))أَيُّهَا النَّاسُ ؛ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: [يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ] (سورة المؤمنون آية ٥١)، وَقَالَ:﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾(آية ١٧٢ من سورة البقرة )ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ، أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ(([رواه مسلم، الترمذي، أحمد، الدارمي]

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Mahabaik, tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman : “Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih” (QS.Al-Mu’minuun : 51). Dan Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah,  jika kamu hanya beribadahkepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata,”Ya Rabb..ya Rabb…”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?” (HR. Muslim).

Baca Juga: Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Pamer Mahar

Bagi seorang muslim, makan bukan hanya sekedar untuk mengisi perutnya tetapi untuk beribadah melaksanakan perintah agama, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan hadis, antara lain firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ/ الْبَقَرَة [٢]: ١٧٢.

Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya beribadahkepada-Nya. (Q.S. Al Baqarah [2]: 172)

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ/ الْمَائِدَة [٥]: ۸۸.

Baca Juga: Korupsi, Dosa dan Bahayanya dalam Islam

Dan makanlah dari apayang telah diberikanAllah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (Q.S. Al Maidah [5]: 88)

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ/ النَّحْل [١٦]: ١١٤.

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya beribadah kepada-Nya. (Q.S. An Nahl [16]: 114)

Hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

Baca Juga: Doa, Usaha, dan Keajaiban: Rahasia Hidup Berkah

كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ/ أَبُوْ دَاوُد

Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan menyombong-kan diri.(H.R. Abu Dawud)

إِنَّ الرَّجُلُ لِيُؤْجَر حَتَّى فِى اللُقَمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِيْهِ وَإِلَى فِى امْرَأَتِهِ/ الْبُخَارِى

Sesungguhnya seseorang akan mendapat pahala sehingga setiap makanan yang dia masukan ke dalam mulutnya dan ke dalam mulut istrinya.(H.R. Bukhari)

Baca Juga: Mengapa Islam Menekankan Hidup Berjama’ah?

       I.            ADAB MAKAN

Agar makan bernilai ibadah maka seseorang yang makan hendaknya memperhatikan adab sebagai berikut.

1.     Adab Sebelum Makan

Adab sebelum makan itu antara lain:

Baca Juga: Yahudi Memusuhi Semua Umat Manusia

Pertama: Makanan yang hendak dimakan, hendaknya merupakan makanan yang halal baik ditinjau dari barangnya atau cara memperolehnya.

Kedua: Membasuh kedua tangan, sebab tangan tidak selalu bersih karena merupakan anggota badan yang paling sering digunakan untuk melakukan berbagai macam aktivitas.

Ketiga:Hendaknya berniat bahwa dengan makan ia dapat lebih kuat beribadah dan melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Keempat:Merasa cukup dengan apa yang dihadapannya, tidak mencari-cari apa yang tidak ada.

Baca Juga: Doa-Doa Mustajab dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Kelima: Berusaha makan bersama orang banyak sekalipun dengan keluarganya sendiri maupun anak-anaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

وَاجْتَمِعُوْا عَلَى طَعَامِكُمْ يُبَارِكَ لَكُمْ فِيْهِ/ أَبُوْ دَاوُد

Berkumpullah pada makananmu maka kamu diberkahi dalam makanan itu.(H.R. Abu Dawud)

Baca Juga: Tausiyah Pernikahan, Keluarga Sakinah Cermin Kehidupan Berjamaah

2.    Adab Ketika Makan

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ketika makan antara lain:

Pertama: Dimulai dengan membaca “bismillaahirrahmaanirrahiim”dan berdoa.

Doa Sebelum Makan

Baca Juga: The Power of Ikhlas

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّار/ رواه ابن السنى بسند ضعيف

Ya Allah, berkahilah rizki yang telah engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.(H.R. Ibnu As Suni dengan sanad yang dhaif)

Apabila seseorang lupa membaca “basmalah” sewaktu memulai makan, hendaknya ia membaca:

بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ/ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُد

Baca Juga: Perut adalah Sumber Penyakit: Penjelasan Hadis dan Fakta Medis

Dengan menyebut nama Allah pada permulaan dan penghabisan makan.(H.R. Abu Daud)

Kedua: Makan dengan tangan kanan dan yang dekat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

