Makkah, MINA – Haji adalah panggilan. Demikian pesan bijak yang sering didengar. Maka, mereka yang berhaji diidentifikasi sebagai orang yang mendapat panggilan.
Haji diwajibkan bagi yang mampu. Namun kemampuan tidak selalu identik dengan kekayaan materi. Berapa banyak orang yang mampu secara materi tidak kunjung berhaji. Sebaliknya, ada juga orang yang tidak mampu secara materi, mendapat panggilan untuk menunaikan ibadah haji.
Salah satunya adalah Maksum Sapii Bunet bin Wahab. Secara materi, kakek 79 tahun asal Madura ini jauh dari kesan mampu. Maklum, profesinya adalah tukang becak dengan penghasilan harian yang tidak menentu. Adakalanya sampai Rp50ribu, namun tidak jarang juga jauh dari angka itu.
Kondisi ini tidak menyurutkan niatnya untuk berhaji. Pelajaran rukun iman yang didapatnya sewaktu kecil, menjadi pondasi dasar akan keyakinannya untuk menunaikan rukun Islam kelima ini.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
“Saya dulu ngaji arkanul iman (rukun iman). Satu, harus percaya kepada Allah, baik dan buruknya takdir Allah,” ujarnya saat ditemui di hotel 605 tempatnya menginap yang berada di wilayah Syisyah, Makkah, Rabu (23/8).
“Kedua, saya meyakini pesan ayat Surat Yasin, Innama amruhu idza arada syaian an yaquula lahu kun fayakun. Kalau Allah menghendaki, tidak ada yang bisa menghalangi. Saya percaya itu,” sambungnya
“Jadi kuncinya percaya kepada Allah, lalu berusaha sambil meminta. Kalau Allah mentakdirkan, saya yakin. Kalau Allah menghendaki, saya akan berangkat,” katanya lagi.
Kepercayaan akan kekuasaan Allah adalah pondasi utama. Selanjutnya, Maksum berusaha untuk mewujdukan niatnya berhaji di Baitullah.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Dengan becak, Maksum mencari nafkah untuk dirinya yang kini sudah tidak lagi direpoti anak-anaknya. Enam dari empat belas keturunannya yang masih hidup sudah mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Maka, jika masih ada sisa dari hasil menarik becak, Maksum mengumpulkannya sampai 20 tahun hingga dia bisa mendaftar haji pada 2010 lalu.
“Saya nabung sedikit demi sedikit. Sebab, pendapatannya tidak tentu, kadang dapat 50ribu, kadang kurang,” kenangnya.
“Saya narik becak di Pasar Atum Surabaya. Tiap hari. Tapi kalau nabungnya tidak tentu,” sambungnya.
Setelah menunggu selama tujuh tahun, Maksum bisa berangkat haji tahun ini. Tergabung dalam kloter 6 Embarkasi Surabaya (SUB 06), dia mengaku bahagia dan kaget bisa memenuhi panggilan Allah, sesuai yang dicitakannya sejak lama.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Alhamdulillah. Sampai disini juga. Saya merasa kagum dan kaget,” tuturnya dalam Bahasa Jawa.
Maksum mengaku sampai sekarang masih menarik becak, meski usianya sudah mulai senja. Sepulang haji, dia juga mengaku ingin terus menarik becak, karena profesi itu yang selama ini ia jalani.
“Setelah haji, tetap narik becak. Kalau masih kuat kerja, masih pengen terus agar tidak merepotkan anak,” katanya.
“Kita ke sini kehendak Allah. Kalau Allah tidak menghendaki ya tidak bisa,” tutur Maksunm. (R/R05/P1)
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
(Sumber : Kemenag)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh