MALAM itu, di sebuah jamuan makan malam yang dihadiri Presiden Republik Turkiye Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, suara genderang bertalu-talu memenuhi ruangan. Dentuman dahsyat berpadu dengan tiupan zurna—alat musik tiup khas Turkiye—membawa hadirin seolah kembali ke masa lalu, ketika pasukan Kesultanan Turki Utsmani berdiri tegap di medan tempur. Lagu Mehter, warisan musik militer tertua di dunia, berkumandang dengan penuh semangat.
Bagi Erdogan, yang dikenal sebagai pemimpin yang selalu menghidupkan kembali kebanggaan sejarah Turkiye, alunan Mehter bukan sekadar hiburan. Lagu ini adalah simbol kejayaan, keberanian, dan semangat juang. Dalam diplomasi, Mehter tidak hanya mengingatkan dunia akan kehebatan Turkiye di masa lalu, tetapi juga menyiratkan pesan kuat tentang keteguhan dan persahabatan yang ingin dijalin dengan negara sahabat seperti Indonesia.
Mehter, Dari Medan Tempur ke Panggung Diplomasi
Mehter berasal dari bahasa Persia yang berarti “superior” atau “unggul”—sebuah nama yang mencerminkan statusnya sebagai lagu penyemangat militer pertama dan tertua di dunia. Lagu ini menjadi bagian tak terpisahkan dari pasukan Janissary, korps elite Kesultanan Turki Utsmani yang ditakuti di Eropa. Dengan ritme yang penuh determinasi, Mehter mengiringi pasukan Utsmani saat mereka melangkah ke medan perang, menebarkan ketakutan di hati musuh-musuh mereka.
Bukan hanya musiknya yang megah, tetapi juga cara Mehter dimainkan yang unik. Genderang besar ditabuh berulang kali dengan ritme yang semakin meningkat, menciptakan efek psikologis yang menggetarkan lawan. Sejarawan mencatat bahwa banyak pasukan Eropa yang gentar hanya dengan mendengar suara Mehter dari kejauhan, menandakan kedatangan pasukan Utsmani yang tak tertandingi.
Baca Juga: Manajemen Risiko dalam Bantuan Kemanusiaan
Namun, setelah runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani pada awal abad ke-20, Mehter sempat menghilang dari kehidupan militer. Baru pada 1953, tepat saat peringatan 500 tahun penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II, Mehter dihidupkan kembali sebagai bagian dari kesenian nasional Turkiye. Kini, Mehter bukan lagi genderang perang, melainkan simbol kebanggaan sejarah dan budaya Turkiye yang sering dipentaskan dalam acara kenegaraan, festival budaya, hingga forum diplomatik.
Saat lagu Mehter menggema di hadapan Presiden Erdogan dan Prabowo Subianto, ada lebih dari sekadar nostalgia sejarah yang terjalin di meja makan malam itu. Mehter bukan hanya tentang peperangan di masa lalu, tetapi juga semangat persahabatan dan tekad untuk menghadapi tantangan zaman.
Bagi Prabowo, yang memiliki latar belakang militer, musik Mehter bisa jadi membangkitkan pemahaman mendalam tentang strategi, ketahanan, dan keberanian dalam kepemimpinan. Sementara bagi Erdogan, alunan Mehter di Indonesia menegaskan hubungan erat antara dua negara dengan sejarah panjang dalam perjuangan dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Turkiye dan Indonesia, meskipun berada di dua ujung dunia Islam, memiliki kesamaan dalam semangat perjuangan dan ketahanan nasional. Gema Mehter dalam jamuan kenegaraan itu seolah menjadi seruan bahwa warisan sejarah dapat menjadi pendorong kuat dalam membangun masa depan, termasuk dalam kerja sama ekonomi, pertahanan, dan kebudayaan yang tengah dijajaki kedua negara.
Baca Juga: Urgensi Hidup Berjamaah dalam Islam
Mehter dan Persaudaraan Makin Kokoh
Di era modern ini, Mehter tidak lagi berfungsi sebagai alat perang, tetapi sebagai alat diplomasi yang menyampaikan pesan tentang kejayaan dan persatuan. Lagu ini tetap menggema dalam berbagai acara resmi, membawa semangat yang sama seperti saat pertama kali dimainkan berabad-abad lalu.
Ketika Presiden Erdogan dan Prabowo duduk bersama mendengarkan lagu Mehter, sejarah dan diplomasi berpadu dalam satu irama. Pada Selasa (11/2/2025) malam itu, genderang Mehter tidak hanya membangkitkan kenangan tentang kejayaan Turki Utsmani, tetapi juga menjadi simbol harapan akan hubungan yang semakin erat antara Indonesia dan Turkiye di masa depan.
Kunjungan Presiden Republik Turkiye, Recep Tayyip Erdogan, ke Indonesia pada 11-12 Februari 2025 menandai peringatan 75 tahun hubungan diplomatik antara kedua negara. Kunjungan bersejarah Presiden Erdoğan ini menjadi langkah konkret dalam memperkuat kemitraan strategis kedua negara. Hal ini juga menjadi momentum sejarah menuju 100 tahun kemitraan Indonesia dan Turkiye di tahun 2050.
Momen persahabatan antara Indonesia dan Turkiye makin terasa ketika Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdoğan saling bertukar cendera mata. Di sela-sela rangkaian kunjungan kenegaraan di Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada Rabu, 12 Februari 2025, Presiden Prabowo menyerahkan cendera mata berupa senjata dan keris khas Indonesia kepada Presiden Erdoğan.
Baca Juga: Makna Kehidupan Dunia dalam Surah Al-Hadid Ayat 20
Senjata yang diberikan berupa senapan serbu berkaliber 5,56 x 46 mm dengan tipe SS2-V4A2. Senapan serbu kebanggaan Indonesia ini merupakan buatan PT Pindad dengan akurasi tembakan yang jitu.
Selain senjata, Presiden Prabowo juga menyerahkan keris kepada Presiden Erdoğan yakni Balinese gegodohan keris dengan gagang gerantim yang terbuat dari perak yang dibalut dengan emas dan permata rubi.
Dari Presiden Erdoğan, Presiden Prabowo menerima guci berwarna putih dengan ornamen bunga berwarna merah muda. Di samping itu, sebuah hiasan kaligrafi berupa puisi yang berisikan doa dan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Sultan Abdulmecid Khan dan Muhammad Hasib Pasha, Gubernur Hejaz, dan Syekh tanah Haram.
Puisi berisi doa dan rasa syukur ini diberikan karena telah menjamin keamanan dan kedamaian tanah suci serta kesejahteraan umat dengan pemerintahan yang adil.
Ada yang menarik saat saling bertukar cendera mata bersejarah tersebut seorang perempuan yang selalu hadir di antara Erdogan dan Presiden Prabowo Subianto. Perempuan itu adalah Dr. Fatima Gulhan Abushanab, penerjemah Erdogan.
Fatima mulai tampak saat Erdogan dan istrinya, Emine, mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Selasa (11/2) sore. Dia memakai jas warna biru tua. Dia selalu berada di lingkaran Erdogan dan Emine.
Ketika Prabowo memberikan cenderamata kepada Erdogan, perempuan itu menerjemahkan pernyataan berbahasa Inggris Prabowo kepada Erdogan. Dia juga menyampaikan pertanyaan/pertanyaan Erdogan kepada Prabowo.
Sebelum ke Indonesia, Fatima juga menjadi penerjemah Erdogan dalam kunjungannya ke Malaysia pada 10-11 Februari 2025. Saat ini, ia menjadi bagian dari tim pakar hubungan internasional di Istana Kepresidenan, tempat Erdogan berkantor.
Baca Juga: Kunjungan Bersejarah Presiden Erdogan ke Indonesia: Mempererat Diplomasi dan Dukungan bagi Palestina
Ayah Fatima adalah orang Palestina yang berpaspor Yordania-AS, Ali Ahmad Ghulam Abushanab. Dengan demikian, Fatima memiliki darah Palestina. Sedangkan ibu Fatima adalah Prof. Dr. Merve Safa Kavakci dan menjadi Dubes Turki di Malaysia pada 2017-2022.
Adapun ayah Merve dikenal sebagai Imam Yusuf di sebuah masjid di di Richardson (Dallas, AS) dan salah satu pendiri komunitas Islam di sana. Yusuf berimigrasi ke Amerika karena putrinya (Merve) dilarang masuk sekolah dengan mengenakan jilbab. Yusuf memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas Palestina di kota itu.
Hubungan keakraban ini menjadi momentum penguatan kerja sama Indonesia dan Turkiye yang terus berkembang. Momen ini juga mencerminkan semangat kemitraan dan persaudaraan yang kokoh antara kedua negara.[]
Baca Juga: Sambut Ramadhan dengan Bekal Ilmu, Taubat dan Doa
Mi’raj News Agency (MINA)