Canberra, 29 Dzulqo’dah 1435/24 September 2014 (MINA) – Mantan Perdana Menteri Australia periode 1996 sampai 2007, John Howard menyatakan dirinya menyesali keputusannya telah ikut mengirim pasukan menyerang Irak, 2003 bersama Amerika Serikat (AS).
“Data intelijen AS dalam kasus Irak ternyata tidak akurat, Saddam Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal dan isu itu hanya ketakutan negara-negara barat, terutama AS terhadap Saddam,” katanya dalam wawancara dengan stasiun TV lokal Australia, Seven Network. Sydney Morning melaporkan seperti dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rabu.
Lebih lanjut, Howard menyatakan tidak setuju bila dikatakan bahwa konflik di Irak, yang dipimpin AS dan Inggris adalah salah satu pemicu terbentuknya kelompok Negara Islam atau ISIS yang makin memperluas kekuasaannya di Irak dan Suriah.
Mengomentari adanya isu terorisme di negaranya, Howard menyatakan memang ada ancaman terorisme di Australia, tetapi ancaman itu tidak boleh dijadikan pembenaran untuk menghambat migrasi pemeluk Islam ke Australia. Untuk mencegah radikalisasi, kaum Muslim muda harus diajak membaur ke masyarakat.
Sementara itu, anggota DPR Australia, Andrew Wilkie menyatakan Howard seharusnya diadili di Mahkamah Internasional atas keputusannya itu.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
“Sejujurnya, saya kecewa karena para jaksa di Mahkamah Internasional belum berpikir untuk meminta pertanggungjawaban John Howard dengan tuduhan konspirasi melakukan pembunuhan massal,” tegas Wilkie.
Mantan analis intelijen yang beralih karir menjadi politisi ini menambahkan, “Menyeret Australia ke dalam perang berdasarkan data palsu adalah satu kebodohan. Namun yang lebih buruk lagi adalah akibat perang tersebut bagi banyak orang.”
“Perang yang membunuh warga Irak yang tak terhitung jumlahnya telah menciptakan kondisi bagi berkembangnya bukan hanya ISIS tapi juga kelompok lainnya,” tutur Andrew Wilkie.
Perang Irak (19 Maret-1 Mei 2003), adalah operasi kekuatan gabungan pasukan Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Polandia menggulingkan rezim Saddam Hussein diakhiri dengan jatuhnya ibukota Irak Baghdad. Amerika Serikat mengirim 148.000 pasukan,Inggris 45.000, Australia 2.000, dan Polandia 194.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Menurut Perdana Menteri Inggris saat itu, Tony Blair, perang itu merupakan kesempatan untuk melucuti senjata nuklir, kimia, dan biologis milik Irak.
Pada tahun2005, Central Intelligence Agency merilis sebuah laporan mengatakan bahwa tidak ada senjata pemusnah massal di Irak. (L/P007/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai