Oleh: Mohamad Asruchin, Pemerhati wilayah Asia Tengah dan masalah China, Duta Besar RI utk Uzbekistan, Kyrgyzstan dan Tajikistan (2010-2014)
Ketika China berhasil mempertemukan Arab Saudi dan Iran untuk menandatangani perjanjian damai di Beijing bulan Maret 2023, dunia terhenyak mengakui kepiawaian diplomasi China di pentas global. Musuh bebuyutan mewakili bangsa Arab dan bangsa Persia yang sudah tidak akur selama tujuh tahun terakhir, sepakat untuk rujuk kembali dengan mediasi China.
Pemerintah China dapat kredit dan sekaligus melambungkan kemampuan diplomasinya dalam meredakan ketegangan di wilayah penuh gejolak Timur Tengah. Sebaliknya Amerika Serikat yang selama ini menjadi penjamin keamanan negara-negara Arab, kredibilitasnya sedikit terpinggirkan.
Normalisasi hubungan dua negara penting di wilayah Timur Tengah, Arab Saudi dan Iran sama sekali bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah diupayakan dalam dua tahun terakhir oleh beberapa pihak terutama mediasi yang dilakukan oleh Irak dan Oman.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Suasana kondusif di wilayah Timur Tengah sudah mulai bergulir sejak berakhirnya blokade negara-negara Teluk anggota GCC (Gulf Cooperation Council) dan Mesir terhadap Qatar yang dianggap mendukung para demonstran saat terjadi Arab Spring melalui siaran dan komentar radio dan televisi di negaranya termasuk Televisi Al-Jazeera yang siarannya menjangkau seluruh jazirah Arab dan wilayah MENA (Middle East and North Africa) secara luas. Kejatuhan diktator Mesir, Presiden Hosni Mubarak telah memantik kemarahan negara-negara Arab untuk memusuhi Qatar.
Keterlibatan China dalam perkembangan politik-keamanan di Timur Tengah dimulai dari kegiatan di bidang perekonomian, perdagangan dan investasi yang dikemas dalam program BRI (Belt and Road Initiative) – suatu program andalan Presiden China Xi Jinping untuk menghubungkan wilayah Asia, Eropa, Afrika dan Timur Tengah dalam kegiatan perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur.
Penambahan unsur keamanan dan militer China di wilayah tersebut didasari atas kebutuhan untuk menjaga keselamatan kapal-kapal tanker pengangkut minyak dari wilayah Teluk Persia, yang merupakan pemasok terbesar kebutuhan energi dalam memutar mesin-mesin produksi di China.
Seiring dengan menurunnya peran dan kredibilitas AS sebagai penjamin stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah, negara-negara MENA menyambut baik kemunculan China sebagai kekuatan alternatif dan sekaligus pengimbang kekuatan AS dan Barat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
AS dan Barat juga tidak keberatan dengan meningkatnya peran China di wilayah sarat konflik Timur Tengah.
Keterlibatan aktif China diharapkan dapat ikut menanggung bersama dalam mempertahankan perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.
Dengan demikian China tidak hanya menjadi “free rider” yang hanya menikmati dan memanfaatkan jaminan keamanan oleh AS dan Eropa di pusat-pusat dan jalur lintasan kegiatan ekonomi-perdagangan di Timur Tengah untuk kepentingan ekonominya. Namun demikian AS juga terus memantau peningkatan pengaruh politik dan kehadiran pasukan keamanan/militer China di MENA.
Kunjungan Presiden Xi Jinping ke Arab Saudi bulan Desember 2022 yang juga menyelenggarakan Pertemuan Puncak China dengan GCC, merupakan sejarah baru hubungan China-Timur Tengah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Kunjungan Presiden Iran Ebrahim Raisi ke Beijing bulan Februari 2023, makin menunjukkan meningkatnya posisi geostrategis China terhadap MENA.
Rekonsiliasi Anggota GCC
Perkembangan wilayah Timur Tengah banyak dipengaruhi oleh kondisi dan interaksi negara-negara kaya minyak yang tergabung dalam organisasi GCC yang beranggotakan enam negara, yaitu Arab Saudi, UAE (United Arab Emirate), Kuwait, Qatar, Bahrain dan Oman.
Pelaksanaan program-program GCC menjadi terganggu ketika terjadi perselisihan di antara anggotanya. Tahun 2017 Arab Saudi bersama UAE dan Bahran ditambah Mesir melakukan pembekuan hubungan diplomatik dengan Qatar karena pemberitaan-pemberitaan Al-Jazeera ikut mendukung gerakan Arab Spring, termasuk ‘people power’ yang berhasil menggulingkan Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Tiga setengah tahun kemudian, negara-negara di jazirah Arab harus merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan situasi internasional, terutama dalam menyikapi anjloknya harga minyak dunia dan penyebaran wabah Covid-19 yang mematikan, Arab Saudi dan UAE mulai mengendorkan sikap agresifnya terhadap Qatar.
Sikap perlunya rekonsiliasi dari dua negara utama GCC mendapat sambutan positif dari pimpinan pemerintahan Doha.
Pada Gulf Summit GCC ke-41 yang berlangsung di kota Al-Ula, Arab Saudi pada awal Januari 2021, sikap permusuhan dan blokade terhadap Qatar diakhiri.
Penghentian permusuhan dengan Qatar juga dapat meningkatkan citra Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) sebagai pemimpin baru Arab Saudi sekaligus pemimpin di kalangan GCC.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Setelah konflik intra keanggotaan GCC tertanggulangi, negara-negara Arab di cekungan Teluk Persia mulai melebarkan semangat damainya ke negara lain se kawasan, yaitu Iran.
UAE dan kemudian disusul Kuwait segera membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan negara para mulah yang beraliran Syiah tersebut.
Giliran berikutnya, Arab Saudi dengan dimediasi oleh Irak dan Oman melakukan pembicaraan dengan Iran dalam rangka pencairan hubungan diplomatik mereka yang terputus sejak tahun 2016 setelah terjadi demonstrasi besar-besaran menerobos gedung Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran, memprotes eksekusi hukuman mati terhadap ulama Syiah di Riyadh.
Tidak ada yang kebetulan jika arah peredaan ketegangan dan semangat damai yang menggebu di jazirah Arab ini dimanfaatkan China untuk menerapkan diplomasi globalnya.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dalam ‘Arab Policy Paper’ yang dikeluarkan pemerintah China bersamaan dengan kunjungan perdana Presiden Xi Jinping ke Timur Tengah (Arab Saudi dan Mesir) pada bulan April 2015, menyebutkan Visi China yaitu: menyusun strategi pembangunan bersama negara-negara Arab, menggarap potensi atas kelebihan masing-masing, kerjasama meningkatkan kapasitas produksi internasional, utamanya kerjasama dalam pemenuhan energi, pembangunan infrastruktur, peningkatan kegiatan perdagangan dan investasi, serta kerjasama dalam pengadaan energi nuklir, satelit dan sumber-sumber energi baru.
Sebagaimana pemahaman dunia pada umumnya, China melihat Arab Saudi dan Iran adalah dua negara yang dari segi politik, ekonomi maupun militer merupakan dua kekuatan besar Timur Tengah yang dalam kalkulasi geostrategis perlu dijadikan mitra penting di wilayah tersebut.
Selain menjadi pemasok utama energi, Arab Saudi dan Iran juga merupakan mitra dagang penting China di Timur Tengah dengan volume perdagangan tahun 2021 tercatat masing-masing sebesar US$ 87 milyar dan US$ 16 milyar.
Dengan kepemilikan berbagai unsur di atas, maka pemerintah Beijing telah memberikan status “Comprehensive Strategic Partnership”, suatu level tertinggi dalam kemitraan diplomatik, kepada pemerintah Riyadh dan Teheran.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Penguatan BRI di Jazirah Arab
Titik berat hubungan luar negeri China dengan negara lain tidak terkecuali dengan Timur Tengah adalah kepentingan ekonomi. Sejak Presiden China Xi Jinping meluncurkan program “Belt and Road Intiative” (BRI) pada tahun 2013, yang kemudian dijadikan sebagai alat utama kebijakan luar negeri China.
Program ambisius ini direncanakan dapat menghubungkan 65% penduduk dunia dengan China sebagai titik sentral jaringan perdagangan global – dalam rangka menghidupkan kembali perlintasan dagang legendaris “Jalur Sutera” yang terbentuk sejak jaman Dinasti Han (202 SM – 220 M).
Dengan makin tingginya ketergantungan China terhadap pasokan minyak dari Timur Tengah, maka China menempatkan kawasan Timur Tengah sebagai kawasan penting dalam kebijakan globalnya.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Tercatat sejak tahun 2015 China merupakan pengimpor minyak terbesar dunia, hampir separuh kebutuhannya tersebut berasal dari negara-negara Arab di sekeliling Teluk Persia, utamanya adalah Arab Saudi. China juga mengimpor LNG dari anggota GCC lainnya, Qatar.
Saat ini Arab Saudi dan UAE telah menjadi mitra dagang non-minyak terbesar dunia bagi China. Dalam ‘BRI Investmen Report 2021’, porsi terbesar investasi proyek-proyek BRI ditujukan untuk wilayah MENA (Middle East and North Africa). Tahun berikutnya wilayah ini menerima 23% dari investasi proyek BRI, antara lain untuk pembangunan Red Sea Gateway Terminal, High-Speed Railway yang menghubungkan Mekah dan Medinah, Pelabuhan Hamad di Qatar, megaproyek Area Teknologi di Terusan Suez, pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Irak maupun daerah Otonomi Kurdistan, serta joint-venture dengan Iran untuk membangun Pelabuhan Chabahar dan Terminal minyak Jask Port di selatan Selat Hormuz.
Selain memfokuskan pada kerjasama perdagangan dan investasi, China juga menawarkan penjualan dan pemasangan peralatan dengan teknologi tinggi, termasuk teknologi digital 5G dari perusahaan Huawei telah mencapai kesepakatan dengan negara-negara anggota GCC.
Bahkan berbeda dengan AS dan negara-negara Eropa yang menolak untuk melakukan penjualan persenjataan teknologi mutakhir kepada negara-negara Arab, China justru memanfaatkan ketidakkonsistenan sikap Barat tersebut dengan menjual peralatan militer canggih seperti rudal Dongfeng dan drone pembom Winglong. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya saling percaya kedekatan hubungan antara negara-negara Timur Tengah dengan China.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Prinsip “non-interference in and partnership with other states” yang diterapkan China di Timur Tengah sangat cocok dengan sistem pemerintahan monarki dan kekuasaan otoriter yang banyak berlangsung di wilayah Timur Tengah.
Berbeda dengan AS dan negara-negara Barat yang sibuk mengurusi pelanggaran HAM, good government, dan demokratisasi, Beijing mengusung pendekatan “development peace” yang berbeda dengan “democratic peace” sebagai misi Barat dalam menegakkan stabilitas dan keamanan di dunia.
Kelompok negara MENA juga tertarik dengan model “authoritarian capitalism’ yang dikembangkan di China sejak tokoh pembaruan China Deng Xiaoping melancarkan program ‘Reformasi dan Pintu Terbuka’ di awal tahun 1980-an.
Kedekatan dan bahkan keberpihakan negara-negara Arab serta negara berpenduduk muslim lainnya terhadap China terlihat dalam isu Xinjiang Uighur.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Ketika organisasi internasional HAM serta AS Eropa menuduh China telah melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Uighur yang beragama Islam, pemerintahan negara Arab serta anggota MENA tidak bereaksi dan bahkan mengabaikan sama sekali tuduhan tersebut.
Ketika negara-negara Eropa akan membicarakan masalah Xinjiang Uighur di PBB tahun 2019, perwakilan dari Mesir, Arab Saudi, UAE dan Pakistan menentangnya.
Menlu Mesir Sameh Shukri saat itu menyatakan agar negara lain tidak perlu melakukan campur tangan terhadap masalah dalam negeri China.
