Oleh Ahmad Soleh, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Fatah Cileungsi, Bogor
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan!” (QS. Al-Alaq [96]: 1).
Penulis membaca buku berjudul Maqashid Al-Shariah: A Beginner’s Guide karya Jasser ‘Audah, seorang doktor lulusan Teologi dan Studi Agama Universitas Wales Lampeter, Inggris dan juga lulusan program doktoral Analisis Sistem dari Universitas Waterloo, Kanada. Buku ini diterjemahkan oleh ‘Ali ‘Abdelmon’im, alumni program doktoral Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Baca Juga: Mengembangkan Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas
Dalam pengantar penerjemahnya, setelah ‘Ali ‘Abdelmon’im menyampaikan salam, pujian dan ucapan terima kasih, ia melanjutkan dengan mengulas tentang arti Jasser ‘Audah. Diuraikannya bahwa Jasser ‘Audah adalah penghubung 8 (delapan) pasangan tepi yang berjauhan sehingga menyatakan bahwa ismun ‘ala musamma (nama itu cocok dengan penyandangnya), karena Jasser ‘Audah sesui dengan namanya bemakna: Jasser berarti ‘penghubung’ dan ‘Audah adalah ‘kembali’. Jadi Jasser ‘Audah dapat diartikan “Penghubung kembali antar tepi-tepi yang berjauhan.”
Menarik, saat ‘Ali menjelaskan salah satu pasangan tepi yang pertama dari delapan pasangan tepi, yaitu pasangan tepi antara world view Islami dan world view Ilmiah. Islam, dalam versi terakhirnya yang dibawakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sejak hari pertama dideklarasikan dari gua Hirâ’, lahir sebagai agama yang ber-world view (pandangan hidup) ilmiah, sistematis, dan konsekuen. Ketiga ciri world view Islami itu tampak jelas sejak awal mula Islam, sejak diwahyukan ayat pertama Al-Qur’an yang berbunyi: Iqra’, alias: bacalah.
Yang menarik dari kata iqra’ bukan terjemahannya yang terbatas itu, melainkan makna keseluruhan di balik kata dasar qara’a, yang bersignifikansi ‘mengumpulkan’. Dengan demikian, aksi membaca, dari sudut pandang Al-Qur’an yang berbahasa Arab, adalah aksi pengumpulan.
Lalu, jika membaca itu bermakna mengumpulkan, maka apakah yang dikumpulkan? Tanya ‘Ali melanjutkan pengantarnya.
Baca Juga: Mengislamkan Pikiran, Hati, Dan Perilaku
Al-Qur’an menyeru pembacanya untuk mengumpulkan tanda-tanda wujud dari berbagai arah dan disiplin ilmu, asalkan tanda-tanda itu benar adanya (Haqq). Tanda-tanda itu dalam Al-Qur’an sering disebut dengan kata âyah (ayat dalam bahasa Indonesia). Âyah dalam bahasa Arab berarti ‘alâmah (jamaknya: ‘alâmât). Hasil terkumpulnya ‘alâmât tersebut diistilahkan dengan al-‘ilm (ilmu).
Tampak jelas keterkaitan antara ‘alâmah, ‘alâmât dan ‘ilm; dimana semuanya kembali kepada satu akar kata yaitu ‘alima, yang bermakna mengenali tanda. Adapun kata-kata seperti ‘alam (hal definit, bendera atau gunung-gunung yang tinggi), ‘âlam (alam, yang merupakan tanda keberadaan al-‘Alim Subhanahu wa Ta’ala); dimana semua kata itu mempertegas signifikansi dari kata ‘ilm sebagai hasil terkumpulnya ‘alâmât atau tanda-tanda wujud yang hakiki, yang tampak nyata dan jelas (seperti bendera atau gunung yang tinggi) tanpa rekayasa atau khayalan, lanjut ‘Ali.
Manusia khususnya muslim, dapat mencermati seruan untuk mengumpulkan ‘alâmât dari berbagai arah itu sejak surah pertama (surah al-‘alaq), dimana manusia diarahkan untuk mengumpulkan tanda kebesaran Allah dari ilmu janin (QS. Al-‘Alaq ayat ke-2), ilmu pendidikan (QS. Al-‘Alaq ayat ke-4), ilmu psikologi (QS. Al-‘Alaq ayat ke-6 & ke-7), dan ilmu agama.
Adapun akal, yang dalam bahasa Arabnya ‘aql, lanjut ‘Ali, berakar dari kata dasar ‘aqala, bermakna mengait dan mengikat.
Baca Juga: Sejarah, Makna, dan Relevansi Sumpah Pemuda Bagi Bangsa
Apa yang dikaitkan dan diikat oleh akal?
