Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Hidup seorang muslim itu fitrahnya adalah bersama atau berjama’ah. Artinya, tidak akan sempurna kehidupan seorang Muslim jika ia memisahkan diri dari kehidupan sosial atau bermasyarakat. Di dalam Islam, Allah Ta’ala sudah memerintahkan agar setiap Muslim itu hidup bersatu bukan berpecah belah.
Bahkan, Nabi SAW saja sudah memerintahkan lima perkara agar setiap muslim selamat dunia bahagia akhirat. Jika kelima perintah Nabi SAW itu bisa diamalkan, maka seorang muslim akan merasakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan ini. Bahkan kekuatan hidup seorang muslim itu ada pada lima perkara tersebut.
Nabi SAW bersabda,
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
أن نبي الله صلى الله عليه وسلم قال :وأنا أّمُرُكْم بِخَمْسٍ أَللهُ أَمَرَنِى بِهِنَّ : بِاْلجَمَاعَةِ وَالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْهِجْرَةِ وَ اْلجِهَادِ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ اْلجَمَاعَةِ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى اَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى اْلجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ اِنْ صَامَ وَصَلَّى ، قَالَ وَاِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا اْلمُسْلِمِيْنَ بِمَا سَمَّاهُمُ اْلمُسْلِمِيْنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
* رواه أحمد والترمذي، وقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (muslimin) lima perkara; sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara itu; (1) berjama’ah, (2) mendengar, (3) thaat, (4) hijrah dan (5) jihad fi sabilillah. Siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali bertaubat. Dan siapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyyah, maka ia termasuk golongan orang yang bertekuk lutut dalam Jahannam.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika ia shaum dan shalat?” Rasul bersabda, “Sekalipun ia shaum dan shalat dan mengaku dirinya seorang muslim, maka panggillah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka; “Al-Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah ‘Azza wa jalla.” (HR. Ahmad bin Hambal dari Haris Al-Asy’ari, Musnad Ahmad: IV/202, At-Tirmidzi Sunan At-Tirmidzi Kitabul Amtsal, bab Maa Jaa’a fi matsalis Shalati wa shiyami wa shodaqoti: V/148-149 No.2263. Lafadz Ahmad).
Fitrah yang terlupakan
Lima perintah Nabi SAW kepada umatnya dalam hadits di atas adalah bagian dari fitrah kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang muslim bisa hidup sebatangkara tanpa berjamaah? Bagaimana mungkin seorang muslim bisa mendapatkan ketenangan dalam hidupnya jika tanpa sam’i (mendengar) atau menuntut ilmu? Begitu juga tiga bagian yang lain, jika tidak diamalkan maka akan terjadi kepincangan hidup.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pertama, biljamaah (berjamaah). Adalah sunnatullah seorang muslim harus hidup bersatu padu, bersama-sama, berjamaah dalam satu kesatuan wadah yang dipimpin oleh seorang pimpinan. Jika seorang muslim tidak mengamalkan perintah hidup berjamaah itu artinya ia memilih untuk menjalani kehidupan ini dengan cara berpecah belah.
Tentang perintah berjamaah ini, telah Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,
dalam Qs. Ali Imran ayat 103,
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْانِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْفَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِفَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ{أل عمران:103
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah seraya ber-Jama’ah, dan janganlah kamu ber-firqah-firqah (bergolong-golongan), dan ingatlah akan ni’mat Allah atas kamu tatkala kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah jinakkan antara hati-hati kamu, maka dengan ni’mat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu dahulunya telah berada di tepi jurang api Neraka, tetapi Dia (Allah) menyelamatkan kamu dari padanya; begitulah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Qs. Ali ‘Imran: 103)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Kalimat, وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada pada tali Allah seraya ber-JAMA’AH, dan janganlah kamu berfirqah-firqah (berpecah-belah)…” (Qs. Ali Imran: 103). Kata “Al-Jama’ah” pada ayat ini artinya adalah ber-Jama’ah (bersama-sama/bersatu padu).
Sesuai dengan penjelasan dari para ahli tafsir antara lain; pertama, sesuai dengan makna yang diberikan oleh para ahli Tafsir, di antaranya Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan bahwa kata Jami’an yang dimaksud adalah “Al Jama’ah” (Tafsir Al-Qurthuby:III/159, Tafsir Jaami’ul Bayan: IV/21).
Kedua, adanya qorinah lafdziyah, yaitu Wala Tafarroqu setelah kalimat Jami’an, Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah “Allah memerintahkan kepada mereka dengan ber-Jama’ah dan melarang mereka berfirqah-firqah (pecah-belah).” (Tafsir Ibnu Katsir: I/189).
