Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Malyoso, Lentera Semangat di Tengah Keterbatasan

Widi Kusnadi Editor : Arif R - 2 menit yang lalu

2 menit yang lalu

1 Views

Bapak Malyoso saat menghadiri tabligh akbar di ponpes Cileungsi, Bogor Ahad (23/2) (foto: MINA)

Di sebuah sudut kecil di Desa Nusajati, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, di antara riuh kehidupan yang penuh tantangan, seorang lelaki tua bernama Malyoso menjadi lentera semangat di tengah keterbatasannya. Meski kini usianya telah mencapai 70 tahun, namun semangat yang ia bawa dalam hidup tak pernah surut.

Seperti api yang tak padam oleh hujan deras, ia terus menyalakan harapan, meski fisiknya dalam keterbatasan, Malyoso menjalani kerasnya kehidupan, tidak hanya mencari nafkah untuk keluarganya, tetapi juga mampu memberi kebermanfaatan bagi sesama.

Setiap pagi, saat embun masih bergelayut di daun-daun, Malyoso sudah bersiap untuk menjalani rutinitasnya. Setelah selesai Shalat Subuh dan dzikirnya, dengan senyum sederhana yang selalu menghiasi wajah, ia menata tempe keripik dagangannya di keranjang kecil untuk dijajakan kepada para pedagang dan masyarakat.

Ia menyalakan sepeda motor roda tiganya dengan susah payah, lalu berkeliling dari kampung ke kampung, desa demi desa hingga mencapai tiga kabupaten, Ia jelajahi untuk menawarkan dagangannya. Hasil dari usaha kecilnya itu ia gunakan untuk menafkahi keluarganya, juga untuk menabung.

Baca Juga: Abu Ibrahim Woyla; Ulama Sufi Aceh dan Sanad Keilmuannya

Tabungan tersebut memiliki tujuan sangat istimewa, yakni agar ia dan keluarganya dapat menghadiri Tabligh Akbar di Pondok Pesantren Al-Fatah, Cileungsi, Bogor yang digelar setiap akhir bulan Sya’ban.

Bagi Malyoso, Tabligh Akbar bukan sekadar acara. Sejak pertama kali menghadirinya pada tahun 1982, saat ia masih bujangan dan bekerja di Semarang, acara itu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Setiap tahun, ia menanti momen ini dengan penuh antusiasme. Bukan perjalanan yang mudah, apalagi dengan keterbatasan fisik yang ia miliki. Namun, bagi Malyoso, semangat mengaji dan menimba ilmu agama mengalahkan segala rintangan yang ada.

“Tujuan utama saya ke sana adalah untuk mendengar langsung nasihat dan tausiyah dari Imaam Yakhsyallah Mansur,” ujarnya kepada wartawan MINA dengan mata berbinar.

Baca Juga: Teungku Fakinah; Ulama Wanita dan Panglima Perang Aceh

“Hal itu adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Bisa melihat langsung pemimpin saya, mendengar untaian nasihat-nasihatnya, itu sudah lebih dari cukup membuat hati saya damai, tenang dan bahagia,” lanjutnya, sembari menyantap nasi bungkus dengan lauk sambal dan telur dadar dari panitia.

Tahun ini, Tabligh Akbar kembali digelar pada 22-23 Februari 2025. Malyoso telah bersiap jauh-jauh hari, bahkan sejak bulan-bulan sebelumnya, ia menyisihkan hasil dari berjualan tempe keripik. Meski keuntungan yang ia dapatkan tak seberapa,

Ia selalu menyimpan sebagian untuk keperluan perjalanan ini.

“Menabung sedikit demi sedikit. Kalau ada rezeki lebih, saya sisihkan untuk infak dan sedekah,” katanya.

Baca Juga: Abu Muchtar Marsai Penjaga Thariqat Ilmu Falak Ibnu Al-Shatir

Semangat Malyoso untuk berbagi tidak hanya terpancar dari ibadah shalatnya. Dalam keterbatasan, ia tetap berusaha memberi manfaat bagi sesama. Ketika beberapa tetangganya kesulitan ekonomi, ia sering membagi sedikit hasil dagangannya. “Tidak banyak, hanya apa yang saya bisa,” ujarnya dengan rendah hati. “Saya tidak ingin menyusahkan orang lain, tapi ingin memberi manfaat, walaupun kecil dan sederhana.”

Perjalanan dari Cilacap ke Cileungsi tentu bukan hal mudah bagi seorang lansia seperti Malyoso. Namun, ia tak pernah mengeluh. Dengan persiapan dan perhitungan matang, ia memastikan segalanya berjalan lancar. Ketika ditanya apakah ia tidak merasa lelah, ia hanya tersenyum.

“Lelah itu pasti ada. Tapi kalau hati senang, rasa lelah itu hilang,” jawabnya ringan.

Keteguhan Malyoso adalah cerminan dari kekuatan iman dan cinta. Ia tak hanya mencintai ilmu, tetapi juga menghormati gurunya. Imaam Yakhsyallah Mansur adalah sosok yang ia kagumi.

Baca Juga: Teungku Chik Lampaloh Ulama Aceh Ahli Tafsir Keturunan Raja Mataram

“Saya berharap, bukan hanya bersua dengan beliau di dunia, tetapi juga di akhirat nanti, saya ingin bisa terus bersua dengan beliau,” ucapnya penuh harap.

Ketika tiba di Pondok Pesantren Al-Fatah, ia selalu merasa seolah-olah berada di rumah kedua. Setiap sudut tempat itu memberikan ketenangan yang sulit ia gambarkan dengan kata-kata.

Tausiyah yang ia dengar dari beberapa ustadz, zikir dan shalawat yang senantiasa ia lantunkan, semuanya menjadi bahan bakar spiritual yang menguatkan dirinya untuk terus “melangkah” di tengah keterbatasan.

Malyoso adalah simbol dari perjuangan tanpa henti. Di balik fisiknya yang renta dan langkahnya yang pelan, ada semangat yang tak pernah goyah. Ia mengajarkan kepada kita bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dalam keterbatasan, ada ruang untuk tumbuh, berjuang, dan memberi kepada sesama.

Baca Juga: Teungku Chik Pantee Geulima; Ulama dan Panglima Perang yang Disegani

“Hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa banyak yang bisa kita beri,” kata Malyoso. Kalimat itu keluar dengan tulus, mencerminkan jiwanya yang penuh kasih.

Saat hari semakin larut, Malyoso kembali ke rumahnya yang sederhana. Di sana, ia duduk sejenak, merenungi hari-harinya. Tidak ada penyesalan dalam hidupnya, meski jalan yang ia tempuh penuh liku. Ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari perjalanan menuju ridha Ilahi.

Bagi banyak orang, mungkin Malyoso hanyalah seorang pedagang kecil yang tak terlalu mencolok. Namun, di balik kesederhanaannya, ia adalah lentera yang menyala. Lentera yang mengingatkan kita bahwa dalam hidup ini, semangat dan keikhlasan adalah kunci untuk mengatasi segala rintangan.

Ketika Tabligh Akbar usai dan ia kembali ke Cilacap, ia membawa pulang lebih dari sekadar pengalaman. Ia membawa harapan, ilmu, dan kebahagiaan yang ia tanamkan dalam setiap doa dan langkahnya. “Selama saya masih bisa, saya akan terus berusaha hadir,” katanya dengan penuh keyakinan.

Baca Juga: Teungku Chik Di Tiro; Mujahid Besar, Sanad Keilmuan, dan Perjuangannya

Malyoso adalah bukti bahwa lapuknya usia, keterbatasan fisik, maupun keadaan ekonomi bukanlah penghalang untuk barjuang dan berbagi kebaikan. Ia adalah inspirasi bagi siapa saja yang ingin hidup dengan penuh makna. Semoga semangatnya terus menjadi teladan bagi kita semua. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Teungku Chik Kuta Karang; Ulama Pejuang Penasihat Chik Di Tiro

Rekomendasi untuk Anda