Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melepas Dunia di Tanah Suci, Pelajaran Ikhlas dari Rangkaian Ibadah Haji

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 46 detik yang lalu

46 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

IBADAH haji bukan hanya perjalanan fisik ke tanah suci, tetapi juga sebuah perjalanan batin untuk melepaskan keterikatan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ribuan kilometer ditempuh, ratusan rukun dan syarat ditaati, semua itu menggambarkan bentuk penghambaan total. Haji menjadi momentum mengasah keikhlasan, karena seluruh ritualnya menuntut pengorbanan tanpa pamrih.

Dalam perspektif ilmiah, keikhlasan adalah kondisi mental di mana individu melakukan sesuatu semata-mata karena nilai intrinsik atau keyakinan spiritual, bukan karena tekanan sosial atau dorongan egoistik. Psikologi menyebut kondisi ini sebagai “intrinsic motivation” yang diyakini mampu menumbuhkan ketenangan batin. Dalam ibadah haji, motivasi ini tercermin kuat dalam niat dan pelaksanaan manasik.

Ketika jamaah haji mengenakan ihram, pakaian putih tanpa jahitan, sejatinya ia melepaskan identitas duniawinya. Tidak ada perbedaan pangkat, jabatan, atau status sosial. Yang ada hanyalah hamba dan Tuhannya. Proses ini merupakan simbol dari “decategorization” dalam sosiologi, yaitu momen di mana sekat-sekat sosial ditanggalkan demi kemurnian ibadah.

Wukuf di Arafah menjadi puncak dari pengosongan diri. Di sanalah manusia dihadapkan pada hakikat eksistensinya, berdiam dan merenung di bawah langit terbuka, tanpa aktivitas duniawi, hanya zikir, doa, dan tangis penyesalan. Ini mengajarkan bahwa ikhlas bukan hanya kata, melainkan perasaan terdalam yang dilandasi kesadaran akan kefanaan dunia.

Baca Juga: Buruh dalam Perspektif Islam: Sejarah, Hak, dan Relevansinya di Era Modern

Ritual melempar jumrah yang secara simbolik merupakan bentuk perlawanan terhadap godaan syaitan juga memiliki makna mendalam. Ia menuntut kekuatan spiritual untuk menyingkirkan bisikan duniawi yang sering kali membungkus nafsu dalam bentuk kemewahan, pujian, dan kekuasaan. Dalam psikologi agama, ini disebut sebagai “moral disengagement reversal”—upaya sadar menolak kejahatan.

Tawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali menggambarkan gerakan dinamis dalam kepatuhan mutlak kepada Sang Pencipta. Jamaah seperti planet yang mengitari matahari dalam orbitnya, tunduk pada hukum ilahi. Tidak ada ruang bagi ego, sebab semua bergerak serempak dalam satu irama, menggambarkan bentuk ikhlas yang sinkron dengan alam semesta.

Sa’i antara Shafa dan Marwah, mengenang perjuangan Hajar mencari air, mengajarkan bahwa keikhlasan bukan berarti pasrah pasif, tetapi usaha maksimal tanpa pamrih. Ketika seorang hamba ikhlas, ia tetap berikhtiar walau hasilnya belum tampak. Ini membentuk kombinasi antara kerja keras dan tawakal yang menjadi landasan etika Islam.

Dalam kajian spiritualitas Islam, ikhlas adalah fondasi diterimanya amal. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Haji adalah contoh konkret bagaimana niat menjadi inti dari seluruh proses. Tanpa niat yang lurus, ibadah menjadi hampa meski secara fisik sempurna.

Baca Juga: Ukhuwah, Teras Kehidupan Berjama’ah yang Membawa Berkah

Filosofi “melepaskan dunia” dalam haji juga berkaitan dengan aspek neuropsikologis. Saat seseorang memfokuskan diri dalam ibadah dengan ikhlas, aktivitas gelombang otak mengalami ketenangan. Penelitian menunjukkan bahwa praktik spiritual yang mendalam mampu mengurangi kecemasan, stres, dan depresi. Inilah rahmat dari ibadah yang dikerjakan dengan hati yang bersih.

Dalam kehidupan modern yang serba instan dan penuh distraksi, haji menjadi oase keikhlasan. Ia mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dari kesibukan dunia dan kembali kepada fitrah manusia: sebagai hamba. Itulah mengapa banyak orang yang pulang dari haji menjadi pribadi yang lebih sederhana, tenang, dan penuh kasih.

Namun, menjaga keikhlasan di tengah ribuan jamaah bukan perkara mudah. Ada godaan untuk pamer, ingin tampil saleh, atau bahkan merasa lebih unggul karena telah menjadi “haji”. Inilah ujian yang sejati. Allah tidak melihat fisik dan amal kita secara lahir, tetapi melihat niat dan keikhlasan di dalam hati.

Dalam kajian fikih, syarat sahnya haji bukan hanya rukun dan wajib haji, tetapi juga ruhnya: yaitu niat dan keikhlasan. Tanpa ini, haji bisa berubah menjadi sekadar perjalanan wisata spiritual tanpa dampak transformatif. Maka, penting bagi setiap jamaah untuk terus memperbarui niatnya sepanjang prosesi haji.

Baca Juga: Muasal Ijazah dalam Tradisi Islam, Simbol Harga Diri

Ulama tasawuf menggambarkan keikhlasan sebagai “rahasia antara hamba dan Tuhannya.” Tidak seorang pun dapat menilai keikhlasan orang lain, karena ia tersembunyi di dalam hati. Maka, haji bukan ajang pembuktian kepada manusia, melainkan pengabdian total kepada Allah yang Mahatahu isi hati.

Setelah pulang dari tanah suci, tantangan berikutnya adalah menjaga keikhlasan dalam kehidupan sehari-hari. Haji sejatinya bukan akhir, tetapi awal dari kehidupan yang lebih lurus dan bersih. Jika keikhlasan yang dipupuk di tanah suci bisa dibawa pulang, maka haji kita telah mencapai tujuannya.

Dengan demikian, ibadah haji mengajarkan pelajaran ikhlas yang amat dalam. Ia bukan sekadar ritual tahunan, tetapi proses penyucian hati dari segala yang duniawi. Di tanah suci, manusia belajar untuk melepas, menyerah, dan menerima. Di sanalah letak kemuliaan seorang hamba: saat ia benar-benar ikhlas karena Allah.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Al-Quds dalam Catatan Sejarah Islam

Rekomendasi untuk Anda