Persaingan Geostrategis di Timur Tengah
Pemerintah China tidak bisa mengklaim sendirian keberhasilannya dalam mengakurkan dua kekuatan utama di Timur Tengah, mengingat Irak dan Oman telah bekerja keras mendamaikan Arab Saudi dan Iran sejak tahun 2021.
Selain itu, China juga sangat hati-hati dalam menindaklanjuti kesepakatan damai ini sehingga tidak merugikan kepentingan AS yang selama ini merupakan penjamin keamanan negara-negara Arab yang menjadi koalisi dekatnya.
Dalam kaitan tersebut, China akan melakukan tiga Tidak, yaitu: Tidak akan menyaingi atau mengambil-alih status AS sebagai pelindung keamanan atau mengganggu kepentingan AS; Tidak melakukan keberpihakan penuh kepada Iran; dan Tidak melibatkan sama sekali Rusia sebagai musuh utama AS dalam proses perdamaian Timur Tengah.
Meskipun Arab Saudi dan Iran telah sepakat untuk menghadiahkan kemenangan diplomasi di Timur Tengah kepada China, namun demikian guna menghindari kecurigaan serta perasaan terpinggirkan, semua perkembangan perjanjian damai tersebut diinfokan langsung kepada Washington.
Peran China ini terlihat sebagai kesiapan China untuk terlibat aktif dalam mengatasi permasalahan dunia, sebagaimana yang diharapkan oleh AS selama ini.
Dengan demikian China tidak terus-menerus menjadi “free-rider” yang memanfaatkan situasi di berbagai belahan dunia untuk kepentingan ekonominya, tetapi sudah harus siap berperan sebagai “responsible power” yang ikut ambil bagian dalam mempertahankan perdamaian dan keamanan dunia.
Terus meningkatnya lalulintas barang terutama pengangkutan minyak oleh kapal-kapal tanker dari negara-negara Teluk ke China telah mendorong China untuk mengamankan proyek ‘Maritime Silk Road’ dengan meningkatkan Armada Laut sepanjang jalur lintasan laut yang menghubungkan Teluk Persia dengan China melalui Terusan Suez, Laut Arab, Laut Merah, Samudra Hindia dan Laut China Selatan.
Dalam mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai ketegangan atau konflik di wilayah Timur Tengah, China juga telah meningkatkan hubungan militer serta terlibat lebih banyak kegiatan ‘Joint Maritime Exercises’ dan memperkuat kerjasama dengan negara-negara META dalam melancarkan operasi terhadap ancaman-ancaman keamanan non-tradisional.
Pada tahun 2017, Angkatan Laut China PLAN (People’s Liberation Army Navy) membangun pangkalan militer pertama Di luar China, yaitu di Djibouti yang berdekatan dengan Selat Hormuz.
Dengan meningkatnya pamor China dan sebaliknya merosotnya citra AS di Timur Tengah, muncul pertanyaan apakah China siap bersaing atau bahkan menggantikan peran AS dalam konstelasi geostrategis di Timur Tengah?
Banyak pengamat berpendapat China tidak akan menggeser peran AS di Timur Tengah, setidaknya tidak dalam waktu dekat.
China hingga saat ini akan terus melanjutkan manuver diplomasi serta memperkuat pengaruh ekonomi, perdagangan dan investasinya dengan negara-negara di Timur Tengah, sementara tetap menyerahkan urusan pemeliharaan keamanan di wilayah tersebut kepada AS.
Profesor Fan Hongda dari “The Middle East Studies Institute of Shanghai Internasional Studies University” juga meyakini bahwa Beijing tidak ada rencana untuk merebut posisi Washington di Timur Tengah, namun lebih mengutamakan pengaruh di sektor ekonomi serta investasi untuk proyek-proyek infrastruktur BRI.
Pendapat serupa disampaikan oleh Direktur “The China-Middle East Project at Tehran’s Center for Middle East Strategic Studies”, Zakiyeh Yazdanshenas yang mengatakan bahwa Beijing tidak mempunyai kemampuan dan tidak pula memiliki keinginan untuk menghadirkan kekuatan militernya di wilayah Timur Tengah sebagaimana yang dilakukan oleh AS, namun mencoba keras untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah terutama di negara-negara Teluk Persia.
Selanjutnya ditambahkan adanya tiga tujuan utama China dalam hubungannya dengan negara-negara Arab dan wilayah MENA pada umumnya, yaitu: Memastikan terjaminnya keamanan pada jalur lintasan tanker minyak dan gas, mengusahakan biaya murah untuk kegiatan perdagangan China, dan meningkatkan prestise negaranya sebagai kekuatan dunia yang bertanggungjawab.
Prospek Stabilitas dan perdamaian Timur Tengah
Keberhasilan China membawa Arab Saudi dan Iran menandatangani perjanjian damai disambut baik oleh semua negara Arab dan wilayah MENA serta dunia internasional pada umumnya.
Perdamaian dua negara penting di Timur Tengah tersebut berdampak positif terhadap stabilitas dan keamanan di MENA, wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara secara keseluruhan.
Rujuknya Riyadh dan Teheran sebagai pusat kekuasaan aliran Sunni dan Syiah telah berdampak berkurangnya ketegangan maupun konflik sektarian Sunni-Syiah di Yaman, Syria, Irak dan Lebanon. Arab Saudi, Iran dan negara-negara Arab lainnya menyambut baik munculnya China sebagai kekuatan alternatif dan sekaligus terbentuk kekuatan multipolar menggantikan peran tunggal AS di Timur Tengah selama ini.
Meskipun China selalu menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah berusaha untuk menggantikan peran AS sebagai kekuatan yang menentukan di Timur Tengah, namun China terus memperluas pengaruh diplomasi ekonomi dan politiknya di wilayah tersebut. Sukses mendamaikan musuh bebuyutan Arab Saudi dan Iran, kini China ingin membuat terobosan lebih lanjut di wilayah panas Timur Tengah.
Pertengahan April 2023, Menlu China Qin Gang menyatakan kesiapan Beijing untuk menjadi penengah perundingan antara Israel dan Palestina, suatu konflik paling rumit yang berlatar belakang perebutan wilayah, warisan sejarah keagamaan, dan persaingan memperebutkan supremasi sesama keturunan Nabi Ibrahim antara bani Israel dan bangsa Arab.
Terkait penanganan konflik Palestina-Israel yang berlarut-larut, negara-negara Arab dan dunia pada umumnya melihat secercah harapan kepada China, mengingat upaya AS dan negara Barat selama ini tidak kunjung berhasil dalam menyelesaikan konflik tersebut. Dalam hal ini AS dianggap sulit bersikap netral karena kedekatan dan keberpihakannya dengan Israel.
Invasi militer AS di Irak 2014, Libya 2015, campur tangan AS pada Perang Saudara di Syria, dan permusuhannya dengan Iran membuat kredibilitas AS rendah untuk menjadi mediator di wilayah Timur Tengah. Sebaliknya China mempunyai hubungan baik dengan seluruh negara di kawasan tersebut, termasuk dengan Israel.
Adapun posisi China terhadap Palestina selama ini adalah memberikan dukungan penuh terhadap perjuangan rakyat Palestina, termasuk dukungannya di forum-forum PBB.
Keberhasilan diplomasi China mendamaikan musuh bebuyutan dua negara penting di Timur Tengah, Arab Saudi dan Iran memang memberikan ruang lebih leluasa bagi negara-negara Arab Teluk untuk mengembangkan keamanan regional dengan diversifikasi kekuatan lain, utamanya dengan China yang makin intensif melakukan manuver keterlibatannya di wilayah MENA melalui peningkatan hubungan perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur.
Walaupun demikian China sama sekali belum mampu menggeser peran AS yang tetap akan menjadi pemeran utama di wilayah tersebut dengan kehadiran militernya yang sangat besar dalam menjamin keamanan negara negara-negara Arab.
Dengan demikian kini mulai terbentuk kekuatan multipolar dalam percaturan geostrategis di jazirah Arab dan wilayah MENA pada umumnya.
Bekasi, 15 Juni 2023.
(AK/R1/P1)