Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masih Adakah Asa Di Jalur Gaza?

illa - Sabtu, 15 Oktober 2016 - 23:15 WIB

Sabtu, 15 Oktober 2016 - 23:15 WIB

445 Views

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Meskipun konflik berkepanjangan terus terjadi di Jalur Gaza – mengkibatkan banyak korban tewas, harta benda yang hancur lebur, kemiskinan akibat perang yang terus melilit penduduk, tetapi masih banyak warga yang tampaknya memiliki harapan pada masa depan yang akan menjadi lebih baik di kawasan itu.

Rezim Zionis Israel sejak tahun 2007 memperketat blokade di Jalur Gaza dengan tujuan menggulingkan pemerintahan pilihan rakyat Palestina. Aksi anti kemanusiaan Israel membuat warga Gaza mengalami kelangkaan kebutuhan pokok seperti makanan, air bersih, pakaian dan obat-obatan.

Pemutusan aliran listrik yang berulang di Gaza kian menambah kekhawatiran akan eskalasi krisis kemanusiaan di kawasan ini. UNRWA menyebut krisis finansial dan ekonomi yang dialami warga Gaza termasuk dampak dari eskalasi kemiskinan dan pengangguran di wilayah tersebut.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Lembaga PBB ini mengaku khawatir atas ketergantungan 80 persen warga Gaza terhadap bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka termasuk makanan dan obat-obatan. Padahal, bantuan kemanusiaan itu banyak mengalami hambatan, bahkan kadang dicegah masuk ke wilayah tersebut – diserang dengan roket atau bom.

Berbagai pabrik yang sebelumnya aktif di Gaza dan kini terpaksa diliburkan juga mendorong melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan di kawasan ini. Sementara itu, rezim Zionis di samping memblokade Gaza juga terus melancarkan serangan sporadis ke kawasan ini sehingga secara praktis mencegah berlangsungnya aktivitas ekonomi di Gaza.

Secara menyeluruh aksi Israel menempatkan warga Gaza dalam kondisi sangat sulit. Meski rezim Zionis terpaksa mundur dari Gaza di tahun 2005 karena gagal menghadapi kelompok Palestina, namun Israel berusaha menutupi kekalahannya itu  serta mempersiapkan kondisi untuk kembali menduduki Jalur Gaza dan memaksa warga Palestina menyerah.

Israel merebut dan menduduki Jalur Gaza dalam Perang Enam Hari pada 1967. Berdasarkan Persetujuan Damai Oslo yang disahkan tahun 1993, Otoritas Palestina ditetapkan sebagai badan administratif yang mengelola pusat kependudukan Palestina.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Negara Zionis itu mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur Gaza di wilayah udara, perairan dan lintas perbatasan darat dengan Mesir. Jalur Gaza merupakan bagian dari teritori Palestina. Sejak Juli 2007 – setelah pemilu legislatif Palestina 2006 dan setelah Pertempuran Gaza -Hamas menjadi penguasa de facto di sana, kemudian membentuk Pemerintahan Hamas di Gaza.

Jalur Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut Tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya (11 km), dan Israel di sebelah timur dan utara 51 km (32 mi). Jalur Gaza memiliki panjang sekitar 41 kilometer (25 mi) dan lebar antara 6 to 12 kilometer (3.7 to 7.5 mi), dengan luas total 365 kilometer persegi (141 sq mi).

Populasi di Jalur Gaza sekitar 1,7 juta jiwa, mayoritas penduduknya besar dan lahir di sana, selebihnya pengungsi Palestina yang melarikan diri ke  Gaza setelah Perang Arab-Israel 1948. Populasi di sana didominasi Muslim Sunni. Pertumbuhan penduduknya pertahun 3,2 persen menjadikannya sebagai wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi ke-7 di dunia.

Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya saat ini pada akhir perang tahun 1948, yang ditetapkan melalui Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir pada 24 Februari 1949. Pasal V dari perjanjian ini menyatakan bahwa garis demarkasi di Jalur Gaza bukanlah perbatasan internasional.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Jalur Gaza selanjutnya diduduki oleh Mesir. Pada awalnya, wilayah ini secara resmi dikelola oleh Pemerintahan Seluruh Palestina, yang didirikan oleh Liga Arab pada September 1948. Sejak pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina tahun 1959 hingga 1967, Jalur Gaza secara langsung dikelola oleh seorang gubernur militer Mesir.

Lima Alasan Gaza Masih Dikepung

Meskipun Perdana Menteri Turki Binali Yildirim menyatakan pertengahan tahun 2016 bahwa blokade ‘Israel’ atas Jalur Gaza “sebagian besar telah dicabut” sebagai bagian dari rekonsiliasi baru antara ‘Israel’ dan Turki, namun tidak ada tanda-tanda yang memperkuat pernyataan itu.

