Ada banyak makna “pulang”, yang pasti menyenangkan. Lonceng yang paling ditunggu anak-anak sekolah saat di kelas adalah lonceng pulang. Semua perantau, menunggu gembira saat-saat pulang. Apalagi pulang kampung saat lebaran, menyenangkan dan menggairahkan. Kecuali mungkin “pulang kampung” karena kalah setelah bertanding; sedih dan tak bersemangat.
Kata “pulang” memang menggairahkan; Ebiet G. Ade membuatnya menjadi lagu ” Aku ingin pulang”; Michael Buble membuat lirik Let me go home; dan Glen Fredly menggubahnya dengan Pulang Kampung.
Tapi ada orang yang tak ingin pulang. Siapa ? Orang yang tak punya rumah, tak punya kampung dan yang tak pernah merantau. Mereka tak ingin dan tak tahu rasanya ingin pulang. Mereka merasa sudah di rumah dan tak perlu berpikir untuk pulang. Baginya tidak ada kosakata pulang.
Makna pulang yang paling menyentuh adalah pulang kepada Allah, yang berarti bahwa manusia hidup di dunia adalah merantau. Ada kampung asal manusia, yang kelak akan jadi tempat pulangnya (sangkan paran). Mengetahui sangkan paran adalah kunci kebermaknaan hidup. Mereka yang tak mengenalnya, akan mengalami alienasi dan kehampaan hidup, yang bisa mengakibatkan kesia-siaan.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Berbeda dengan pulang mudik, pulang kepada Allah adalah visi kehidupan. Ia adalah tujuan terjauh perjalanan manusia, yang jika sudah ditetapkan, akan menjadi telos yang mengantarkan kita pada tujuan akhir, sehingga dapat kita cascade menjadi road map kehidupan kita.
Pulang kepada Allah juga berbeda dengan mudik, karena manusia tidak bisa memilih, mau pulang atau tidak, tahun ini atau tahun depan. Bahkan saat pulang itu datang, manusia harus menjalaninya. Di situ yang terpenting bukan pulang atau tidak, tapi yang penting apakah Allah ridha atau tidak dengan kepulangan kita.
Maka pulang kepada Allah menjadi energi hidup, yang memberi kita kekuatan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mempersiapkan kepulangan manusia ke kampung halaman yang sesungguhnya:
- Pulang kepada Allah, membuat kita memiliki arah yang pasti, membuat kita fokus menuju ke arah tersebut. Karena Allah yang memberi kita hidup, cinta dan kasih sayang, maka pulang kepada Allah adalah kebahagiaan abadi. Itu pasti akan menenteramkan hati, selama kita dalam perjalanan, sehingga muncul sifat sabar, ikhlas dan gigih (rescilience).
- Pulang kepada Allah membuat kita terkait dengan pertanggungjawaban perbuatan. Ini akan memastikan perbuatan kita fokus pada kebaikan dan manfaat, selama di dunia, dan menghindari mudharat, kerusakan dan pertikaian.
- Pulang kepada Allah akan mendorong kita utk bergegas melakukan kebaikan, karena kuta sadar bahwa waktu yang diberikan Allah kepada kita, terbatas. Bergegas adalah cara terbaik untuk meraih prestasi dan produktif. Bergegas adalah cata untuk one step ahead.
- Pulang kepada Allah mendorong antusiasme untuk selalu produktif; bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan berlipat ganda di sisi Allah, maka kita menghindari apapun yang idle dan sia-sia dalam kehidupan. Kita akan memaksimalkan apa saja untuk menjadi bermanfaat.
- Pulang kepada Allah akan membuat kita çerdas, yaitu dengan merencanakan apa saja yang akan kita kerjakan. Cukup waktu bagi kita untuk merencanakan dan mengevaluasinya.
Alhasil, pulang adalah kata yang sangat bermanfaat luas bagi kehidupan. Pulang bukan sekadar melampiaskan kerinduan, bukan sekadar memutus rutinitas. Pulang adalah energi untuk kehidupan yang lebih baik.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Selamat mudik, 1443 H.
(A/LS/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI