Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٲلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ
Artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98] ayat 5).
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina
Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya yang menyebut tentang orang-orang kafir dan orang-orang musyrik yang tidak akan meninggalkan agama mereka sampai datang kepada mereka bukti yang nyata yaitu datangnya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sebelum Rasulullah diutus, orang Yahudi maupun Nasrani sepakat menunggu kedatangan beliau untuk mengikutinya, karena beliau adalah Nabi akhir zaman penutup kenabian.
Hal ini berdasarkan penjelasan dari kitab-kitab mereka baik Taurat maupun Injil tentang akan diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul akhir zaman, akan tetapi ketika beliau datang, mereka pun berpecah belah, ada yang masuk Islam dan ada yang tetap kafir.
Padahal sebenarnya, mereka tidak diperintahkan baik di dalam kitab-kitab mereka dan seruan para rasul mereka, maupun di dalam Al-Quran dan seruan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kecuali untuk menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya dengan meninggalkan semua agama yang mereka ikuti dan memeluk agama Islam.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Mereka juga diperintahkan untuk menunaikan salat pada waktunya dengan memperhatikan tata cara, syarat dan rukunnya, serta diperintahkan pula mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka untuk para fakir dan miskin.
Memahami Makna Agama (ad-din)
Adapun bagi seorang yang sudah menyandang status orang yang beragama Islam atau Muslim, perlu dipahami tentang makna status sebagai “orang yang beragama”.
Dalam Islam, agama disamakan dengan kata “ad-din”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Ad-din berasal dari bahasa Arab “daana – yadiinu – diinan” (دان – يدين – دينا) memiliki arti yang banyak yaitu agama, jalan hidup, tatanan, hukum dan lain-lain.
Ulama India-Pakistan Abul Ala Maududi (1903-1979) mencatat ada empat istilah dalam Al-Quran yang bermakna ad-din dari sudut bahasa:
Pertama yang berarti kekuasaan, kemampuan dan sebagainya.
Di antara kalimatnya adalah:
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
دَا َ ن النَّس = Danan-nasa. Artinya: menjadikan orang-orang taat kepadanya.
دِنْتُهُمْ َفدَانُو = Dintuhum fa danu. Artinya: kutekan mereka sehingga menyerah.
دِنْتُ اْلَقوْمَ = dintul qauma. Artinya: kutundukkan mereka, atau kuperbudak.
دَا َ ن الرَّجُ ُ لُ = danar-rajulu. Artinya: orang itu sudah berkuasa.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
دِنْتُ الرَّجُ َ ل = dintur-rajula. Artinya: orang itu telah kubebani tugas yang dibencinya.
دُيِّنّ فُلَا ٌ ن = duyyina fulanun. Artinya: Fulan dibebani pekerjaan yang dibencinya.
دِنْتُهُ = dintuhu. Artinya: kumpimpin dia dan kukuasai.
دَيَّنْتُهُ الَْقوْمَ = dayyantuhul qauma. Artinya: dia kuserahi kepemimpinan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Seorang panglima yang telah membebaskan suatu negeri, atau suatu bangsa dari suku, dinamakan دَيَا ٌ ن (dayyan). Atas dasar itu, maka budak sahaya disebut juga مَدِينٌ (madin).
Maksud ad-din di sini adalah menguasai hawa nafsu, mengendalikan diri, dan memiliki kecerdasan emosional dan spritual.
Kedua, berarti ketaatan, penghambaan diri, tunduk.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Artinya, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh (yadin) sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah [9] ayat 29).
Dalam tafsir Jalalayn disebutkan, lafal yadin (dengan patuh) berkedudukan menjadi hal/kata keterangan, artinya, secara taat dan patuh, atau mereka (orang-orang yang non-Muslim) menyerahkannya jizyah secara langsung tanpa memakai perantara atau wakil (sedangkan mereka dalam keadaan tunduk) yaitu patuh dan taat terhadap peraturan/hukum Islam.
Ketiga, berarti pembalasan, upah, peradilan, tindakan, pertanggungjawaban, dan perhitungan tuntutan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
مَـٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
Artinya, “Yang menguasai hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1] ayat 4).
Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani hisab, yaitu hari kiamat. Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik. Jika amalnya buruk, maka balasannya pun buruk, kecuali orang yang mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Dan keempat, berarti undang-undang, tata-tertib, ideologi, aturan, tata-kerama, adat-istiadat dan sebagainya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَبَدَأَ بِأَوْعِيَتِهِمْ قَبْلَ وِعَاءِ أَخِيهِ ثُمَّ اسْتَخْرَجَهَا مِنْ وِعَاءِ أَخِيهِ ۚ كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
Artinya, “Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang (diini) raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf [12] ayat 76)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Di QS. Az-Zumat [39] ayat 11 Allah pun berfirman,
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
Artinya, “Katakanlah: Sungguh, aku diperintahkan menyembah Allah menurut ketentuan-ketentuan-Nya (lahuddiin).”
Secara bahasa dapatlah kita tarik substansi bahwa “agama” (ad-din) adalah lembaga kekuasaan yang didalamnya ada hukum/undang-undang, ada masyarakat yang loyal atau tunduk kepada kekuasaan dan ada mekanisme pembalasan bagi yang mengikuti dan juga bagi yang membangkang.
Jadi orang yang beragama adalah orang yang bisa mengendalikan dan berkuasa atas diri, hawa nafsu dan emosinya untuk tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang telah ditetapkan di dalam agama itu, dalam hal ini adalah aturan dan hukum yang ada di dalam Islam.
Kata ad-din oleh Al-Quran dipergunakan sebagaimana dimengerti oleh orang Arab masa lalu. Dipergunakannya sedemikian luas, hingga menjadi suatu istilah yang mencakupi seluruh aspek kehidupan yang sempurna. Suatu istilah yang apabila difahami, seseorang tunduk dan taat karena agama itu menjamin kesejahteraan hidupnya di dunia dan akhirat. Ia enggan menyimpang daripadanya, karena yakin akan akibat-akibatnya, yaitu kesengsaraan dan kehinaan.
Kepatuhan orang yang beragama di dalam Islam terwujud dalam bentuk ketaatan yang terstruktural, tidak patuh menurut sudut kepahaman masing-masing individu. Ketaatan yang terstruktural itu dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ [4] ayat 59). (P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)