Normalisasi hubungan Turki-‘Israel’ terjadi enam tahun setelah pasukan ‘Israel’ menewaskan 10 warga negara Turki di atas kapal yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza. Termasuk dalam rencana sesudah rekonsiliasi ini adalah mulai dibangunnya sebuah rumah sakit berkapasitas 200 ranjang, proyek perumahan dan instalasi desalinasi di Gaza.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Sayangnya, ada beberapa hal yang merupakan indikasi bahwa  “pencabutan blokade” tidak masuk dalam klausul rekonsiliasi seperti berbagai larangan yang diberlakukan ‘Israel’ di Jalur Gaza dan 1,8 juta penduduknya masih tetap ada.

Penjajah masih melarang barang-barang masuk Gaza. Rata-rata tiap minggu sekitar 2.145 truk penuh muatan masuk ke Jalur Gaza pada 2016 (hampir setengahnya bahan-bahan bangunan), dan ini merupakan 76 persen dari keseluruhan statistik sebelum blokade.

Zionis Israel memberlakukan daftar panjang pelarangan benda-benda yang ‘ganda penggunaannya’, termasuk bahan-bahan sebenarnya dapat diklasifikasikan bersifat sangat sipil dan “kritis bagi keselamatan nyawa penduduk sipil” karena dianggap dapat diubah menjadi senjata.

Rekonstruksi setelah serangan penjajah Israel di tahun 2014 juga berjalan sangat lambat. Hanya pada Oktober tahun lalu rumah pertama dibangun kembali dan sekitar 90.000 warga Palestina masih mengungsi.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Penjajah masih melarang barang-barang keluar dari Gaza untuk dijual ke luar negeri atau pasar-pasar utama kawasan, yakni Tepi Barat dan ‘Israel.’ Pada 14-20 Juni, misalnya, hanya 26 truk penuh muatan yang ke luar Gaza, tidak lebih dari sepersepuluh sebelum blokade.

Tahun lalu, pejabat senior Bank Dunia mengatakan, blokade Zionis dan perang tahun 2014 menunjukkan bahwa “ekspor Gaza hampir lenyap” – karena ekspor jatuh 97 persen antara tahun 2007 dan 2012.

Negara Zionis itu juga masih melarang pergerakan orang – termasuk ke dan dari Tepi Barat. Bahkan setelah ‘konsesi’ yang dibuat ‘Israel’ sesudah operasi ‘Protective Edge’, angka orang yang melakukan perjalanan di pelintasan Gaza yang dikuasai ‘Israel’, Erez, hanya tiga persen pada September 2000.

Selain itu, ‘Israel’ terus melarang keluarga-keluarga Palestina saling mengunjungi dan menuntut ilmu di universitas-universitas di Tepi Barat bagi para mahasiswa Palestina di Gaza. Bahkan larangan juga diberlakukan terhadap orang-orang yang sudah memegang izin dari ‘Israel’ untuk “kasus-kasus medis dan kemanusiaan lainnya, para pedagang, serta para pekerja kemanusiaan.”

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Pasukan penjajah Zionis menyerang para nelayan, petani yang bekerja di ladang mereka di dekat pagar perbatasan dan warga sipil Palestina di Jalur Gaza. Pasukan Zionis menurut tokoh PBB, antara 7-20 Juni 2016 menembaki warga Palestina di wilayah-wilayah yang disebut Access Restricted Areas di darat dan laut pada 32 peristiwa terpisah.

Mesir masih terus menutup Rafah. Ketika ‘Israel’ mengontrol hampir seluruh pelintasan Jalur Gaza, otoritas Mesir memainkan peran penting dalam ‘mencekik’ Gaza. Beberapa waktu lalu Mesir membuka pelintasan Rafah di kedua arah selama lima hari, tapi ini pengecualian karena PBB mencatat bahwa pelintasan ditutup sejak 24 Oktober 2015, “kecuali untuk 42 hari”.

Ketika konflik masih berlangsung di Gaza, ternyata ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga harapan di masa depan. Seperti ucapan Steven Khoury, seorang pendeta yang melayani  umat Kristen di Gaza – jalan menuju perdamaian di Gaza dimulai dari hati melalui pembangunan rasa saling percaya di antara golongan-golongan dalam masyarakat – bukan berlandaskan politik.

Khoury yakin Gaza masih memiliki banyak harapan, karena walaupun kerap terjadi peperangan dan kekacauan, tapi di tengah konflik selalu ada waktu untuk membangun. Pembangunan bukan hanya membangun gedung-gedung, tapi juga membangun ‘infrastruktur’ hati misalnya dengan membangun saling percaya, serta saling melihat pihak lain sebagai sesama manusia. (R01/ P2)

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Palestina
Palestina
Palestina
Indonesia
MINA Preneur
MINA Preneur
MINA Health