Oleh: Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA, Wakil Ketua MPR RI*
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait kekhususan agama perlu dikritisi.
SKB tersebut sebagai kebijakan yang tidak proporsional.
Tentunya disayangkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi, ini justru hadir ketika banyak sekolah belum menyelenggarakan belajar tatap muka. Dan itu mengakibatkan banyak pihak khawatir akan kualitas belajar dan mengajar. Apalagi, ditambah dengan semakin banyaknya korban Covid-19 dan kejahatan terhadap anak-anak usia sekolah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Menurutnya, pemerintah bukan fokus menyelesaikan masalah-masalah itu, tetapi justru menghadirkan kebijakan yang berpotensi menciptakan persoalan baru.
Ini bukan SKB yang diperlukan untuk mengatasi masalah pendidikan dan dampak negatif dari pandemi Covid-19, terutama untuk para anak usia sekolah. Dan jelas, kebijakan ini sangat tidak proporsional.
Kehadiran SKB yang diterbitkan Mendikbud, Menag dan Mendagri, tidak mempertimbangkan secara komprehensif realitas dan aspek lokalitas yang ada di masyarakat masing-masing daerah di Indonesia. Padahal keragaman, itu diakui oleh UUD NRI 1945 sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika.
Karena memang banyak daerah yang adat istiadatnya terintegrasi dengan ajaran agama, seperti di Sumatera Barat atau Banten. Bukan hanya di Aceh yang dikecualikan dalam SKB tersebut (diktum no 6).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Masyarakat tentu akan mengkaitkan penerbitan SKB ini dengan peristiwa di Kota Padang, beberapa waktu lalu. Pada peristiwa itu, ada siswi nonmuslimah yang merasa diwajibkan mengenakan jilbab. Padahal tidak ada ketentuan Perda yang mewajibkan siswi nonmuslimah untuk berjilbab. Bahkan, banyak siswi nonMuslim yang sudah memberikan kesaksian, kalaupun mereka berjilbab saat ke sekolah, itu karena pilihan mereka sendiri, bukan pemaksaan oleh Sekolah.
Persoalan inipun sudah selesai, dengan diperbolehkannya siswi nonmuslimah tersebut untuk tidak mengenakan jilbab yang menjadi seragam sekolah negeri di Padang.
Masalah pun selesai. Kebijakan toleransi dan tidak mewajibkan sudah dilakukan. Karena sejak awal memang tidak ada pewajiban berjilbab bagi sisiwi nonmuslimah. Dan memang seharusnya begitu, karena Islam melarang adanya pemaksaan dalam beragama.
Lalu, sekarang, mengapa aturan yang mencerminkan adat istiadat Minang yang konstisuional dan bersendikan syara (Agama Islam) itu harus dipersoalkan kembali? Dan malah diminta untuk dicabut, bahkan dengan ancaman bila tidak dicabut. Ini tidak proporsional, sangat tidak mendidik, dan tidak sesuai denga konstitusi.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Secara objektif memang ada poin yang bagus dan perlu didukung dari SKB Tiga Menteri tersebut. Yakni poin yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dan sekolah juga tidak boleh melarang peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan untuk mengenakan seragam dengan kekhasan agama tertentu. Karenanya tidak boleh ada pelarangan pengenaan pakaian/atribut sekolah yang sesuai dengan ajaran Agama seperti jilbab sebagaimana yang pernah terjadi di Bali pada 2014 lalu dan di Manokwari (Papua) beberapa waktu lalu.
SKB itu membuka ruang toleransi bagi yang Agamanya berbeda dengan mayoritas siswa/masyarakat. SKB itu menghormati pilihan pribadi untuk memakai atau tidak memakai baju seragam sesuai dengan aturan. Tidak melarangnya, juga tidak mewajibkannya.
Dengan visi seperti itu, Pemda atau Sekolah wajarnya berwenang untuk mengatur seragam yang diberlakukan di sekolah. Dan bila perlu seragam yang dikenakan oleh para peserta didik bisa merujuk kepada adat budaya setempat, seperti yang pernah disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim yang membolehkan peserta didik mengenakan pakaian daerah.
Yang perlu diingat adalah ada beberapa daerah, seperti Sumatera Barat dan Bali yang adat istiadatnya terintegrasi dengan ajaran Agama.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Oleh karena itu, saya berharap SKB Tiga Menteri itu segera direvisi, agar kebijakan yang diambil menjadi lebih proporsional, menjawab tantangan, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UUDNRI 1945. Yaitu meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa. Dan berpakaian sekolah sesuai dengan kekhasan ajaran agama masing-masing, diharapkan bisa menjadi sarana untuk kuatkan iman takwa dan ahlak yang mulia dan mencerdaskan kehidupan berbangsa itu.
Seharusnya tidak ada paksaan bagi peserta didik untuk mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Namun, di sisi lain, jangan pula melarang Pemerintah Daerah atau Sekolah membuat aturan seragam yang mendekatkan peserta didiknya kepada iman, takwa dan akhlak mulia.
Aturan tersebut seharusnya tetap diperbolehkan dengan tetap menghormati pilihan pelajar yang beragama lain untuk memilih berpakaian yang pantas, sebagai bentuk pemahaman dan praktek ajaran Konstitusi dan Agama terkait toleransi, moderasi, inklusifitas, serta cinta bangsa dan negara. (AK/R1)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat