Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Manisan Idul Fitri di Damaskus: Kembalinya Aroma Ma’amoul Setelah 14 Tahun

Rudi Hendrik Editor : Sri Astuti - Kamis, 3 April 2025 - 20:48 WIB

Kamis, 3 April 2025 - 20:48 WIB

16 Views

Kue ma'maoul penganan khas Idul Fitri warga Damaskus, Suriah. (Gambar: SANA)

DENGAN datangnya Idul Fitri, perayaan penuh suka cita keluarga-keluarga di Damaskus, ibu kota Suriah, telah kembali ke kejayaannya sebelumnya, membawa serta esensi tradisi yang telah mengakar kuat, yang telah lama menjadi ciri khas kota kuno ini.

Setelah perang 14 tahun, tahun ini, Idul Fitri telah menyaksikan kebangkitan yang luar biasa dari penganan manis Idul Fitri buatan sendiri, khususnya ma’amoul, makanan penutup yang mewujudkan semangat warisan Suriah. Kebangkitan ini terjadi di tengah suasana kegembiraan publik setelah kemenangan revolusi dan kemajuan menuju stabilitas.

Ma’amoul, kenangan masa kecil dan aroma sejarah

Di masa lalu, keluarga-keluarga akan berkumpul beberapa hari sebelum Idul Fitri untuk membuat ma’amoul dengan tangan, menggunakan cetakan kayu yang diukir dengan pola-pola dekoratif. Para wanita berlomba memamerkan keterampilannya mengisi adonan dengan kurma, kenari, atau pistachio, sementara para pria memanggang dan menggiling kacang-kacangan.

Baca Juga: Dari Bandung untuk Palestina, Langkah Solidaritas yang Menggetarkan Jiwa

“Para tetangga biasa bekerja sama membuat ma’amoul. Setiap keluarga menyiapkan makanan dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada kerabat, dan kami menganggapnya sebagai kesempatan untuk saling terhubung sebelum Idul Fitri,” kata Um Ali, seorang perempuan berusia 65 tahun, kepada SANA.

Ma’maoul dibuat dengan tangan, menggunakan cetakan kayu yang diukir dengan pola-pola dekoratif. (Gambar: Oldenburger Professional)

Tahun-tahun perang: manisan yang mencerminkan ketahanan

Selama tahun-tahun perang, praktik semacam itu berubah menjadi tantangan bagi keluarga karena harga bahan-bahan pokok seperti gula, tepung, dan ghee melonjak.

Banyak yang beralih ke bahan pengganti berkualitas rendah atau berhenti membuat manisan sama sekali. Namun, dengan kemenangan revolusi Suriah dan dimulainya pemulihan, kehidupan berangsur-angsur kembali normal.

Baca Juga: Masjidil Haram, Pusat Peribadatan Islam Terbesar di Dunia

Para peneliti ekonomi mencatat penurunan harga pangan sebesar 30% dibandingkan tahun lalu, menghidupkan kembali harapan untuk pembaruan tradisi.

Idul Fitri pertama setelah kemenangan: perayaan ganda

Di lingkungan lama Damaskus, seperti al-Shaghour, al-Midan, dan al-Salihiya, penduduk menggambarkan Idul Fitri kali ini “luar biasa,” karena kegembiraan kemenangan bertepatan dengan semangat bersama membuat manisan.

Abu Muhammad, pemilik toko kacang berusia 45 tahun di Friday Souq (pasar) al-Salihiya, mengatakan, “Ini adalah tahun pertama saya melihat permintaan pistachio dan kenari yang begitu tinggi selama bertahun-tahun. Orang-orang sekarang mampu membeli bahan-bahan ma’amoul lagi.”

Baca Juga: Zionis Israel, Monster yang Kejahatannya Tak Bertepi di Gaza

Dia menambahkan bahwa hibah keuangan (THR) pemerintah kepada karyawan sebelum Idul Fitri membantu meningkatkan pasar.

Ma’maoul dibuat dengan beragam bentuk. (Foto: Delicious)

Al-Sekbah: kedermawanan orang Suriah yang terwujud dalam tradisi

Ritual Idul Fitri di Damaskus tidak lengkap tanpa al-Sekbah, yaitu sebuah tradisi sosial yang mencerminkan kedermawanan orang Suriah, di mana keluarga membuka pintu mereka untuk tamu sepanjang hari raya, menawarkan berbagai macam manisan, buah-buahan, dan kacang-kacangan, terutama ma’amoul.

Samar, seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun, menjelaskan, “al-Sekbah bukan sekadar keramahtamahan, ini adalah pesan bahwa warga Damaskus saling mendukung, apa pun keadaannya.”

Baca Juga: Raja Ampat, Surga Bawah Laut yang Wajib Dikunjungi di Indonesia

Dari masa lalu hingga kini warisan Damaskus tetap hidup

Saat ini, meskipun penganan siap saji sudah menjamur, sebagian besar keluarga Damaskus lebih memilih produksi rumahan, tidak hanya untuk menikmati cita rasa asli, tetapi juga untuk menjaga hubungan emosional dengan kenangan kota tersebut.

Inisiatif kaum muda juga muncul untuk mempromosikan tradisi ini melalui lokakarya edukasi tentang pembuatan ma’amoul, sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan takbenda.

Tahun ini, perayaan Idul Fitri di Damaskus kembali dengan semangat baru, membawa serta kemenangan keinginan rakyat dan menegaskan kembali bahwa cita rasa ma’amoul dan aroma kopi, yang menyertai al-Sekbah akan tetap menjadi bagian dari identitas kolektif yang menghubungkan kegembiraan pribadi dengan kebanggaan nasional. []

Baca Juga: Tangan-Tangan Kecil untuk Palestina, Ketika Murid SD di Brebes Menolak Diam Melihat Derita Gaza

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Amerika Serikat Negara Adidaya, Moral Seadanya

Rekomendasi untuk Anda