Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Telah berlalu 22 tahun sejak penembakan mengerikan di dalam Masjid al-Khalil Ibrahimi, pada hari Jumat terakhir bulan Ramadhan, pada 25 Februari 1994.
Sebuah pembantaian mengerikan di Masjid Ibrahimi Hebron, Palestina, yang menewaskan 29 orang dan melukai 125 lainnya, dilakukan oleh warga Israel-Amerika bernama Baruch Goldstein. Ia berasal dari keluarga Yahudi Ortodoks, aktif di organisasi Yahudi militan Liga Pertahanan Yahudi JDL (the Jewish Defence League).
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Saat itu, sekitar 700 jamaah sedang menunaikan shalat shubuh berjama’ah di masjid, di mana di kompleks masjid yang usianya lebih dari 1000 tahun tersebut terdapat makam empat Nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan Yusuf.
Beberapa saat setelah shalat, tiba-tiba Goldstein masuk masjid dan melepaskan tembakan membabi buta. Pelaku sendiri akhirnya tewas di tempat setelah jamaah masjid segera beraksi, mengejar pelaku dan menghajarnya.
Banyak orang yang selamat meyakini bahwa tentara Israel berada di balik Goldstein dalam kejahatan menghebohkan itu. Sebelumnya memang tentara Israel terlibat pertengkaran dengan warga Arab setempat sebelum pembantaian.
Momen Wazwaz, seorang warga yang ikut dalam perseteruan dengan pasukan Israel sehari sebelum peristiwa itu, mengingatkan bahwa polisi Israel mengancam warga Arab dengan mengumumkan, “Tunggu dan lihat apa yang akan terjadi besok.”
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
“Aku tidak akan pernah melupakan kata-kata itu selama saya hidup,” kata Wazwaz kepada Anadolu Agency pada peringatan 22 tahun pembantaian Masjid Ibrahimi, The Muslim News, Jumat (26/2) melaporkan.
Menurut Wazwaz (sekarang 45 tahun), saat peristiwa ia berusia 23 tahun, ia menyaksikan ada tiga tentara Israel terlihat di luar masjid pada hari pembantaian.
“Saat itu tidak ada perempuan diperbolehkan untuk memasuki masjid hari itu,” ujarnya.
Beberapa saat setelah jamaah menunaikan shalat, terdengarlah bunyi tembakan.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
“Aku berbalik dan melihat puluhan jamaah tergeletak mati di lantai, sedangkan penembak tertawa dan mengangkat senjatanya,” tambahnya.
Goldstien dipersenjatai dengan 300 butir amunisi dan lima granat. Untungnya, jamaah berhasil menghajarnya, dan melucuti semua senjata itu.
Imam Masjid Ibrahimi saat itu, Syaikh Adel Idris, melaporkan bahwa tembakan itu menghantam jamaah dari belakang. Orang tak berdaya menghindarinya.
“Saya tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Saya pun mencoba untuk berdiri, tapi seseorang menarikku kembali agar duduk,” kata Idris.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
“Syaikh merunduk, ada tembakan,” kata orang tadi.
Ia kehilangan saudaranya, yang ditembak tiga kali. “Saya tidak akan pernah melupakan hari yang mengerikan itu, “kata Syaikh Idris.
“Mayat seketika bergelimpangan tersebar di lantai masjid. Darah di mana-mana,” ia mengenang peristiwa itu.
Tidak Bertanggung Jawab
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Beberapa hari setelah kejadian, Pemerintah Israel menunjuk sebuah komisi penyelidikan yang dipimpin oleh Meir Shamagar, Kefha Mahkamah Agung Israel. Penyelidikan yang terkesan singkat menyimpulkan bahwa pemerintah Israel yang dipimpin Perdana Menteri Yitzahk Rabbin dinyatakan tidak bertanggung jawab atas pembantaian itu.
Sebaliknya, Baruch Goldstein dikatakan telah bertindak atas nama pribadi, dan kepemimpinan politik Israel tidak bisa memprediksi tindakannya.
Namun, anehnya yang terjadi kemudian adalah bahwa komisi menyatakan masjid ditutup selama penyelidikan. Bahkan kemudian mengusulkan agar masjid dibagi dua, antara Yahudi dan Muslim, dengan alokasi Yahudi lebih dari 50 persen.
Tak lama kemudian, Pemerintah Israel secara sewenang-wenang menutup jalan al-Shuhada, di kota tua Hebron. Padahal itu adalah jalan utama bagi lebih dari 3.000 pedagang Palestina. Akibatnya jantung ekonomi Hebron menjadi lumpuh.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Penduduk setempat mengecam bahwa langkah-langkah hukuman yang diambil oleh Pemerintah Israel menunjukkan tindakan apartheid mereka.
hebron-h1-h2-jewishvirtuallibrary-228x300.gif" alt="hebron h1 h2 jewishvirtuallibrary" width="328" height="432" />Kesepakatan Hebron
Tiga tahun setelah pembataian, tahun 1997, terjadilah kesepakatan yang dipaksakan, dikenal sebagai “Protokol Hebron” yang membagi kota Hebron menjadi dua bagian.
Warga Palestina menempati 80 persen area dari kota tua, yang dikenal sebagai Area H1. Sisanya 20 persen dikenal sebagai daerah H2, berada di bawah kendali militer Israel.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Daerah ini termasuk bagian dari masjid, yang secara efektif membagi dua juga antara orang-orang Yahudi dan Muslim sebagai awalnya diminta oleh Komisi Mahkamah Agung Israel.
Peta Hebron menampilkan H1 dikendalikan Palestina dan H2 dikendalikan Israel.
Protokol Hebron ditandatangani pada 17 Januari 1997 oleh Israel, yang diwakili oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang diwakili oleh Ketua PLO Yasser Arafat, di bawah pengawasan Menteri Luar Negeri AS, Warren Christopher.
Ketua perunding Israel saat itu adalah Jenderal Dan Shomron dan negosiator Palestina adalah Saeb Erekat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Jenderal Shomron itu adalah Kepala Staf Angkatan Pertahanan Israel, yang merupakan penerjun payung pertama yang mencapai Terusan Suez, dalam Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel 5-10 Juni 1967.
Sementara Saeb Erekat adalah perunding utama PLO sejak 1995-2003. Ia sempat mengundurkan diri dari pemerintahan Palestina, dan kemudian ditunjuk kembali September 2003. Erekat kini ditunjuk kembali sebagai negosiator Fatah yang bernegosiasi dengan Israel dalam pendirian negara Palestina secata de jure.
Hebron Kini
Kini, Hebron kota di Tepi Barat bagian selatan, adalah rumah bagi sekitar 160.000 warga Palestina, serta sekitar 500 pemukim Israel yang tinggal dan dijaga ketat oleh tentara Israel.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Terletak sekitar 30 km selatan Masjid Al-Aqsha, warga setempat terkenal degan perdagangan anggur, batu kapur, keramik, pabrik gelas tiup dan pabrik susu.
Jalan-jalan Hebron bercirikan sempit dan berbelok-belok, di samping kanan kiri rumah-rumah warga beratap datar, serta pasar lama. Di kota ini terdapat Universitas Hebron dan Universtas Politeknik Palestina.
Orang-orang Yahudi menyebut di kota tua ini ada makam para leluhur mereka, karenanya mereka menyebutnya dengan “Kota para Leluhur”. Hebron merupakan salah satu dari empat kota paling suci dalam Yudaisme, selain Yerusalem (Al-Quds, Tiberias, dan Tzfat).
Salah satu mihrab di Masjid Ibrahimi sendiri diklaim Yahudi sebagai tempat tersuci kedua dalam Yudaisme. Mereka kemudian memfungsikan Aula Abraham dan Aula Yakub sebagai sinagoga Yahudi.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Kondisi Masjid Ibrahimi
Zionis Yahudi terkenal dengan kelicikannya, maka segala cara dan upaya termasuk perjanjian demi perjanjian, termasuk perjanjian Protokol Hebron, adalah untuk memperkuat cengkeraman mereka di tanah jajahannya.
Waktu berlalu 22 tahun sejak pembantaian berdarah itu, dan pasca Kesepakatan Hebron 1997, bagaimana kondisi Masjid al-Khalil Ibrahimi milik umat Islam tersebut?
Kini ratusan pemukim ilegal Yahudi, dengan mendapatkan dukungan dari prajurit Zionis Israel, bebas menerobos masuk ke kawasan Masjid Ibrahimi dengan alasan untuk ritual Yahudi.
Zaid al-Jabari, kepala Departemen Wakaf dan Sumbangan Palestina, tahun 2012 lalu, telah memperingatkan bahwa para pemukim ekstrimis Yahudi akan terus melakukan segala upaya untuk menghalang-halangi umat Muslim agar tidak dapat memasuki Masjid Ibrahimi.
“Lebih mengejutkan lagi, mereka melancarkan upaya licik khas Yahudi untuk mengubah Masjid tersebut menjadi sebuah sinagog,” ujar al-jabari pada Moeslimonline.
Dia menambahkan bahwa sejak Desember 2012, pihak berwenang Israel telah menjatuhkan larangan kepada umat Muslim untuk mempergunakan pengeras suara saat melantunkan adzan shalat.
Otoritas Israel juga pernah menutup kawasan Masjid tersebut pada hari raya Idul Fitri. Penutupan tersebut membuat umat Islam tidak dapat melaksanakan sholat Ied setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan.
Kepada Arab News, al-Jabari mengatakan bahwa pasukan Israel juga menerapkan pengamanan ketat di kota tua Hebron untuk melindungi para pemukim ilegal Yahudi. Situs tersebut juga diklaim sebagai tempat pemujaan umat Kristiani.
Padahal Masjid Ibrahimi adalah situs suci kedua umat Islam di Palestina, setelah Masjid Al-Aqsa di Al-Quds.
Otoritas Israel berulangkali melanggar hak-hak Muslim di Masjid Ibrahimi dengan cara melarang umat Muslim untuk beribadah di dalam Masjid, khususnya pada saat hari raya Yahudi. Para pemukim Yahudi radikal pun seringkali mengotori Masjid Ibrahimi dan membuat kerusuhan serta mengganggu Muslim yang tengah beribadah di dalamnya.
Area Hebron yang disebut area H1 memang berada di bawah kendali Palestina. Sementara wilayah H2 dikuasai oleh Israel. Sedangkan Masjid Ibrahimi terletak di zona H2 di Hebron, yang berada di bawah kendali langsung dari pasukan militer Israel.
Menjadi kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mengembalikan tempat suci itu ke fungsinya sebagaimana semula yaitu sebagai masjid, tempat beribadah kepada Allah Yang Esa. seperti dahulu para Nabi berada di tempat itu untuk memperibadati-Nya, baik Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, Nabi Ishaq dan nabi Yusu. Kesemuanya adalah ‘minal muslimun”, golongan orang-orang Muslim, yang berserah diri pada syariat dan ketentuan Allah.
Karena itu, Masjid Al-Khalil Ibrahimi di Hebron, sama dengan Masjid Al-Aqsha adalah hak bagi kita kaum Muslimin, “Al-Aqsha haqquna, Ibrahimi haqquna…” (P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)