DI ERA digital hari ini, siapa yang tidak memiliki media sosial? Dari pelajar hingga pensiunan, dari ibu rumah tangga hingga tokoh publik—semuanya hadir di panggung maya, membagikan sepotong kehidupannya dalam bentuk foto, video, atau sekadar untaian kata. Media sosial telah menjelma bukan sekadar alat komunikasi, tetapi menjadi cermin eksistensi diri. Pertanyaannya, apakah media sosial benar-benar dimanfaatkan sebagai ladang dakwah atau justru hanya menjadi ajang pencitraan dan eksistensi semu?
Media sosial sejatinya adalah anugerah besar dalam menyebarkan kebaikan. Jika dulu para dai harus menempuh jarak berhari-hari untuk menyampaikan risalah Islam, kini cukup dengan satu unggahan—jutaan orang bisa membaca dan tersentuh. Video pendek tentang akhlak mulia, kutipan ayat dan hadis, hingga ceramah singkat kini dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Dakwah tak lagi terbatas pada mimbar masjid; ia telah merambah ke TikTok, Instagram, Twitter, hingga YouTube.
Namun, tidak sedikit yang menjadikan ‘konten dakwah’ sebagai kamuflase. Di balik lafaz-lafaz Islami, tersembunyi keinginan untuk tampil menonjol, dihormati, dan tentu saja: divalidasi. Tak sedikit “influencer religi” yang lebih peduli pada estetika feed Instagram daripada ketulusan pesan. Kata-kata manis disusun bukan demi menyentuh hati manusia, tapi demi mengejar algoritma dan impresi.
Fenomena Eksistensi Berkedok Dakwah
Baca Juga: Mau Sukses Instant? Pikirkan Ulang dan Persiapkan Diri!
Coba kita buka mata: Berapa banyak orang yang membuat konten “ngaji bareng” tapi diselingi musik, filter, dan gaya berpakaian yang lebih cocok untuk kontes fashion? Berapa banyak pula yang membagikan potret sedang sedekah—namun dengan sudut kamera yang sempurna seolah sedang syuting iklan?
Ini bukan dakwah, ini eksistensi. Dakwah tidak haus tepuk tangan. Ia adalah bentuk kasih sayang dari hati yang tulus, bukan aksi panggung yang butuh sorotan. Dalam Islam, keikhlasan adalah ruh dakwah. Tanpanya, kata-kata seindah apapun hanyalah suara kosong yang takkan menembus hati.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini bukan hanya tentang apa yang disampaikan, tapi bagaimana cara menyampaikannya. Hikmah dan pelajaran yang baik tidak akan hadir dari hati yang penuh ambisi pribadi. Jika niatnya adalah pujian manusia, maka cukup sampai di situ pula balasannya—tidak sampai ke langit.
Baca Juga: Sibuk Scroll, Lupa Tafakkur? Saatnya Menata Prioritas!
Kita perlu jujur pada diri sendiri. Apakah benar kita berdakwah, atau hanya ingin dilihat religius? Apakah unggahan kita menginspirasi orang lain untuk lebih dekat kepada Allah, atau justru membuat mereka merasa rendah karena tidak se-“alim” kita di media sosial?
Pernahkah kita berpikir, berapa banyak orang yang menjauh dari Islam karena merasa tidak cukup “keren” untuk menjadi Muslim seperti yang mereka lihat di media sosial? Ketika dakwah berubah menjadi kontes penampilan, ruh Islam sebagai rahmat bagi semesta justru tergerus.
Maka ini bukan seruan untuk menghentikan dakwah digital, tetapi seruan untuk mengembalikan kemurniannya. Mari jadikan media sosial ladang pahala, bukan panggung narsisme. Biarkan konten kita menjadi lentera yang menerangi, bukan sorotan yang menyilaukan.
Dakwah jaris dolakukan dengan hati bukan sensai. Bisa dilakukan dengan cara antara lain: pertama, perbaiki niat. Sebelum menulis, merekam, atau mengunggah, tanyakan: “Apakah ini akan membuat Allah ridha?” Jika jawabannya adalah “supaya banyak yang like” atau “biar dianggap ustadzah kekinian”—maka berhenti. Benahi dulu niat.
Baca Juga: Pendidikan Kunci Menuju Masa Depan Cerah
Kedua, utamakan substansi daripada gaya. Konten yang sederhana tapi jujur lebih menyentuh daripada video penuh efek tapi kosong makna. Keindahan dalam Islam itu bersumber dari hati, bukan sekadar visual.
Ketiga, beri ruang untuk kritik dan introspeksi. Jangan alergi terhadap masukan. Jika ada yang mengingatkan bahwa unggahan kita terkesan pamer atau tak pantas, jangan langsung membela diri. Mungkin itu teguran dari Allah melalui hamba-Nya.
Keempat, jangan semua harus diunggah. Tidak semua kebaikan harus diumbar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembunyikan amalannya, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Media sosial bisa menjadi ladang dakwah yang luas atau panggung ego yang menyesatkan. Pilihannya di tangan kita. Apakah kita ingin menjadi bagian dari perubahan yang membaikkan, atau sekadar ikut tren yang melenakan?
Baca Juga: YAPI Akan Beri Beasiswa untuk Aktivis Mahasiswa IPB
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, mari kita menjadi suara yang menenangkan, bukan sorakan yang membingungkan. Mari berdakwah dengan cinta, bukan dengan kamera. Karena di akhirat nanti, bukan jumlah follower yang ditanya, tapi seberapa ikhlas kita menyampaikan kebenaran.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Beranjak Dewasa, Saatnya Meninggalkan Rebahan dan Meraih Kejayaan