Ketiga, Az-Zajjaj berkata, “Kalimat Jami’an dibaca nashab, karena menjadi Haal.” (Tafsir Zaadul Masir: I/433). Maka artinya secara ber-Jama’ah dalam berpegang teguh pada tali Allah. (Tafsir Abi Suud: II/66).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Tidak semua kalimat “Jami’an” dalam al Qur’an artinya “bersama-sama (ber-Jama’ah / bersatu padu)”, seperti halnya tidak semua kalimat “Jami’an” berarti “keseluruhan/semuanya”. Sedikitnya ada empat ayat dalam al Qur’an yang kalimat “Jami’an” harus diartikan “bersama-sama (ber-Jama’ah/bersatu padu)”, yaitu: surat Ali Imran: 103, surat An-Nisa: 71, surat An Nur: 61 dan surat Al-Hasyr: 14.
Melihat penjelasan di atas, maka wajib bagi seorang muslim untuk hidup berjama’ah.
Kedua dan ketiga, sam’i wat tha’at (mendengar dan taat). Kelanjutan bagi orang-orang yang sudah berjama’ah adalah sam’i (mendengar) dan taat. Artinya setiap orang yang sudah menetapi hidup berjama’ah, maka yang ia lakukan selanjutnya adalah selalu berusahan untuk menuntut ilmu dan mendengarkan arahan-arahan atau nasehat serta motivasi dari para ulil amri (pemimpin) agar selamat dunia akhirat.
Mendengar dan taat adalah kekuatan dari umat ini. Mengapa mendengar dan taat menjadi penting setelah berjama’ah? Sebab dari mendengar dan taat adalah modal untuk hijrah kejalan yang lebih baik dalam menjalani kehidupan beragama ini. Selain itu, dari mendengar dan taat inilah akan lahir semangat untuk hijrah kepada arah dan jalan yang lebih baik.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili, seorang guru besar jurusan aqidah pada Universitas Islam Madinah, KSA, juga membahas kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, tentang prinsip-prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah, yaitu prinsip ke-28 tentang as Sam’u wath Tha’ah kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin.
Imam Ahmad bin Hanbal asy Syaibani rahimahullah, dalam kitab karyanya, Ushulus Sunnah, pada ashl (prinsip) yang ke-28 berkata, “Mendengar dan taat kepada para imam (pemimpin) dan Amirul Mukminin, yang baik maupun yang jahat. Begitu juga (mendengar dan taat kepada) orang yang memegang tampuk kekhalifahan yang telah disepakati dan diridhai oleh umat manusia. Demikian pula (mendengar dan taat kepada) orang yang dapat mengalahkan manusia dengan pedang hingga menjadi khalifah (pemimpin) dan disebut Amirul Mukminin.”
Keempat, hijrah. Hijrah secara bahasa diambil dari kata (الهجر) yang artinya meninggalkan. Adapun secara istilah syariat yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad at Tamimi Rahimahullah dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul,
وَالهِجْرَةُ: الاِنْتِقَالُ مِنْ بَلَدِ الشِّرْكِ إِلى بَلَدِ الإِسْلاَمِ
“Hijrah adalah berpindah dari negeri syirik menuju negeri Islam.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin).
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Bentuk hijrah
Setidaknya hijrah ada dua bentuk, yaitu sebagai berikut. Pertama, hijrah tempat. Hijrah tempat adalah hijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana penjelasan di atas. Hijrah berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua yaitu; 1). Hijrah yang umum, yaitu setiap hijrah yang dilakukan dari negeri kafir ke negeri Islam. Kewajiban hijrah ini berlaku sampai hari kiamat.
2). Hijrah yang khusus, yaitu hijrah dari Mekah ke Madinah di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat Nabi meninggalkan negeri Mekah, status Mekah dalah negeri syirik. Kemudian Nabi hijrah ke Madinah dan di negeri tersebut tersebarlah agama Islam ke setiap rumah sehingga Madinah menjadi negeri Islam. Sehingga pada saat itu, Nabi hijrah dari negeri syirik, yaitu Mekah, menuju negeri Islam, yaitu Madinah. Ini adalah hijrah yang khusus dan hanya berlaku pada saat itu.
Hal ini sesuai sabda Nabi SAW, “Tidak ada hijrah setelah Fathul Mekah.” Yang dimaksud dalam hadis ini adalah hijrah khusus, yaitu dari Mekah ke Madinah (lihat penjelasan dalam Syarh Kitabi Tsalatsatil Ushul li Syaikh Shalih Alu Syaikh).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Kedua, hijrah maknawi. Hijrah maknawi adalah hijrah dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW, “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (HR. Bukhari).
Contoh dari hijrah maknawi ini adalah hijrahnya seorang muslim dari memakan harta riba, haram, syubhat, mendengarkan musik yang mengundang syahwat, meminum khamr, berjudi, mengundi nasib dengan anak panah dan perbuatan maksiat lainnya.
Jadi, orang yang sudah mengamalkan hidup berjamaah juga dituntut harus hijrah terutama hijrah secara maknawi. Sebelum berjamaah lebih senang hidup secara individualis, maka kini setelah berjamaah senang hidup bersama. Sebelum berjamaah masih sering melalaikan shalat, maka setelah berjamaah lebih mengutamakan shalat tepat waktu, begitu seterusnya.
Kelima, jihad fie sabilillah. Jihad fi sabilillah sering dipahami dengan pemahaman yang begitu sempit, yaitu berperang di jalan Allah. Jihad fi sabilillah atau berjuang di jalan Allah itu amat luas menyangkut segala macam aktivitas yang terpuji. Seorang siswa atau santri yang belajar menuntut ilmu, termasuk berjihad di jalan Allah.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Bahkan, seseorang yang berdagang, bertani dan sebagainya untuk menghidupi keluarganya, seorang ilmuwan yang melakukan penelitian, sehingga mendatangkan sesuatu yang bermanfaat, semuanya termasuk fi sabilillah.
Disebutkan dalam Fathul Bari ada satu riwayat, “Rasulullah SAW tidak pernah mencium tangan para pemimpin Quraisy, tangan para pemimpin Kabilah, raja atau siapapun. Sejarah mencatat hanya putrinya Fatimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha dan tangan seorang tukang batu.”
Suatu ketika seorang laki-laki melintas di hadapan Rasulullah SAW. Orang itu dikenal sebagai pekerja yang giat dan tangkas. Para sahabat kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, andai bekerja seperti dilakukan orang itu dapat digolongkan jihad di jalan Allah (Fi sabilillah), maka alangkah baiknya.”
Mendengar itu Rasulullah SAW pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu fi sabilillah. Kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah. Kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah.” (HR At-Thabrani).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni (dosa -dosanya).” (HR at-Thabrani, nomor 306).
Suatu ketika sepulang dari perang Khandaq, saat situasi kaum muslimin kembali normal, Rasulullah SAW berjumpa dengan salah seorang sahabat bernama Sa’id Al-Khudri di salah satu sudut Kota Madinah. Penampilannya lusuh, tubuhnya hitam dengan sisa bau keringat menyengat, disebabkan ia bekerja kasar sebagai seorang tukang pemecah batu di bawah terik matahari. Saat dijumpai Rasulullah, ia sedang bekerja memecahkan batu-batu besar dengan palu. Pekerjaan itu sudah lama ditekuninya demi memberikan nafkah untuk anak istrinya.
Sa’id al Khudri tampak tersipu malu-malu menjulurkan tangannya saat Rasulullah SAW mengajaknya bersalaman. Ia menyadari tangannya kasar dengan kepalan-kepalan yang menonjol dan mengeras. “Ada apa dengan tanganmu, wahai Sa’id?” tanya Rasulullah SAW sembari memegangi tangan sahabat itu. “Tanganku ini kasar dan melepuh, duhai Rasulullah!” jawab Sa’id agak malu. “Tanganku kasar dan melepuh karena begitu banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” demikian jawaban Sa’id.
Rasulullah SAW terenyuh melihat perjuangan sahabatnya mencari rezeki Allah yang halal, tanpa mengemis dan meminta-minta. Rasulullah SAW segera menggenggam tangan sahabatnya. Sesaat kemudian, Rasulullah SAW merengkuh tangan Sa’id lalu mencium telapak tangannya yang melepuh itu seraya bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.”
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Jelas saja, Sa’id merasa malu, tidak pantas, karena tangannya yang kasar, kotor, berdebu, berpeluh dan berkeringat itu lalu dicium oleh seorang Nabi dan Rasul yang mulia. Sa’id berusaha menariknya. Namun, Rasulullah SAW menariknya sercaya bersabda, “Biarkan wahai Sa’id, biarkan tangan ini nanti yang akan membawamu ke surga.” Sa’id menangis tersedu. Dia tidak membayangkan tangannya yang hina ternyata mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, seorang muslim yang sudah berjamaah, lalu mendengar dan taat, serta hijrah, maka ia akan melakuan jihad fie sabilillah dalam semua bidang, seperti penjelasan dalam kisah sahabat Sa’id di atas. Jelas bagi kita jihad fie sabilillah itu bukan hanya ada di medan perang saja, tapi setiap usaha yang sungguh-sungguh dalam meraih karunia Allah entah itu berupa harta, ilmu atau pun lainnya juga merupakan jihad di jalan Allah.
Semoga dengan mengamalkan lima perintah Nabi SAW di atas hidup seorang muslim menjadi lebih tenang, terarah, terpimpin karena orientasinya jelas hanya satu yaitu bagaimana meraih ridha Allah, wallahu’alam.[]
Mi’raj News Agency (MINA)