Jika mau merenung dan melihat kehidupan disekitar kita, kadang masih ada saja orang-orang yang melakukan hal mubazir. Coba datangi sebuah rumah makan di sekitar kita atau restoran misalnya. Masuk, dan perhatikan para pengunjung yang sudah selesai menyantap makanan dan minumannya. Anda akan terkejut, di piring-piring dan gelas-gelas bekas para pengunjung itu makan minum terkadang masih tertinggal banyak makanan.
Fenomena menyisakan makanan di piring atau air di gelas seolah menjadi hal yang biasa dan dianggap wajara. Sebaliknya jika seseorang makan atau minum hingga bersih tak tersisa sebutirpun dari nasi yang ia makan atau minuman yang ia minum malah dianggap seperti orang yang sedang kelaparan, rakus dan sederet stempel negatif lainnya, miris.
Tahukah kita ternyata orang yang seringkali melakukan hal-hal mubazir seperti satu di antara banyak contoh di atas masuk dalam sebutan sebagai saudaranya setan? Adakah di antara kita yang mau disebut Allah sebagai saudaranya setan? Seribu persen atau bahkan sejuta persen tidak akan pernah ada orang yang mau disebut dirinya sebagai saudara setan.
Setidaknya, ayat 27 dari Surah Al-Isra’ berbunyi berikut ini bisa menjadi bahan renungan bagi setiap muslim bahwa ternyata para pelaku mubazir itulah sejatinya bagian dari saudara setan. Allah Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Makna Mubazir dan Konteks Tafsir
Mubazir berasal dari kata dasar بَذَرَ (badzara), yang berarti menyebarkan atau menyia-nyiakan. Istilah tabdzir (تبذير) digunakan untuk menggambarkan tindakan menyia-nyiakan harta, waktu, atau sumber daya secara tidak tepat dan berlebihan.
Dalam konteks ayat ini, mubazir adalah penggunaan harta atau sumber daya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat atau di luar kebutuhan yang wajar. Jadi seperti saya jelaskan di atas, mubazir itu bukan hanya dalam soal makan dan minum saja.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Kata “Saudara-Saudara Setan” (إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ), menunjukkan bahwa perilaku mubazir memiliki kesamaan sifat dengan setan, yakni sifat berlebihan, merusak, dan tidak taat kepada Allah. Tentu saja Allah, Rasul dan orang-orang yang lurus keimanannya tidak senang dengan para pelaku mubazir ini.
Para ulama juga sudah menjelaskan bahwa seseorang dikatakan “saudara setan” karena tindakannya mirip dengan perbuatan setan yang selalu mendorong manusia kepada kebinasaan dan kerugian. Perilaku mubazir tentu saja pada akhirnya akan memberikan dampak buruk bagi si pelakunya sendiri saat di dunia terlebih lagi nanti di akhirat.
Kalimat setan adalah kafir kepada Tuhannya (وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا). Menunjukkan tidak adanya rasa syukur bahkan ia sangat ingkar dari segala nikmat Allah yang dulu pernah dicicipinya saat masih di surga. Tentu saja hal ini kian menegaskan bahwa perilaku mubazir mencerminkan sikap kufur nikmat, yaitu tidak menghargai pemberian Allah.
Tiga Kiat Hindari Mubazir
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Para ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka sudah banyak memberikan berbagai warisan keilmuan bagi setiap muslim agar bisa menjadi pedoman dan kemudahan dalam mengamalkan al Quran dan sunnah. Termasuk dalam hal mubazir, para ulama juga memberikan minimal ada tiga kiat untuk menghindari mubazir.
Para ulama salafus shalih dan pengikut mereka terdahulu juga telah banyak menulis tentang pentingnya menghindari mubazir dalam berbagai aspek kehidupan. Di bawah ini setidaknya ada tiga kiat utama untuk menghindari pemborosan (mubazir) yang dapat dijadikan pedoman bersumber dari kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama.
Kiat pertama, Menggunakan Waktu dengan Bijak
Dalam kitab “Ihya’ ‘Ulum al-Din” yang ditulis oleh Imam al-Ghazali, menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan bijak dan tidak menyia-nyiakan setiap detik yang berlalu. Ia mengajak umat untuk menjaga waktu dari kegiatan yang tidak bermanfaat, termasuk menghindari kesia-siaan dalam percakapan dan kegiatan duniawi yang tidak produktif. Imam al-Ghazali juga mengingatkan bahwa waktu adalah modal utama bagi seorang Muslim untuk memperoleh pahala melalui ibadah dan amal saleh.
sementara itu Ibn al-Jawzi dalam kitabnya “Al-Minhaj al-Qasidin” juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga waktu. Ia mengungkapkan bahwa salah satu bentuk kebodohan adalah menyia-nyiakan waktu tanpa melakukan aktivitas yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Menurutnya, kesadaran tentang waktu yang terbuang adalah langkah pertama untuk menghindari mubazir dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Kiat kedua, Hemat dalam Penggunaan Harta
Di dalam kitab “Riyad al-Salihin” karya Imam Nawawi mengutip berbagai hadis yang mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam penggunaan harta dan hidup sederhana. Salah satunya adalah hadis yang berbicara tentang pentingnya menjauhi sifat boros (mubazir) dan menjadikan harta sebagai sarana untuk beribadah, bukan sebagai tujuan utama.
Salah satu hadis yang dikenal adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam makan, minum, maupun dalam segala urusan.” (HR. Ahmad). Hadis ini menjadi landasan untuk menghindari pemborosan dalam kehidupan.
Sementara itu menurut Imam Ahmad bin Hanbal sendiri dalam kitabnya berjudul “Al-Zuhd” mengajarkan prinsip hidup sederhana dan menjauhi kemewahan duniawi yang dapat mengarah pada pemborosan. Ia mengutip banyak kisah para sahabat dan tabi’in yang hidup dengan sangat sederhana meskipun memiliki banyak harta. Mereka lebih memilih untuk mendermakan harta mereka untuk amal dan kebaikan, menghindari gaya hidup yang boros.
Kiat ketiga, Berkelakuan Sederhana dalam Beribadah
Dalam kitab “Tafsir al-Qur’an al-Azim” Ibnu Katsir menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan pemborosan dalam beribadah. Ia menafsirkan berbagai ayat yang mengajarkan bahwa ibadah yang baik tidak melulu tentang kuantitas, tetapi lebih kepada kualitas dan ketulusan. Misalnya, berdoa dan beribadah dengan penuh khusyuk lebih penting daripada berlama-lama tanpa hati yang hadir. Konsep ini sangat relevan dengan menghindari mubazir dalam ibadah.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Sementara itu dalam kitab, “Al-Adab al-Mufrad” karya Imam al-Bukhari, ia mencatat banyak hadis tentang etika dan adab dalam beribadah. Salah satu ajarannya adalah menghindari sikap berlebihan dalam beribadah, seperti salat yang terlalu lama tanpa tujuan yang jelas atau tanpa perhatian yang baik. Ia mengajarkan pentingnya melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan tanpa berlebihan, sehingga ibadah tetap menjadi sesuatu yang bernilai dan tidak mubazir.
Jadi saudaraku, hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan, baik dalam waktu, harta, maupun ibadah. Sebagai Muslim yang baik, kita diajarkan untuk hidup sederhana, memanfaatkan setiap detik dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menghindari pemborosan dalam segala hal. Jangan biarkan tangan kita boros dalam pengeluaran, mulut kita berlebihan dalam makan dan minum, atau hati kita melalaikan amal karena hanya mengejar kesenangan duniawi.
Ingatlah bahwa setiap amal yang kita lakukan dengan niat ikhlas dan tanpa berlebihan, baik itu dalam ibadah, membantu sesama, atau mengelola harta, akan lebih bermakna dan membawa berkah. Karena itu sederhanalah dalam segala urusan, karena sesungguhnya kesederhanaan itu adalah jalan menuju keberkahan hidup yang sejati.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan