Mari Musahabah

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

atau evaluasi adalah hal penting dari amalan hati seorang muslim. Apa jadinya jika seseorang tidak pernah melakukan evaluasi diri. Apa jadinya jika perbuatan yang salah dianggap benar terus menerus karena tidak pernah dievaluasi.

Evaluasi bahkan bukan hanya untuk pribadi seseorang saja, tapi juga sebuah perusahaan, atau organisasi pun mesti melakukannya jika ingin terus eksis dan berjalan dengan baik sesuai rencana. Betapa banyak contoh kehancuran yang terjadi jika evaluasi tidak pernah dilakukan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid dalam Silsilah A’malil Qulub menegaskan, muhasabah terhadap diri sendiri itu merupakan jalannya orang-orang mukmin dan ciri khas orang-orang bertakwa.

Orang mukmin yang bertakwa kepada Rabbnya senantiasa melakukan muhasabah terhadap dirinya sendiri dan memohon ampun atas dosa-dosanya. Dia mengetahui dalam jiwa itu ada bahaya yang besar dan penyakit yang berbahaya.

Jiwa itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, cenderung kepada hawa nafsu, mengajak kepada kebodohan, mengantarkan kepada kebinasaan, sangat suka kepada permainan kecuali jiwa yang dirahmati oleh Allah.

Oleh karena itu, seorang hamba semestinya senantiasa melakukan muhasabah terhadap dirinya sendiri. Namun, sebelum melakukan muhasabah, sebaiknya seorang muslim terlebih dulu memahami dengan baik apa yang dimaksud dengan muhasabah. Sebab tidak mungkin kita bisa melakukan sesuatu tanpa mengetahui persis apa yang dimaksud dengan muhasabah.

Menurut Syaikh Al Munajjid, muhasabah adalah menghitung-hitung keburukan dan kekurangan. Muhasabah adalah meneliti perbuatan-perbuatan diri ini, mengoreksi yang salah dan terus melanjutkan amal-amal shalih.

Pentingnya muhasabah

Karena sangat pentingnya muhasabah, Allah SWT langsung memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar melakukannya. Seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Hasyr: 18-19

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan kandungan ayat ini dalam kitab tafsirnyaTaisiru Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan sebagai berikut;

“Ayat ini adalah pangkal dalam hal muhasabah diri. Setiap orang harus selalu mengintrospeksi diri. Jika melihat adanya kekeliruan segera menyelesaikannya dengan cara melepaskan diri darinya, bertaubat dengan sungguh-sungguh dan berpaling dari berbagai hal yang mengantarkan pada kekeliruan tersebut.

Jika menilai dirinya bersikap semaunya dalam menunaikan perintah-perintah Allah, ia akan mengerahkan segala kemampuannya dengan meminta pertolongan pada Allah untuk mengembangkan, dan menyempurnakannya, serta membandingkan antara karunia dan kebaikan Allah yang diberikan padanya, dengan kemalasannya, karena hal itu akan membuat dirinya merasa malu.

Betapa ruginya seorang hamba yang lalai dari perkara ini. Dia menyerupai kaum yang melupakan Allah dan lalai dari berdzikir kepada-Nya dan memenuhi hak-hak Allah. Mereka lebih menuruti kecenderungan jiwanya dan hawa nafsunya.

Mereka tidak selamat dan tidak mendapat manfaat. Bahkan Allah membuat mereka lupa terhadap masalahat diri mereka sendiri dan membuat mereka lalai terhadap berbagai hal yang bermanfaat dan berfaedah untuk dirinya sendiri.

Akibatnya, urusan mereka menjadi melampai batas. Mereka kembali dengan kerugian di dunia dan akhirat. Mereka telah melakukan kerusakan yang tidak mungkin bagi mereka untuk memperbaiki.” [Tafsir As-Sa’di: 853]

Allah Ta’ala juga berfirman dalam surat Al-A’raf: 201,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.

Di sini Allah mendeskripsikan keadaan orang-orang bertakwa. Bila terjerumus dalam sebuah keburukan karena godaan iblis, mereka cepat sadar dan kembali kepada Allah kemudian bertaubat. Hal ini tidak akan terjadi kecuali denga adanya muhasabah terhadap apa saja yang dilakukan oleh diri sendiri.

Di dalam Sunnah juga telah ditegaskan pensyariatan muhasabah sebagaimana dalam hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu dari Nabi SAW bersabda,

الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ

”Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk setelah kematiannya.” [Hadits hasan riwayat At-Tirmidzi (2459)]

Imam At-Tirmidzi menjelaskan yang dimaksud dengan “Daana nafsahu / menundukkan jiwanya” adalah melakukan muhasabah terhadap dirinya sendiri di dunia ini sebelum dihisab pada hari kiamat.

Muhasabah juga termasuk amalan yang telah disepakati atau menjadi ijmak di kalangan para ulama. Imam Al-Izz bin Abdissalam rahimahullah berkata, ”Para ulama telah bersepakat atas wajibnya muhasabah terhadap diri sendiri dalam hal amal perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu dan di masa yang akan datang.” [Tafsir Ats-Tsa’labi 4/399]

Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu mengucapkan ungkapannya yang penuh hikmah yang sangat terkenal, ”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sendiri sebelum kalian ditimbang, karena dengan menghisab diri kalian hari ini, akan memudahkan hisab di hari esok.

Bersiaplah untuk menghadapi pertemuan terbesar (hari kiamat). Ketika itu, kalian dipertemukan (diperlihatkan) dan tidak ada sesuatu apa pun pada kalian yang tersembunyi.” [Hadits riwayat Ahmad dalam bukunya Az-Zuhd, hal.177]

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, ”Sesungguhnya seorang mukmin itu lebih berhak terhadap dirinya sendiri. Ia menghisab dirinya mengenai ketaatannya kepada Allah. Hisab sebagian orang dipermudah pada yaumul hisab (hari perhitungan) karena mereka melakukan muhasabah terhadap dirinya di dunia. Hisab seseorang dipersulit karena mereka mengerjakan banyak hal tanpa muhasabah.”

Sedangkan Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, ”Yang paling berbahaya bagi seorang hamba adalah bila tidak melakukan muhasabah atau meremehkan suatu masalah. Sikap seperti ini membawa kepada kebinasaan dan itulah kondisi orang-orang yang tertipu.

Mereka menutup mata dan meremehkan hasil akhir dari sesuatu dan lebih mengandalkan ampunan sehingga dia tidak melakukan muhasabah terhadap dirinya dan merenungkan hasil akhirnya.

Bila demikian, maka dia akan mudah terjerumus ke dalam kubangan dosa, lalu ia menikmati dosa-dosa tersebut dan sulit untuk menghindarinya.” [Ighatsatul Lahfan 1/ hal. 78 dan 136].

Semoga di 2023 ini, kita bisa diberi kekuatan oleh Allah untuk berubah menjadi lebih baik dalam segala kondisi, aamiin.(A/RS3/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.