Setelah dikumpulkannya ‘alâmât (âyât) dalam bentuk ilmu, Islam mengarahkan pengikutnya untuk mengaitkan antar ‘alâmât baik kauniyyah (alam) maupun qauliyyah (ayat kitab suci) tersebut dengan akal. Pengaitan itu dilakukan demi untuk menemukan hakikat Tauhid. Tauhid berarti pemersatuan paham tentang Tuhan dan hanya dapat dicapai apabila manusia mengumpulkan data (‘alâmât/‘ilm) yang cukup tentang kesatuan dan keseragaman logika penciptaan dan pengurusan alam semesta ini. Logika yang satu ini akan ditemui penuh rahmah, hikmah, keadilan dan segala sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain, yang mengatur semua aspek wujud di dunia ini.
Adapun yang diikat oleh akal adalah sikap dan watak manusia berdasarkan hasil keterkaitan antar tanda tersebut (berdasarkan ilmu yang diraihnya). Karenanya, tidak heran ketika mengetahui bahwa salah satu kata bahasa Arab yang menunjukkan akal adalah kata hijr (QS. 89:5), yang bermakna membatasi (hawa, ilusi, amarah…dsb). Lebih dari itu, kata kebijaksanaan dalam bahasa Arab adalah hikmah, lebih kurang, mengandung makna pengendalian.
Al-Qur’an dipenuhi dengan seruan untuk mendayagunakan akal dan peringatan bagi orang-orang yang enggan menggunakan akalnya dengan seksama, baik pada aspek pengaitan (‘aql) antar fakta (‘alâmât/âyât, tanda-tanda/’ilm) maupun pada aspek mengikat diri sendiri berdasarkan fakta itu (hijr atau hikmah).
Baca Juga: Setelah Sinwar Syahid, Perlawan Melemah?
Kesimpulannya, sebuah world view Islami mengandung tiga unsur sebagai berikut:
- Mengumpulkan (qirâ’ah) tanda (‘alâmât) adalah hal yang menjadikan seorang Muslim berwawasan ilmiah, bukan berwawasan hawa nafsu, ikut-ikutan, angan-angan maupun khurafat. Unsur ini mencerminkan aspek ilmiah.
- Mengait-kaitkan antar ‘alâmât tersebut (dengan ‘aql) adalah mencerminkan aspek sistematis.
- Terakhir, menggunakan hasil pengumpulan tanda yang dikait-kaitkan untuk mengatur sikap adalah mencerminkan aspek konsekuensi dan integritas pada pandangan hidup Islami.
Sosiocultural Sebelum Ayat Iqra Turun
Kegundahan seorang Muhammad bin Abdullah saat memperhatikan keadaan kaumnya yang semakin hari semakin semrawut dan kemaksiatan semakin meningkat. Hal ini mengantarkannya untuk mencari solusi dan langkah-langkah yang harus dilakukan. Kondisi itupun mendorongnya untuk berkhalwat (tahannuts) di gua Hirâ’.
Saat pencarian solusi dan tahannuts itulah, turun ayat pertama, ayat iqra’. Menurut sebuah riwayat dinyatakan:
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
“Awal turunnya -wahyu- kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dengan ar-ru’ya ash-shalihah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira’ dan ber-tahannuts. Yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al-Haq saat Beliau di gua Hira’. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”. Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)” (HR. Bukhari, No. 6982; Muslim, No. 160 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Menarik untuk dikaji, Malaikat memerintahkan kepada seorang Muhammad untuk membaca, padahal Jibril pun tahu bahwa -Nabi- Muhammad belum pernah “membaca” teks apapun dan belum pernah menulis dengan tangan kanannya. Kemudian, tidak disebutkan dalam riwayat itu maupun riwayat lainnya saat Jibril memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk membaca, Jibril menyodorkan kertas atau apapun yang mengandung tulisan. Kalau begitu, lantas apa yang harus dibaca oleh Nabi Muhammad?
Benar, sebagaimana dijelaskan ‘Ali ‘Abdelmon’im di atas, yang harus dibaca adalah teks dan non teks, lingkungan dan hukum-hukum sosial yang berhubungan, psikologi massa dan psikologi individu, sinyal-sinyal, tanda-tanda serta hal lain yang diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Apalagi dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq ayat 1 itu tidak disebutkan objek yang harus dibaca. Jika objeknya tidak disebutkan, kaidah tafsir menyatakan bahwa itu menunjukkan semua objek, apapun itu, hendaknya dibaca. Karena, Islam -baca: kitab suci yang tertulis dan alam yang terhampar- masing-masing mengandung terjemah, tafsir dan ta’wil yang harus digali untuk dijadikan gaiden/petunjuk.
Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina (BSP) November 2024
Maka iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaqa. Dengan membaca, menelaah, riset/ meneliti akan didapati mutiara-kutiara berkilau yang memudahkan dalam hidup dan kehidupan. []
Mi’raj News Agency (MINA)