DI TENGAH sejuknya Desa dan Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas berdiri sebuah masjid tua yang berbeda dari kebanyakan.
Bukan karena ukurannya yang megah atau kubahnya yang berkilau, tetapi karena satu tiang kokoh yang menopangnya sejak 1846 Tahun Jawa.
Itulah Masjid Saka Tunggal Darussalam, saksi perjalanan zaman yang menyimpan jejak akulturasi Islam dan budaya Jawa.
Masjid ini tak lahir begitu saja. Ia berdiri atas perintah Adipati Aryo Cokronegoro, penguasa Purwokerto kala itu, dan dirancang oleh Mohammad Nurman. Jika dihitung hingga 2025, usianya telah mencapai 112 tahun, lebih dari satu abad menjadi pusat spiritual dan budaya.
Baca Juga: Opini Publik dalam Perspektif Islam
Keberadaan masjid ini sejalan dengan perpindahan ibu kota Kecamatan Kranggan ke Desa Legog (kini Pekuncen) pada 1915, saat jalur kereta api melewati Stasiun Legok.
Namun, lebih dari sekadar bangunan fisik, masjid ini adalah jejak sejarah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Satu Tiang, Seribu Makna
Yang membuat masjid ini unik adalah struktur utamanya: hanya memiliki satu tiang penyangga di tengah, bukan empat seperti kebanyakan masjid Jawa. Tiang berbentuk oktagonal itu bukan sekadar penopang, tapi juga simbol tauhid -keesaan Tuhan.
Baca Juga: Mengapa Mukjizat Nabi Muhammad Al-Qur’an?
Menariknya, pengaruh Eropa juga tampak pada desainnya, berpadu dengan atap limas khas arsitektur Jawa.
Di pintu masuk, inskripsi Arab Pegon menegaskan akar sejarah masjid ini:
“6 Sura 1846, Pangadega Masjid 16-11-12 Legog… Yasa Dalem Kanjeng Bendara Hadi Mas Tumenggung Hadipati Cokronegoro…”
Tulisan ini bukan sekadar prasasti, melainkan bukti autentik bahwa masjid ini telah lama menjadi bagian dari sejarah literasi dan keagamaan di Banyumas.
Baca Juga: Self-Love Dalam Islam: Antara Qana’ah dan Syukur
Akulturasi dalam Setiap Detail
Masjid ini tak hanya tempat ibadah, tapi juga representasi harmoni budaya. Setiap bagiannya sarat makna:
Atap Limas: Melambangkan tiga tingkatan iman (Islam, Iman, Ihsan).
Mihrab Berukir: Menghadap kiblat dengan ornamen floral khas Jawa.
Baca Juga: Peluang Indonesia di Forum Ekonomi Internasional Rusia-Dunia Islam 2025
Serambi Terbuka: Tempat berkumpul dan bersilaturahmi sebelum dan sesudah salat.
Tak jauh dari masjid, ada Sendang Wareh, mata air yang selalu mengalirkan air bersih. Kompleks ini juga menaungi KUA dan TPA Darussalam, menjadikannya pusat pendidikan agama bagi warga sekitar.
Legenda Pekuncen: Jejak Juru Kunci
Nama Pekuncen berasal dari kata Pa-Kunci-An (tempat juru kunci). Konon, di masa lalu, Desa Legog menjadi tempat pemandian jenazah Amangkurat I, Raja Mataram yang dimakamkan di Tegal Arum. Seorang juru kunci ditugaskan menjaga lokasi ini, hingga akhirnya desa ini dikenal sebagai Pekuncen.
Baca Juga: Zakat Produktif: Solusi Mandiri untuk Pengentasan Kemiskinan
Tetap Berdiri, Menebar Kedamaian
Hingga kini, Masjid Saka Tunggal Darussalam tetap menjadi tempat ibadah. Suara anak-anak mengaji di TPA berpadu dengan gemericik air sendang, menciptakan suasana yang tenang dan menyejukkan jiwa.
Lebih dari sekadar bangunan, masjid ini adalah warisan hidup yang mengajarkan keteguhan. Seperti satu tiangnya yang kokoh selama lebih dari seabad, iman dan budaya pun harus tetap tegak di tengah perubahan zaman.
“Bangunan boleh tua, tapi nilai-nilainya tetap abadi,” kata Pak Slamet, penjaga masjid, sambil menatap rindangnya pepohonan di sekitar sendang. Sebuah pesan sederhana, tapi sarat makna. []
Baca Juga: Proyeksi Penerapan Hidup Berjamaah di Masa Depan
Mi’raj News Agency (MINA)