Masjid Agung Banten, Sentuhan Arsitek Cina dan Belanda

Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten (foto: Kemendikbud RI)

Pada 1632, sebuah menara setinggi 24 meter yang dirancang oleh bernama Cek Ban Cut (Tjek Ban Tjut) ditambahkan ke kompleks masjid. Sekitar periode yang sama, dibangun pula tiyamah atau paviliun bergaya Eropa yang dirancang oleh Lucaasz Cardeel, orang Belanda yang masuk Islam dan kemudian diberi gelar Pangeran Wiraguna oleh Sultan.

 

SERANG, MINA – Berkunjung ke Provinsi , rasanya belum lengkap jika Anda tak berziarah ke beberapa destinasi yang ada di provinsi Ujung Barat pulau Jawa ini.

Banten yang kaya akan sejarah dan budaya dapat anda nikmati salah satunya dengan mengunjungi sebagai destinasi situs sejarah Islam yang dibangun dengan sentuhan arsitek asal Cina dan Belanda. Masjid tersebut berlokasi di Banten Lama, Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.

Masjid Agung Banten merupakan salah satu ikon religi terkenal di Banten. Dengan arsitektur yang megah, masjid ini merupakan tempat yang sempurna untuk beribadah dan merenung. Pengunjung dapat menikmati keindahan masjid Agung dan mengeksplorasi sejarahnya yang kaya.

Awal Pembangunan Masjid

Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin dan kemudian dilanjutkan oleh putranya, Sultan Maulana Yusuf, yang kemmudian menjadi raja kedua Kesultanan Banten.

Baca Juga:  Ini Untungnya Menjadi BMT yang Besar

Pada masa Sultan Maulana Yusuf, Masjid Agung Banten dibangun sangat megah dengan dengan gaya Jawa. Sebuah pawestren atau ruang untuk shalat wanita, yang berada di samping ditambahkan pada masa pemeritahan raja ketiga, Sultan Maulana Muhammad (1580-1596). Sementara serambi selatan masjid lantas diubah menjadi makam yang berisi sekitar 15 kuburan.

Arsitek Cina dan Belanda

Pada 1632, sebuah menara setinggi 24 meter yang dirancang oleh arsitek Cina bernama Cek Ban Cut (Tjek Ban Tjut) ditambahkan ke kompleks masjid. Sekitar periode yang sama, dibangun pula tiyamah atau paviliun bergaya Eropa yang dirancang oleh Lucaasz Cardeel, orang Belanda yang masuk Islam dan kemudian diberi gelar Pangeran Wiraguna oleh Sultan.

Masjid Agung Banten menjadi salah satu dari sedikit peninggalan yang tersisa dari bekas Kota Kuno Banten—pusat perdagangan paling makmur di Indonesia, setelah jatuhnya Kesultanan Demak pada pertengahan abad ke-16, seperti ditulis oleh Jo Santoso dalam buku Cities Of Pesisir Indonesian Heritage.

Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama dari Kesultanan Banten, Ia adalah putra pertama dari Sunan Gunung Jati. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tidak hanya dari Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Masjid ini dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk sebuah bangunan mercusuar.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Masjid Agung Banten menampilkan desain eklektik, bukti pengaruh internasional di Banten pada saat pembangunannya pada tahun 1552. Elemen desain Masjid Agung Banten ini memiliki pengaruh agama dan budaya dari Islam, Hindu, Buddha, Tiongkok, dan Belanda.

Budaya-budaya tersebut tidak hanya memaksakan nilai dan gayanya pada , tetapi juga berbaur dengan baik dengan budaya Jawa di Indonesia. Misalnya, ada perpaduan unsur arsitektur Hindu dan Jawa yang terdiri dari konstruksi bata Belanda.

Lucaasz Cardeel menggabungkan fitur arsitektur Baroque Eropa awal dalam desain masjidnya, yang terutama dapat dilihat pada minaret, bangunan tiyamah, dan dinding masjid. Hal inilah yang membedakan Masjid Agung Banten dengan masjid tradisional lainnya di Indonesia, karena terdapat perpaduan budaya yang berbeda yang tertanam dalam desain dan elemen arsitekturalnya.

Di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten beserta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, serta beberapa makam lainnya.

Baca Juga:  Ini Untungnya Menjadi BMT yang Besar

Pemugaran Masjid

Selama berdirinya hingga tahun 1987, Masjid Agung Banten telah mengalami delapan kali pemugaran. Pada tahun 1923, dilaksanakan pemugaran oleh Dinas Purbakala dan tahun 1930 dilakukan penggantian tiang-tiang kayu yang rapuh. Tahun 1945, Tubagus Chotib selaku Residen Banten bersama masyarakat melaksanakan perbaikan atap cungkup penghubung di kompleks pemakaman utara.

Pemugaran menara masjid selanjutnya dilakukan tahun 1966/1967 oleh Dinas Purbakala. Lalu Korem 064 Maulana Yusuf memperbaiki bagian eternit langit-langit pada tahun 1969. Serambi bagian timur dipugar pada tahun 1970 dengan dana dari Yayasan Kur’an. Pertamina juga pernah berkontribusi memugar bagian-bagian tertentu dari kompleks masjid. Penggantian serambi utara dan penggantian cungkup makam Sultan Hasanuddin dengan marmer dilakukan tahun 1987.

Kini Masjid Agung Banten bukan hanya sebagai tempat ibadah saja, melainkan menjadi kawasan cagar budaya dan aktivitas sosial masyarakat di Banten dan tidak pernah sepi dikunjungi para peziarah dari berbagai wilayah di Indonesia. []

Wartawan: Arif Ramdan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.