Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Al-Qur’an penuh keunikan, semakin digali semakin nampak kemukjizatannya. Gaya bahasanya yang tinggi dan penempatannya bukanlah ditempatkan oleh Allah Swt begitu saja. Salah satu keunikannya adalah penggunaan kata tawakal dari akar kata wakala yang di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 59 kali pada 25 surah.
Al-Qur’an memerintahkan untuk bersikap dengan sifat tawakal ini dalam berbagai uslub (gaya bahasa) dan bentuknya yang beragam. Begitu juga dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Sesungguhnya Rasulullah adalah contoh yang paling baik bagi seorang mukmin yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal.
Sifat dan akhlak rabbani ini adalah salah satu dari sifat yang di dalamnya terdapat pemahaman yang membingungkan, kekeliruan persepsi, kesalahpahaman hingga terjadi kerancuan makna antara at-tawakul (tawakal) dengan at- tawaakul (bergantung) dan sikap menyerahkan segala penyebab terjadinya sesuatu. Kata tersebut dari segi bahasa berarti lemah. Adapun shighah at-tawakul berarti menyerahkan atau mewakilkan.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Banyak orang salah dalam memahami tawakal kepada Allah Swt. Mereka beranggap bahwa tawakal itu semata-mata menyerah kepada Allah tanpa usaha yang benar.
Kata tawakal dalam Bahasa Indonesia berarti berpasrah, namun jika kita mengartikan tawakal dengan arti demikian tentunya kurang tepat, karena arti berpasrah juga merupakan pengertian dari Islam. Sementara arti sebenarnya dari tawakal tentunya tidak sama dengan Islam. Dan memahami kata pasrah dengan tawakal akan berpotensi mengindikasikan hal yang keliru dalam pemaknaannya. Untuk itu agar tak terjadi kekeliruan penulis memulai pembahasan tawakal dari akar katanya.
Penegertian kata “Tawakal” secara umum diambil dari Bahasa Arab. Menurut kamus Lisanul „Arab bermula dari kata “Wakala” yang berarti menyerahkan (Ibn Manzhur, Lisan al ‘Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 2000), juz:11., h. 734), “Tawakal tu ‘ala Allah” berarti aku menyerahkan kepada Allah. Kemudian dalam kitab Al-Qâmūs al-Muḥîṭ “wakala” berarti meyerahkan lalu meninggalkan (Fauruz Abadi, Majduddin Muhammad bin Ya‟qub, Al-Qâmûs al-Muḥîṭ, (Dar Al Hadith: Mesir, 1999), juz: 17., h.105.)
Pendapat lain mengatakan tawakal berasal dari kata “al-wakîl” yang merupakan objek dari kata kerjanya yang berarti “yang menjadi sandaran atau yang diserahkan”. Dalam kitab Tadzhîb Al-Lugah dinamakan al wakîl karena ia diserahkan oleh yang menyerahkan atau diserahkan kepadanya untuk dipekerjakan perkaranya, maka al-wakîl adalah dia yang diserahkan kepada perkara itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Kemudian dalam kamus Al-Mufradât fî gharîb al-Qur’ân kata Al-Wakil itu lebih luas maknanya. Al-tawakkulu memiliki dua arti yaitu mewakilkan atau menyerahkan dan memberi hak kuasa kepada yang mewakili terhadap suatu perkara.5 Taukil artinya engkau bersandar kepada selain engkau dan engkau menjadikan dia sebagai pengganti dari kamu dan tawakkul artinya menampakkan kelemahan dan bersandarkan diri daripada selain dirinya.
Tawakal menurut para ulama
Tawakal menurut Imam Ahmad bin Hambal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan.
Pertama, menurut Ibnu Qoyim al-Jauzi (691-751 H). Tawakal adalah amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala „kecukupan‟ bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan „sebab-sebab‟ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Kedua, menurut Imam Ghazali (450-505 H). Tawakal adalah menyerahkan dan menyandarkan diri kepada Allah setelah melakukan usaha atau ikhtiar serta mengharap pertolongan. Tawakal dalam Islam bukan suatu pelarian bagi orang–orang yang gagal usahannya, tetapi tawakal itu ialah tempat kembalinya segala usaha. Tawakal bukan menanti nasib sambil berpangku tangan, tetapi berusaha sekuat tenaga dan setelah itu baru berserah diri kepada Allah. Allah lah yang nanti akan menentukan hasilnya.
Ketiga, menurut Abu Zakaria Anshari (122-215 H). Tawakal adalah “keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada orang lain”. Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada orang yang diserahkan urusan tadi. Artinya, ia benar-benar memiliki sifat amanah seperti, “wakala ilaihi al-amr” berarti “menyerahkan lalu meninggalkan kepada- Nya suatu perkara”.
Manusia dituntut untuk senantiasa bergerak, berbuat dan beramal karena usaha merupakan bagian dari eksistensi jiwa, dan tawakal merupakan wujud dari usaha manusia. Pada satu sisi memang sudah menjadi kewajiban manusia berbuat, berusaha dan berupaya namun untuk hasil tentunya bukan manusia yang menentukan melainkan Allah sajalah yang berhak berbicara perkara hasil karena Dia yang paling mengerti kebutuhan seorang hamba. Tawakal sebagai bentuk ibadah, karena merupakan buah dari keimanan.
Tawakal kepada Allah adalah menyerahkan segala sesuatu kepadaNya, bergantung dalam semua keadaan kepada-Nya, dan yakin bahwa segala kekuatan dan kekuasaan hanyalah milik-Nya. Tawakal merupakan sikap hati, sebagaimana tampak dalam definisi-definisi di atas. Oleh karena itu, tidak ada pertentangan antara tawakal kepada Allah dan antara bekerja serta berusaha. Tempat tawakal adalah hati, sedangkan tempat berusaha dan bekerja adalah badan.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Tawakal adalah amalan hati, berupa meninggalkan kemauan dan dorongan hawa nafsu disertai dengan penyerahan daya dan kekuatan hanya kepada Allah dengan cara memutuskan ketergantungan hati dengan selain Allah. Tawakal adalah usaha maksimal sambil percaya kepada Allah. Bukan kepasrahan dan bukan malas berpangku tangan.
Tawakal haruslah ditujukan kepada Dzat yang Maha sempurna, Allah Swt., tapi dalam realitanya ada yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, seperti tawakal seseorang kepada kekuatannya, ilmunya atau hartanya, atau kepada manusia. Tawakal kepada Allah dalam arti menjadikan Allah sebagai wakil, ditegaskan dalam berbagai ayat. Di antaranya dalam firman Allah yang artinya, “(Dialah) Pemilik masyrik dan maghrib, tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. al-Muzammil: 9).
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Orang-orang yang mengatakan kepada mereka, „Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kepada mereka.‟ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, „Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.‟” (QS. Ali-Imran: 173)
Jadi, hakikat tawakal adalah penyerahan penyelesaian dan keberhasilan suatu urusan kepada wakil. Kalau tawakal kepada Allah, berarti menyerahkan urusan kepada Allah setelah melengkapi syarat-syaratnya. Zubaidi berkata di Taajul Aruus, “Tawakal adalah percaya total dengan apa yang di sisi Allah, dan memutus harapan apa yang di tangan manusia. Tawakal adalah menyandarkan diri kepada Allah dan melakukan ikhtiar, dengan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Memberi Rezeki, Pencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, tidak ada ilah selain-Nya.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Semoga kita selalu berusaha maksimal dalam menggapai kebaikan dunia akhirat dan berusaha bertawakal kepada Allah dalam setiap masalah yang dihadapi, wallahua’lam.(A/RS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)