بِسْمِ اللهِ وَكُلُ بِيَمِيْنِكَ وَكُلُ مِمَّا يَلِيْكَ/ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Makanlah dengan menyebut nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan serta makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu.(Muttafaq ‘Alaih)

Dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalla, bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ/ أخرجه مسلم

Apabila salah seorang di antara kalian makan hendaknya ia makan dengan tangan kanannya dan minum hendaknya dengan tangan kanannya karena sesungguhnya setan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kiri.(Dikeluarkan oleh Muslim)

Ketiga: Makan Sambil Duduk

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدُكُمْ قَائِمًا مِمَنْ نَسِى فَلْيَسْتَقِئْ/ رَوَاهُ مُسْلِم

Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum dengan berdiri. Barang siapa lupa maka hendaklah memuntahkannya.(H.R. Muslim)

Dalam hadis yang lain diriwayatkan Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang minum dengan berdiri. Qatadah berkata, “Kemudian kami bertanya, kalau makan?” Ia menjawab, “Maka itu lebih buruk dan keji.”(H.R. Tirmidzi)

Hadis ini jelas menggambarkan kepada kita bahwa saat makan dan minum hendaknya kita lakukan sambil duduk. Larangan makan dan minum sambil berdiri ini bukan tanpa alasan karena larangan ini ternyata sesuai dengan penelitian ilmuan modern tentang hal ini.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam tubuh manusia itu terdapat penyaring (filter) terhadap makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh. Saringan tersebut akan berfungsi jika makan dan minum dilakukan dalam posisi duduk. Menurut penelitian yang dilakukan Dr. Ibrahim Al-Rawi, Makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, dapat berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada saraf endotel yang mengelilingi usus. Hal yang sangat membahayakan adalah apabila refleksi ini terjadi secara keras dan tiba-tiba maka dapat mengakibatkan vagal inhibition (tidak berfungsinya saraf) yang sangat parah dan hal tersebut dapat memicu detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak.

Apabila makan dan minum dilakukan berdiri secara terus menerus akan membahayakan usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk.

Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Al-Bani, “Dzahir hadis-hadis ini menunjukkan larangan minum dengan berdiri tanpa udzur.”

Ada banyak hadis menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alahi Wasallam minum dengan berdiri. Ini bisa diartikan sebagai udzur, seperti tempat yang sempit atau tempat air tergantung. Sebagian hadis mengisyaratkan hal itu.

Keempat: Tidak Mencela Makanan Yang Ada

Disebutkan dalam hadis:

مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُ إِنْ إِشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرَهَهُ تَرَكَهُ/ مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali tidak pernah mencela makanan. Apabila beliau suka maka beliau memakannya dan apabila tidak suka beliau meninggalkannya. (Muttafaq ‘Alaih)

Imam An-Nawawi mengatakan mencela makanan seperti dengan mengatakan, “Terlalu asin, atau kurang asin, kecut, tipis, keras, kurang matang dan sebagainya.”

Larangan mencela makanan disebabkan makanan adalah ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak boleh dicela. Alasan lainnya adalah bahwa mencela makanan akan menyakiti perasaan pembuat makanan hingga ia bersedih dan tersinggung.

Ketika mengomentari hadis di atas Syekh Muhammad Shalih Al-Utsaimin mengatakan, “Tha’am (yang sering diartikan dengan makanan) adalah segala sesuatu yang dinikmati rasanya, baik berupa makanan ataupun minuman. Sepantasnya jika kita diberi suguhan berupa makanan, hendaknya kita menyadari betapa besar nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita dengan mempermudah mendapatkannya. Jika makanan itu enak dan menggiurkan, maka hendaklah kita makan. Namun jika tidak demikian, tidak perlu kita makan dan tidak perlu mencelanya.”

Kelima: Makan Sambil Berbicara

Apabila makan bersama orang lain kita disunnahkan sambil berbicara. Dalam “Al-Adzkar”, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan.” Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadis yang dibawakan oleh Jabir Radhiyallahu ‘Anhu sebagaimana telah kami kemukakan dalam bab memuji makanan.”

Imam Al-Ghazali dalam “Al-Ihya” mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang shalih dalam makan.

Ibnu Muflih mengatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bercerita, “Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdulllah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikitpun tidak berbicara, sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan, “Alhamdulillaah” dan “Bismillah”. Setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik dari pada makan sambil diam.” Tidak ada pendapat yang menyalahi nukilan ini dan tidak aku dapati dalam mayoritas ulama Hambali menyelisihi pendapat beliau tersebut. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil sebagaimana kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.”

Keenam: Tidak Duduk Sambil Bersandar

Imam Bukhari meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

لَا أَكُلُ مُتَّكِئاً

Aku tidak pernah makan dengan bersandar

Yang dimaksud duduk sambil bersandar dalam hadis ini adalahsegala bentuk duduk yang bisa disebut bersandar, tidak terbatas pada posisi duduk tertentu. Para ulama menyatakan bahwa makan sambil bersandar hukumnya makruh karena hal tersebut merupakan duduknya orang yang hendak makan dengan lahap.

Ibnu Hajar mengatakan, “Jika sudah disadari bahwa makan sambil bersandar itu makruh, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki.” (H.R. Muslim) atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri. Hanya saja hadis yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menekuk lutut kaki kiri, menurut Al-Iraqi sanadnya dhaif.

3.    Adab Setelah Makan

Pertama: Berdoa

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa makan makanan kemudian membaca:

Doa Sesudah Makan

الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ/ رواه ابو داود

Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini dan melimpahkannya kepadaku tanpa daya dan kekuatanku. (HR. Abu Daud)

Dalam rangkaian hadis tersebut disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan “Barangsiapa makan kemudian membaca doa tersebut maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Kedua: Bersyukur

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

…كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ…/ البقرة[۲]: ١٧٢.

…Makanlah kalian dari apa-apa yang baik yang telah Kami rizkikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah : 172)

Jadi orang yang makan harus meyakini dalam hatinya bahwa makanan itu adalah nikmat dari Allah yang dilimpahkan kepada dirinya. Oleh karena itu dia harus bersyukur kepada Allah atas nikmat makanan tersebut.

Ketiga: Mencuci Tangan

Di dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata, “Seorang Anshor mengundang Nabi Shallallahu ‘Alahi Wasallam maka kami pergi bersamanya. Ketika selesai makan dan mencuci tangannya, beliau berdoa:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي يَطْعَمُ وَلاَ يُطْعَمْ… /الْحَدِيْث

“Segala puji bagi Allah yang memberi makan dan tidak diberi makan …” (Al Hadis)

Keempat: Berkumur-Kumur dan Bersiwak (Bersugi)

Diriwayatkan dari Suwaidi bin Nu’man berkata, “Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika sampai Shahbaa’, beliau meminta agar makanan disuguhkan. Ternyata tidak ada makanan selain roti gandum. Setelah kami selesai makan beliau bangkit untuk melaksanakan shalat dan berkumur-kumur, maka kami pun ikut berkumur-kumur.”

Adapun bersiwak setelah makan, hal ini berdasarkan keumuman hadis-hadis yang mendorong dan memerintahkan bersiwak untuk membersihkan mulut dan menghilangkan bau mulut. Untuk itu dapat juga menggunakan sikat gigi atau pasta gigi karena fungsinya sama. Hanya saja menggunakan siwak lebih utama.

Kelima: Tidak Langsung Tidur Setelah Makan

Berdasarkan pandangan ahli medis, para ulama menyatakan bahwa tidur setelah makan adalah kebiasaan yang buruk serta dapat membahayakan kesehatan jantung bahkan menjadi penyebab kematian jika hal ini dilakukan terus menerus.

     II.            MAKANAN YANG HALAL

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ/ الْبَقَرَة [۲]: ١٦۸.

Hai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.Sesungguhnya dia bagi kamuadalah musuh yang sangat nyata. (Q.S. Al Baqarah [2]: 168)

Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, “Perintah ini (yaitu makan makanan yang halal lagi baik) ditujukan kepada seluruh manusia,baik dia mukmin atau kafir. Mereka diperintahkan makan apa yang ada di bumi baik berupa biji-bijian, buah-buahan, dan binatang “yang halal” yaitu yang diperoleh dengan cara yang benar, bukan dengan cara merampas atau dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan. Dan “yang baik” maksudnya bukan termasuk makanan yang keji atau kotor, seperti bangkai, darah, daging babi dan sebagainya.

Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud makanan yang halal adalah makanan yang baik yang dihalalkan oleh Allah, sedang makanan yang baik adalah makanan yang tidak membahayakan tubuh dan akal.

Prof. Dr. Hamka mengatakan bahwa makanan “halal” adalah lawan dari makanan haram yang disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan. Tetapi hendaklah pula yang “baik” meskipun halal. Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia. Misalnya daging lembu yang sudah disembelih, lalu dimakan mentah. Meskipun halal tapi tidak baik. Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan. Ada juga contoh lain harta yang tidak baik yaitu menjual azimat yang ditulis ayat-ayat Al-Qur’an, katanya untuk tangkal penyakit. Meskipun tidak najis namun itu penghasilan yang tidak baik.

Jadi makanan yang boleh dimakan harus memenuhi dua syarat yaitu halal dan baik. Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syariat hukumnya halal sepanjang tidak menimbulkan madharat bagi dirinya.

Yang dimaksud pengharaman dalam syariat adalah yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Hal ini berdasarkan penjelasan para ulama tentang firman Allah:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ/ الْأَنْعَام [٦]:١٤٥.

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al An’am [6]: 145)

Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir menukilkan sebuah riwayat dari Numailah Al Fazzari, ia berkata, “Saya berada di sisi Ibnu Umar ketika orang bertanya kepada beliau tentang hukum makan daging landak. Maka beliau menjawab dengan membaca ayat di atas, “Qul Laa Ajidu …dst.” Maka ada orang tua yang berada di tempat itu berkata, “Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Disebutkan tentang landak ini di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu beliau bersabda, “Sesuatu yang keji di antara yang keji,” maka Ibnu Umar berkata, “Kalau Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sudah berkata demikian, maka hukumnya adalah sebagaimana yang beliau katakan.” (H.R. Ahmad)

Jadi menurut Ibnu Umar apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sama derajatnya dengan empat makanan yang diharamkan pada ayat ini yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan binatang yang disembelih bukan atas nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Pandangan Ibnu Umar dikuatkan dengan hadis:

وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا حَرَّمَ اللهُ تَعَالَى/ رَوَاهُ التِّرْمِذِى

Dan barang yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah serupa dengan apa yang diharamkan oleh Allah.(H.R. At-Tirmidzi)

Namun ada juga ulama yang dipelopori oleh Ibnu Abbas dan Imam Malik berpendapat bahwa yang jelas haram hanya empat hal yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an, yaitu bangkai, daging babi, darah yang mengalir dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Pendapat berdasarkan firman Allah di atas, yaitu:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ…/ الْأَنْعَام [٦]: ١٤٥.

Katakanlah, “Tidak aku dapatkan di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya…” (Q.S. Al An’am [6]: 145)

Golongan ini juga berpegang dengan hadis:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ الله عَافِيَتَهُ فإن الله لم يكن ليسنى شيئا/ رواه البزار.

Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal dan apa yang Dia haramkan adalah haram dan apa yang Dia diamkan dari padanya maka dimaafkan. Maka terimalah dari Allah, mana yang Dia maafkan karena sesungguhnya Allah akan melupakan sesuatu.(H.R. Al Bazzar)

Dalam riwayat lain disebutkan:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ الله عَافِيَتَهُ { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا} 

“Semua yang Allah halalkan dalam al-Quran maka ia halal, yang diharamkan maka ia haram, dan yang didiamkan maka itu tidak ada hukumnya (boleh). Terimalah dari Allah kemudahan-Nya. (Allah berfirman), ‘Rabbmu tidak pernah lupa.’ ” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya: 2/137/12; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 2256) 

Pendapat ini ditolak oleh mayoritas (jumhur) ulama. Mereka berpendapat bahwa makanan yang haram adalah yang diharamkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Asy-Syaukani mengatakan, “Mengambil dalil dengan ayat:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ/ الْأَنْعَام [٦]: ١٤٥.

Katakanlah: “Tidak kudapatidi dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati(bangkai), atau darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor dan hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi batas, maka sungguh Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al An’am [6]: 145)

Barulah sempurna pada sesuatu yang tidak ada nash dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam mengharamkannya. Nash yang jelas atas mengharamkan harus didahulukan dari pada menghalalkan yang umum atas qiyas.”

Setelah menguraikan ayat ini Ibnu Katsir menyimpulkan, “Atas dasar ini bukan berarti bahwa tidak ada yang diharamkan selain yang diharamkan oleh ayat ini. Karena telah datang larangan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memakan daging keledai jinak, daging binatang buas dan semua burung yang mencengkeram dengan kuku, sebagaimana pendapat yang masyhur di kalangan madzhab-madzhab ulama.

    III.            MAKANAN YANG HARAM

Dalam syariat Islam makanan atau binatang yang haram dikonsumsi ada dua jenis:

Pertama: haram li dzatihi (haram kaena dzatnya) artinya hukum asal dari makanan itu sudah haram.

Kedua: haramlighairihi (haram karena faktor luar) artinya hukum asal makanan itu adalah halal, akan tetapi dia berubah menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut.

Adapun yang menjadi landasan haram karena dzatnya itu ada lima, yaitu:

Pertama: Nas dari Al-Qur’an dan Hadis

Nas dari Al-Qur’an, seperti firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ/ الْمَائِدَة [٥]: ٣.

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Maidah [5]: 3)

Berdasarkan ayat ini, makanan yang diharamkan dalam syariat Islam adalah:

  1. Bangkai,
  2. Darah,
  3. Daging babi,
  4. Hewan yang disembelih atas nama selain Allah,
  5. Hewan yang tercekik,
  6. Hewan yang terpukul,
  7. Hewan yang jatuh dari tempat yang tinggi atau yang terpeleset,
  8. Hewan yang ditanduk,
  9. Hewan yang diterkam binatang buas,
  10. Hewan yang disembelih untuk berhala.

Nas dari Hadis, seperti:

عَنْ جَابِرٍ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرُ عَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ اْلأَهْلِيَّةِ/ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Jabir, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada perang Khaibar telah melarang memakan daging keledai kampung.(H.R. Bukhari dan Muslim)

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ذِىْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ/ رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan.(H.R. Muslim)

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذِىْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ/ رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang memakan setiap burung yang mempunyai kuku tajam.(H.R. Muslim)

Berdasarkan hadis-hadis di atas binatang yang haram dimakan adalah: 1) keledai kampung, 2) binatang buas, 3) burung yang mempunyai kuku tajam.

Kedua: Karena Disuruh Membunuhnya

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: خَمْسٌ فَوَاسِقُ يَقْتُلْنَ فِى اْلحِلّ وَ الحَرَامِ: اَلْحَيَّةُ وَ اْلغُرَابُ اْلاَبْقَعُ وَ اْلفَارَةُ وَ اْلكَلْبُ اْلعَقُوْرُ وَ اْلحُدَيَّا./ رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Lima binatang yang jahat, hendaklah dibunuh, baik di tanah halal maupun di tanah haram, yaitu: 1. ular, 2. gagak (yang ada warna putih di punggung dan dadanya), 3. tikus, 4. anjing galak, 5. burung elang”. (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan kalajengking.

Demikian pula cecak, termasuk binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, sebagaimana diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَ يْسِقاً/ رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk membunuh cecak dan menamakannya fuwaisiqan (binatang jahat kecil). (H.R. Muslim)

Hadis-hadis yang memerintahkan agar membunuh binatang-binatang tersebut adalah sebagai isyarat atas larangan untuk memakannya. Sebab jika sekiranya binatang itu boleh dimakan maka akan menjadi mubadzir kalau dibunuh karena binatang yang dibunuh dengan tidak disembelih dilarang dimakan. Sedang Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kita melakukan hal-hal yang mubadzir, sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًاإِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا/ الْإِسْرَاء [١٧]: ٢٦-٢٧.

Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al Isra [17]: 26-27)

Berdasar hadis-hadis di atas binatang yang haram dimakan adalah: 1. Ular, 2. Burung Gagak, 3. Tikus, 4. Anjing, 5. Burung Elang, 6. Cecak/ Tokek.

Ketiga: Dilarang Membunuhnya

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَطُ/ رَوَاهُ أَحْمَدُ.

Dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang membunuh empat macam binatang: semut, lebah, burung hud-hud dan burung surad (sejenis burung gereja).” (H.R. Ahmad)

Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa katak termasuk binatang yang tidak boleh dibunuh.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانِ الْقُرَيْشِيِ أَنَّ طَبِيِباً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلْيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الضِّفْدَعِ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَى قَتْلَهَا/ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمِ.

Dari Abdurrahman bin Usman AlQurasyi, bahwa seorang dokter bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tentang katak yang dia jadikan campuran obat. Maka beliau melarang membunuhnya.(Dikeluarkan oleh Ahmad dan disahihkan oleh Al Hakim)

Ash-Shan’any berkata, “Hadis ini merupakan dalil haramnya membunuh katak dan memakannya. Sebab jika katak itu halal pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak melarang membunuhnya.”

Berdasarkan hadis-hadis ini binatang yang haram dimakan adalah: 1. Semut, 2. Lebah, 3. Burung Hud-hud, 4. Burung Surad, 5. Katak.

Keempat: Karena Menjijikan

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

…وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ…/ الأَعْرَاف [٧]: ١٥٧.

“…Dan dia (Muhammad) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (Q.S. Al-A’raf [7]: 157.

Namun kriteria menjijikan bagi setiap orang pasti berbeda-beda. Ada yang menjijikan bagi seseorang tetapi tidak menjijikan bagi orang lain. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama adalah tabiat dan perasaan orang Arab yang normal, yang tidak terlalu miskin yang membuatnya makan apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan pertama kali dan dengan bahasa mereka dijelaskan sehingga merekalah yang lebih mengetahui mana binatang yang menjijikan dan mana yang tidak. Demikian menurut penjelasan Ibnu Taimiyah.

Bagi kita orang Indonesia, rata-rata menganggap binatang yang kotor antara lain: kutu, ulat, kepinding, kecoa, dan sebagainya.

Kelima: Karena Menimbulkan Bahaya

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

…وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ…/ البَقَرَة [٢]: ١٩٥.

“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 195)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ/ أَحْمَد.

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”(H.R. Ahmad)

Jadi semua makanan atau minuman yang membahayakan manusia baik segera maupun dengan cara perlahan-lahan adalah haram, seperti rokok, racun dan narkoba dengan segala macam jenisnya.

Sedang yang menjadi landasan haram karena faktor luar adalah:

Pertama: Karena Cara Mendapatkannya Tidak Sesuai Dengan Syariat Allah

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ/ الْبَقَرَة [٢]: ١٨٨.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 188)

Cara mendapatkan makanan dengan jalan yang batil misalnya makanan yang dibeli dari hasil mencuri, korupsi, transaksi riba, menipu, praktek pelacuran, perdukunan dan sebagainya.

Kedua: Binatang Yang Disembelih Untuk Sesaji

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ…/ الْمَائِدَة [٥]: ٣.

“Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala…” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3)

Hewan ternak yang disembelih untuk sesaji atau dipersembahkan untuk berhala atau makhluk halus misalnya kerbau yang disembelih untuk ditanam kepalanya sebagai sesaji untuk makhluk halus agar melindungi gedung yang akan dibangun adalah haram dimakan dagingnya.

Ketiga: Binatang Yang Disembelih Tanpa Membaca Basmalah

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ…/ الْأَنْعَام [٦]: ١٢١.

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan…” (Q.S. Al An’am [6]: 121)

Berdasarkan ayat ini sebagian ulama berpendapat bahwa membaca basmalah itu hukumnya wajib sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajibnya membaca basmalah tetapi membaca basmalah itu hanya mustahib (sunah).

Apabila seseorang ragu apakah binatang itu disembelih dengan membaca basmalah atau tidak, maka dia cukup membaca basmalah ketika akan makan, berdasarkan yang diriwayatkan Bukhari dari Aisyah berkata, “Sesungguhnya beberapa orang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suatu kaum membawakan daging kepada kami sedang kami tidak tahu apakah daging itu disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak,” maka beliau bersabda:

سَمُّوْا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوْا

Bacalah basmalah dan makanlah

Adapun sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah halal, berdasarkan firman Allah:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ/ الْمَائِدَة [٥]: ٥.

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal untuk kamu, dan makanan kamu halal untuk mereka…” (Q.S. Al Maidah: 5)

Jumhur ulama’ tafsir menjelaskan bahwa ayat ini secara jelas membolehkan orang Islam makan sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) walaupun tanpa membaca Bismillah, Kenyataan ini juga disokong oleh kebanyakan ulama’ salaf dan juga riwayat dari Imam Ahmad.

Keempat: Bangkai

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ…/ الْمَائِدَة [٥]: ٣.

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. Al Maidah [5]: 3)

Yang dimaksud bangkai adalah semua binatang yang mati tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.

Dikecualikan dari padanya:

  1. Bangkai Ikan dan Belalang.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَدُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ/ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهُ.

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan adapun dua darah adalah hati dan limpa.”(H.R. Ahmad)

  1. Janin Yang Berada Dalam Perut Hewan Yang Disembelih

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ/ رَوَاهُ أَحْمَدُ.

“Penyembelihan janin adalah penyembelihan induknya.” (H.R. Ahmad)

Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang mati dalam perutnya halal dimakan tanpa harus disembelih ulang.

Kelima: Jallalah

Disebutkan dalam hadis:

نَهَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْجَلَالَةِ وَأَلْبَانِهَا/ رَوَاهُ التِّرْمِذى

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang makan jallalah dan minum susunya.” (H.R. Tirmidzi)

Jallalah adalah binatang yang sebagian besar makanannya kotoran manusia atau hewan dan benda-benda najis.

Binatang yang sebagian besar makanannya seperti ini hukumnya adalah haram, walaupun asalnya dia adalah binatang yang halal dimakan, misalnya sapi yang tidak mau makan atau lebih banyak makan barang-barang kotor, ayam pemakan kotoran manusia dan sebagainya.

  IV.            PENGARUH MAKANAN BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

Islam mengajarkan bahwa pengaruh makanan sangat besar bagi kehidupan manusia. Makanan yang halal akan membawa dampak positif bagi kehidupan manusia sebaliknya makanan yang haram akan membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka. Dampak makanan bagi kehidupan manusia antara lain:

Pertama: Makanan Halal Mendorong Amal Shalih.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا…/ الْمُؤْمِنُوْن [٢٣]: ٥١.

“Hai rasul-rasul makanlah dari makanan yang baik dan kerjakanlah amal shalih…” (Q.S. Al Mu’minun: 51)

Said bin Jubair dan Adh-Dhahak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang baik adalah makanan yang halal.

Ibnu Katsir berkata, “Pada ayat ini, Allah memerintahkan para Rasul Alaihim Shalatu Wasallam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah ini merupakan isyarat bahwa makanan halal merupakan sarana amal sholeh. Para Nabi telah melaksanakan perintah ini dengan sebenar-benarnya. Mereka telah mengumpulkan semua kebaikan dalam kombinasi yang sangat indah dalam perkataan, tindakan, keteladanan, dan nasehat. Maka Allah membalas mereka dengan berbagai kebaikan.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الْخَيْرَ لَا يَأْتِى إِلَّا بِخَيْرٍ أَوْ خَيْرٌ هُوَ/رَوَاهُ الْبُخَارِيُ.          

“Sesungguhnya yang harta baik tidaklah mendatangkan kecuali yang baik. Ataukah harta itu kebaikan yang sejati.” (H.R. Bukhari)

Kedua: Makanan Halal Sebagai Pencegah dan Penawar Penyakit

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا/ النِّسَاء [٤]: ٤.

“Dan berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang baik dan menyenangkan.” (Q.S. An-Nisa [4]: 4)

Menurut para ahli tafsir yang dimaksud هَنِيئًا مَرِيئًا adalah yang baik lagi enak dan tidak memiliki efek negatif pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan penyakit.

Ketiga: Makanan Halal Menyebabkan Terkabulnya Do’a

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

أَطِّبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدُّعَاءِ/ رَوَاهُ الطَّبْرَنِى ضَعِيْفٌ.

Perbaikilah makananmu, maka doamu akan mustajab. (H.R. Thabrani, Dhaif)

Ada seorang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, sahabat yang mustajab do’anya, “Apa yang membuat do’amu mustajab (dikabulkan)?” Sa’ad menjawab, “Aku tidak memasukkan satu suap pun ke dalam mulutku melainkan aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana dia keluar.”

Yusuf bin Asbath berkata:

بَلَغَنَا أَنَّ دُعَاءَ الْعَبْدِ يُحْبَسُ عَنِ السَّمَاوَاتِ بِسُوْءِ الْمَطْعَمِ.

“Telah sampai kepada kami bahwa doa seseorang hamba itu tertahan di langit sebab makanan haram (jelek) yang ia konsumsi.”

Keempat: Makanan Halal Menenteramkan Jiwa dan Menambah Keimanan

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا حِفْظُ أَمَانَةٍ وَصِدْقُ حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ وَعِفَّةُ طُعْمَةٍ/ رَوَاهُ الطَّبْرَانِى.

“Empat perkara yang melakukannya dengan baik, tidak akan membahayakan kamu walaupun kemegahan dunia tidak engkau dapatkan: 1. Memelihara amanat, 2. Berkata jujur, 3. Perangai yang baik, 4. Memelihara makanan.” (H.R. Thabrani)

Sahal At-Tustury berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat keimanan sehingga memiliki empat perkara: 1. Melaksanakan kefardhuan berdasarkan sunnah, 2. Makan yang halal dengan dasar kehati-hatian, 3. Menjauhi larangan agama, baik lahir maupun bathin, 4. Mengerjakan hal di atas hingga meninggal dunia.”

Kelima: Makanan Haram Membawa ke Neraka

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ حَرَامٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ/ رَوَاهُ التِّرْمِذِى.

“Semua daging yang tumbuh dari harta yang haram maka api neraka adalah lebih utama untuk menyiksanya.” (H.R. Tirmidzi)

Imam Ghazali meriwayatkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq pada suatu hari minum seteguk susu yang diperoleh dari budaknya. Setelah minum, ia bertanya dari mana asal susu tadi. Budaknya menjawab, “Saya meramal nasib seseorang lalu sebagai upahnya saya mendapatkan susu tadi.” Mendengar jawaban ini, Abu Bakar segera memasukkan jari-jarinya ke dalam mulutnya dan mengusahakan agar susu tadi dapat dimuntahkan dan beliau terus memuntah-muntahkan sehingga orang mengira jiwanya akan melayang karenanya. Setelah selesai muntah-muntah beliau berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا حَمَلَتْ الْعُرْوقُ وَخَالَطَ اْلأَمْعَاءُ.

Ya Allah, hamba mohon kebebasan dari pada Mu mengenai makanan yang telah dibawa urat-urat tubuh dan sudah bercampur aduk dalam perut besar.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab juga pernah minum susu dari seekor unta sedekah tetapi dia merasa keliru, lalu dimasukkan jari-jari tangannya dan memuntahkannya sehingga bersih isi perutnya.

Keenam: Makanan Haram Menyebabkan Tidak Diterimanya Shalat

Ibnu Abbas berkata

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ رَجُلٍ فِى جَوْفِهِ حَرَامٌ

“Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya terdapat makanan yang haram.”

Ketujuh: Makanan Mempengaruhi Prilaku

Makanan yang halal akan mempengaruhi prilaku seseorang kepada perbuatan yang baik, sementara makanan yang haram akan mempengaruhinya kepada perbuatan yang jahat.

Suatu ketika Syaikh Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Beberapa mahasiswa menanyakan kepada beliau tentang alasan Islam mengharamkan babi. Mereka mengatakan, “Umat Islam mengatakan babi itu haram karena memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba dan bakteri-bakteri berbahaya.Sekarang, semua itu sudah hampir tidak ada karena dipelihara di peternakan modern, keberhasilan terjamin dan proses sterilisasi yang sudah memadai. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri mikroba berbahaya?”

Muhammad Abduh tidak langsung menjawab tapi minta didatangkan 2 ekor ayam jantan dan 1 ekor ayam betina. Serta 2 ekor babi jantan dan 1 ekor babi betina. Mereka ditanya, “Untuk apa semua ini ?.” “Penuhi apa yang saya minta,” jawab Syekh. Mereka memenuhi permintaan Muhammad Abduh. Kemudian beliau mengurung 2 ekor ayam jantan dalam satu kandang dan saling membunuh untuk mendapatkan ayam betina.

Setelah itu beliau melepaskan 2 ekor babi jantan dengan 1 ekor babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Tidak sedikitpun perkelahian untuk memperebutkan babi betina. Tanpa rasa cemburu dan harga diri, babi jantan yang satu justru membantu babi jantan lainnya melaksanakan hajat seksualnya. Inilah salah satu sifat babi yang akan menular pada pemakannya. Seorang laki-laki pemakan babi akan membiarkan istrinya bersama laki-laki lain tanpa cemburu. Seorang ayah akan membiarkan anak perempuannya pergi bersama laki-laki yang bukan muhrimnya tanpa rasa khawatir dan was-was.

Wallahu A’lam bis Shawwab (T/P06/E1)

*Pimpinan Ma’had Al-Fatah Indonesia

 

Mi’raj News Agency (MINA)

لَا أَكُلُ مُتَّكِئاً

Rekomendasi untuk Anda