Beirut, MINA – Kekhawatiran mengenai nasib rakyat Palestina, Suriah, Irak dan Yaman adalah topik utama dalam sesi pembukaan pertemuan para menteri negara Arab yang diadakan dalam persiapan untuk KTT pembangunan Arab pada Ahad (20/1) di Beirut.
Pertemuan di Phoenicia Hotel di ibu kota Lebanon pada Jumat (18/1) itu memperlihatkan langkah-langkah pengamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya, meliputi area yang luas, termasuk tempat pertemuan puncak dan akomodasi para tamu dan jurnalis.
Sejauh ini, baru tiga presiden yang telah mengonfirmasi kehadiran mereka di KTT – yiatu dari Lebanon, Somalia, dan Mauritania.
Namun, Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab Hossam Zaki menyerukan agar “memisahkan antara kehadiran dan KTT itu sendiri, dan pentingnya topik dan resolusi yang akan dihasilkannya.”
Baca Juga: Mesir akan Jadi Tuan Rumah KTT Arab tentang Rekonstruksi Gaza
“Kehadiran para pemimpin Arab niscaya akan meningkatkan pentingnya KTT, tetapi ketidakhadiran mereka, yang telah memicu komentar media, tidak mengurangi pentingnya topik yang dibahas oleh KTT – dan banyak KTT tidak selalu dihadiri oleh presiden,” kata Zaki.
Juru bicara media untuk KTT, Rafic Chlala, mengatakan kepada Arab New, para presiden yang memutuskan tidak menghadiri KTT telah mengirim delegasi mereka, yang berarti KTT tidak gagal, seperti beberapa orang berusaha menggambarkannya.
Dia mengatakan Presiden Lebanon Michel Aoun akan mengusulkan pada KTT “sebuah proyek pendanaan untuk rekonstruksi semua negara Arab yang hancur oleh perang.”
“Kami sedang menunggu negara-negara yang meminta amandemen inisiatif,” kata Chlala.
Baca Juga: Turki Renovasi Bandara Internasional Damaskus yang Rusak Imbas Perang Saudara
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry pada Jumat menyampaikan permintaan maaf Presiden Abdel Fattah El-Sisi yang tidak dapat menghadiri KTT “karena komitmen yang mengharuskan dia untuk tetap berada di Kairo.”
Mengenai apakah Mesir akan mendukung inisiatif Aoun di KTT, Shoukry mengatakan, “Mesir mendukung semua yang akan mencapai kepentingan bersama Arab.”
“Masalah pengungsi Suriah ada dalam agenda tetapi visinya berbeda,” kata Zaki.
Pada pertemuan itu, kursi Suriah kosong karena penangguhan keanggotannya di Liga Arab, dan kursi Libya kosong karena memboikot pertemuan puncak setelah para pendukung Gerakan Amal Libanon merusak bendera Libya di Beirut.
Baca Juga: Arab Saudi Siap Jadi Tuan Rumah Pertemuan Trump-Putin
“Kembalinya Suriah ke Liga Arab membutuhkan konsensus Arab, seperti dalam kasus penangguhan keanggotaannya,” kata Zaki.
“Kembalinya Suriah ke Liga Arab adalah wajar dan normal, karena tidak kehilangan kursinya dan belum dikeluarkan, tetapi keanggotaannya ditangguhkan,” katanya.
Sebelum sesi menteri, Menteri Ekonomi dan Perdagangan Lebanon Raed Khoury mengatakan, “Sebagian besar agenda telah disetujui … tetapi ada beberapa hal yang sedang dibahas.”
“Sebuah diskusi sedang diadakan tentang kembalinya pengungsi Suriah yang aman dan bermartabat, dan mekanisme untuk membiayai negara-negara yang telah menderita akibat konflik bersenjata,” katanya.
Baca Juga: Erdogan: Tidak Ada Kekuatan yang Dapat Paksa Warga Palestina Keluar dari Tanah Airnya
Ahmed Abdul Aziz Kattan, menteri negara Arab Saudi untuk urusan Afrika, menyerahkan kepemimpinan pertemuan menteri kepada Menteri Luar Negeri Lebanon Gebran Bassil.
Bassil mengajak semua delegasi mengheningkan cipta satu menit untuk mengenang mendiang Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dan semua warga Lebanon terbunuh saat berperang melawan terorisme.
Dalam pidato pembukaannya, Bassil meminta orang-orang Arab “untuk merangkul Lebanon dan tidak meninggalkannya.”
Bassil berbicara tentang “tantangan besar di dunia Arab, termasuk perang, kelaparan dan kemiskinan serta intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan pelecehan wanita dan anak.”
Baca Juga: Iran Seru Dunia Menentang Rencana “Berbahaya” AS-Israel untuk Bersihkan Etnis di Gaza
“Jika kita telah menyebabkan perang satu sama lain, bukankah sudah waktunya untuk mengakhirinya? Bukankah kita seharusnya mempertimbangkan konstruksi daripada merusak?” katanya.
Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan, tantangan besar yang dihadapi kawasan Arab memaksa “kita untuk mengembangkan visi baru dan menghasilkan ide-ide inovatif untuk masa depan.”
“Tidak ada negara Arab yang bisa mengatasi perkembangannya sendiri. Integrasi ekonomi dan koordinasi kebijakan adalah kebutuhan, bukan kemewahan,” katanya.
Sementara Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Maliki menekankan kebutuhan untuk mengakhiri pendudukan Israel, menerapkan resolusi PBB dan campur tangan untuk membawa keadilan bagi rakyatnya.
Baca Juga: Balas Netanyahu, Pejabat Saudi Sarankan Warga Israel Pindah ke Alaska, Greenland
“Yerusalem menghadapi skema Yahudisasi terburuk yang bertujuan untuk mengubah fitur hukum, politik dan agama,” katanya. “Kami membutuhkan saudara-saudara Arab kami untuk mendukung ekonomi Palestina yang menjanjikan, yang memiliki peluang investasi di banyak bidang.”
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi pun mengatakan, Yerusalem adalah kunci menuju perdamaian.
Ia menyoroti kebutuhan untuk memastikan kelanjutan pekerjaan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), dan untuk mencapai politik solusi untuk perang Suriah yang diterima oleh Suriah, menjaga kesatuan negara mereka dan memungkinkan kembalinya sukarela dari para pengungsi.
Menteri Luar Negeri Irak Mohammad Ali Al-Hakim mendesak negara-negara Arab untuk “memenuhi komitmen mereka sesuai dengan konferensi rekonstruksi Irak,” menyoroti pentingnya ketahanan pangan sebagai pilar stabilitas.
Baca Juga: UEA Kecam Pernyataan Netanyahu soal Negara Palestina Berdiri di Arab Saudi
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yaman Mohammed Al-Maitami mengatakan “kudeta Houthi” menciptakan “krisis kemanusiaan” dan “realitas tragis” di negaranya. “Dua puluh dua juta orang Yaman berada di bawah garis kemiskinan dan membutuhkan bantuan kemanusiaan.” (T/R11/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Zionis Israel Bakar Rumah-Rumah di Lebanon Selatan