Mantan Komandan Afghanistan Berbagi Kisah dengan Tim Siber Kemenag

Jakarta, 9 Ramadhan 1437/14 Juni 2016 (MINA) – Namanya Abdurrohman Ayyub. Dia dikenal sebagai alumni akademi militer yang mengawali latihan militer di sana pada 1983 dan pulang ke Indonesia pada 1992.

“Pangkat terakhir saya saat pulang ke Indonesia adalah mayor,” ungkap Ayyub saat berbagi kisah dengan peserta Koordinasi Nasional Tim Siber Anti Narkoba dan Radikalisme, Selasa (14/6), demikian keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Ayub sengaja didatangkan sebagai salah satu narasumber untuk membagi pengalaman kepada Tim Siber Kementerian Agama tentang keterlibatannya dalam radikalisme.

Sejumlah negara pernah dikunjunginya, mulai dari Afghanistan, Malaysia, Filipina, Australia, termasuk saat melakukan hit and run di sejumlah kebun sawit di Indonesia.

“Tiap ketemu polisi atau TNI, saya tak pernah takut tapi berfikir kapan bisa saya habisi,” katanya direspon geleng kepada peserta koordinasi yang berasal dari 33 provinsi se-Indonesia.

Menurut Ayyub, kemampuan perang yang dimiliki alumni latihan militer Afghanistan dikenal mumpuni. Patek misalnya, menguasai pembuatan 30 jenis racun dan piawai membuat bom jenis high explosive.

“Di ruangan tertutup seperti ini misalnya, cukup dengan bubuk tanaman yang ada di sekitar kita, sebarkan lewat AC, pasti semuanya tidak bisa bangun lagi,” sambung Ayyub merinci kemampuan Umar Patek dalam meracik racun.

“Kepala Umar Patek dihargai Amerika sampai 1 juta USD,” tambahnya.

Menyebut contoh lain, pria kelahiran Jakarta 5 Maret 1963 ini juga yakin kalau Bom Bali I, Bom Bali II, dan Bom JW Marriot adalah buah kreasi teroris Indonesia.

“Itu buatan pemuda-pemuda asli Indonesia dari desa yang lugu, bukan buatan Amerika,” tandasnya.

Kepada Tim Siber Kemenag, Ayyub berbagi pengetahun terkait ciri-ciri gerakan radikal ektrim yang kerap melahirkan teror, antara lain: mudah mengkafirkan, ada baiat untuk masuk kelompok mereka, hijrah ke negeri yang menurut mereka Islam, jihad yang bagi mereka berarti perang, dan menjadikan negeri asal tempat kembali sebagai kancah peperangan sampai muncul keberkahan versi mereka.

Ayyub menambahkan kalau gerakan ini juga terus mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman.

Menurutnya, kala pada kurun 1983 dia harus melakukan baiat secara langsung, kini calon korban cukup dengan ponsel atau di depan komputer.

“Sekarang dikenal baiat online,” katanya sembari menambahkan bahwa Islamic State Iraq Syria (ISIS) secara geografis memang jauh, tapi bagi sementara orang dekat di hati.

Kini Ayyub mengaku prihatin karena paham radikal ekstrim sangat mudah dijejalkan kepada anak putus sekolah terlebih kalangan keluarga broken home.

“Anak remaja yang stress cukup disulap 3 menit siap jadi ‘pengantin’ alias pelaku bom bunuh diri. Sementara remaja galau hanya butuh 3 hari,” ujarnya.

“Untuk yang sarjana dibutuhkan 1 bulan, S2 butuh 2 bulan, dan program doktoral bisa kita ubah pola pikirinya dalam 3 bulan,” tambahnya sambil mencontohkan kalau di Australia ada penerima beasiswa doktoral dari Pemerintah RI, begitu pulang ke Indonesia malah memusuhi NKRI.

Diakui Ayyub kalau dirinya juga mengalami salah doktrin. “Maksud hati ingin belajar agama, tapi ketemu ustadz yang berpahaman radikal ekstrim,” dalihnya.

Ayyub mengaku bersyukur akhirnya mendapat hidayah Allah untuk kembali berdakwah Islam yang ramah. Saat tinggal di Sydney, Ayyub sempat bertemu ulama-ulama Madinah yang kerap berkunjung di sana.

“Alhamdulillah, doktrin-doktrin agama yang saya yakini sebelumnya ternyata salah besar,” pungkas Ayyub yang menyebut dirinya sekarang memahami bahwa demo mengkritik pemerintah itu haram, apalagi perang. (T/R05/R02)

Mi’raj Islmaic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.