MASJID TEMPAT MENJEMPUT CAHAYA ALLAH

yakhsyallah mansur
yakhsyallah mansur
Drs. K.H. Yakhsyallah Mansur (Dok MINA)

Oleh: K.H. Drs. Yakhsyallah Mansur,M.A.

Ketua Sekolah Tinggi Shuffah Al-Qur’an (STSQ) Abdullah Ibnu Mas’ud Online

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Bertasbih kepada Allah di -masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (Q.S. An-Nuur [24]: 24:36)

Menurut Tafsir Al-Jalalain, Jar Majrur “Fi Buyutiin” mempunyai hubungan dengan kalimat “Yusabbihu… dan seterusnya” yang ada di belakangnya sehingga ayat ini mempunyai pengertian bahwa masjid adalah tempat untuk bertasbih, mensucikan Allah di waktu pagi dan petang.

Ayat ini merupakan rangkaian ayat yang menjelaskan tentang . Pada ayat sebelumnya menyebutkan tentang ‘cahaya Allah’ (Q.S. An-Nuur [24] :35) yang menerangi langit dan bumi. Yang dimaksud dengan cahaya Allah adalah petunjuk Allah. Pada ayat ini, Allah mengisyaratkan bahwa petunjuk Allah itu sangat jelas, yang digambarkan oleh Allah.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nuur [24] :35).

Begitu terang dan jelasnya cahaya Allah itu, namun tidak semua orang dapat menangkapnya/ memandangnya/melihatnya. Orang yang hatinya masih diperbudak oleh dunia/nafsu semata, yang memandang bahwa kemuliaan hanya semata pada rumah yang indah, mobil yang mewah, pakaian yang mahal, tidak mungkin dapat menangkap cahaya Allah tersebut.

Hanya hati yang bersih yang telah mencapai ketentraman jiwa, yang sanggup menengkap cahaya Allah itu, sebagaimana mata hati Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ketika pulang dari perjalanan dakwah ke Thaif yang ditolak secara kasar oleh penduduknya.

Lalu Rasulullah bermunajat yang artinya, “Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang bercahaya dengannya langit dan bumi, dan bersinar dengannya segala gelap dan menjadi baik karenanya segala urusan dunia dan akhirat.”

Menurut Ubay bin Ka’ab, yang dimaksud cahaya Allah pada ayat ini adalah cahaya Allah yang diberikan kepada orang yang telah menjadikan iman dan Al-Quran di dalam hatinya. Dan ketika menjelaskan kalimat “cahaya di atas cahaya” beliau mengatakan, ”orang tersebut akan berada dalam lima pancaran cahaya: ucapannya bercahaya, teriakannya bercahaya, tempat masuknya bercahaya, tempat keluarnya bercahaya, dan tempat kembalinya bercahaya di hari kiamat sampai masuk surga.”

Pada ayat tersebut juga disebutkan bahwa cahaya Allah itu adanya adalah di masjid. Di sini tampak jelas betapa tingginya nilai masjid.

Ibnu Abbas berkata: “Masjid-masjid adalah rumah-rumah Allah di bumi yang menerangi penghuni langit seperti bintang menerangi bumi.”

Ketika menjelaskan pengertian “أَن تُرْفَعَ”, Imam Al-Baghawi mengatakan bahwa kalimat ini mengandung pengertian perintah membangun masjid. Sebagaimana firman Allah:

 وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membangun) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 127).

Tentang perintah membangun masjid ini, Aisyah Radliyallahu Anha berkata:

أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدُّورِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ

Artinya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di perkampungan dan dibersihkan serta diwangikan.” (H.R. Ahmad).

Selanjutnya pada ujung ayat di atas disebutkan dua fungsi utama masjid, yaitu untuk berdzikir dan mensucikan Allah.

Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud berdzikir adalah membaca Al-Quran dan mensucikan Allah adalah melaksanakan shalat berjamaah.

Orang yang menggunakan masjid untuk aktivitas semacam inilah yang akan menjadi makhluk yang paling utama, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang maknanya :

“Allah berkata di hari kiamat: “Pada hari ini orang yang berkumpul di Mahsyar akan tahu apa yang dimaskud keluarga utama.” Ditanyakan “Siapa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab “keluarga majelis-majelis Dzikir di masjid.” (H.R. Abu Daud).(R05/P4)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0