Sana’a, 18 Rabi’ul Awwal 1437/29 Desember 2015 (MINA) – Mantan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh yang bersekongkol dengan kelompok pemberontak Houthi menolak pembicaraan damai lanjutan dengan pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi. Ia berpendapat dialog sepatutnya harus berlangsung dengan Arab Saudi.
Berpidato pada Ahad (27/12) dalam pertemuan dengan para anggota partai yang dipimpinnya, General People’s Congress (GPC), Saleh mengatakan pihaknya tidak akan terlibat dalam perundingan damai Yaman.
“kami tidak akan ambil bagian dalam dialog (yang akan datang), kecuali perang berakhir,” kata Saleh seperti dilaporkan Gulf Times, Senin (28/12), yang dikutip Mi’raj Islamc News Agency (MINA).
Perwakilan GPC menghadiri pembicaraan damai yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Swiss pekan lalu. Tidak ada terobosan besar dalam pembicaraan itu namun para pihak yang terlibat sepakat untuk bertemu lagi pada 14 Januari.
Baca Juga: Hongaria Cemooh Putusan ICC, Undang Netanyahu Berkunjung
“Dan jika perang berakhir, kita akan mengadakan pembicaraan dengan Arab Saudi dan tidak dengan delegasi pelarian,” ujar Saleh, mengacu pada delegasi pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang terpaksa mengasingkan diri ke Saudi akibat diserang kelompok pemberontak Syiah Houthi.
Posisi Riyadh dalam konflik Yaman memang sentral karena sejak awal mendukung pemerintahan Mansour Hadi, yang juga diakui masyarakat internasional sebagai pemerintah yang sah.
Sejak Maret lalu Saudi memimpin koalisi militer yang memerangi pemberontak Houthi dukungan Iran itu. Kelompok ini juga mendapat sokongan dari pihak militer yang masih setia kepada Saleh.
Saleh memerintah Yaman selama tiga decade. Ia mempertahankan hubungan yang baik dengan Saudi sebelum mengundurkan diri pada 2012 setelah mendapat perlawanan keras dari rakyat di negaranya.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Dalam pidato tersebut ia menyampaikan tawaran untuk “bekerja sama” dengan Houthi untuk meyakinkan mereka agar nelakukan pembicaraan dengan kerajaan tersebut.
Sementara itu, kelompok penyalur bantuan di Kota Taez mengatakan bantuan kemanusiaan tidak bisa mencapai kota yang berada di bawah pengepungan pemberontak itu. “Tidak ada bantuan yang telah tiba di kota yang terkepung itut,” kata anggota komite bantuan medis lokal, Mohamed al-Qobati.
Rumah sakit terbesar di barat daya Taez, Al-Thawra, ditutup pada hari Jumat setelah kehabisan pasokan medis dan peralatan bedah. Sebanyak 600 ribu warga di sana yang sangat membutuhkan pasokan bantuan. (P022/R07)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina