oleh: Widi Kusnadi, dai pondok pesantren Al-Fatah, Bogor
Kebahagiaan merupakan dambaan setian insan. Apapun aktifitas yang dikerjakan, usaha yang dilakukan dengan penuh kesungguhan, pastilah tujuan akhirnya ingin mendapatkan kebahagiaan. Memang, Allah menciptakan manusia, menakdirkan mereka hidup di dunia adalah sebagai ladang dan sarana untuk memperoleh kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat.
Akan tetapi, tidak sedikit manusia yang sibuk mengejar-ngejar kebahagiaan, tetapi justru kesengsaraan dan penderitaan yang ia dapatkan. Ia sudah mengeluarkan banyak harta, tenaga dan kekuatan yang maksimal, bahkan banyak orang lain yang terlibat untuk membantu dan menolongnya, akan tetapi kebahagiaan tidak kunjung ia dapatkan.
Pembaca yang budiman, ada hal yang harus dipahami oleh kita semua agar jangan sampai terjebak kepada mengejar kebahagiaan yang semu. Ia menyangka bahwa sesuatu yang ia dambakan akan membuat ia bahagia, tapi ternyata justru penderitaan dan nestapa yang menimpa dirinya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Kewajiban dan Hak dalam Pandangan Islam
Dalam terminologi Bahasa Indonesia, kita mengenal kesenangan, kepuasan, kebahagiaan dan keridhaan. Kali ini, penulis akan mengategorikan kata itu menjadi dua bagian, kesenangan yang identik dengan kepuasan dan kebahagiaan yang dekat dengan keridhaan.
Manusia harus bisa membedakan antara kebahagiaan dan keridhaan dengan kepuasan dan kesenangan. Sekilas mungkin kita menganggap sama istilah-istilah itu. Meskipun mirip, tetapi sesungguhnya mereka memiliki perbedaan yang signifikan.
Kesenangan bisa diartikan sebagai perasaan lega karena keinginannya untuk mendapatkan sesuatu tercapai. Selanjutnya ia akan merasa puas jika sudah menikmati sesuatu yang ia dapatkan itu berkali-kali. Namun, jika seseorang sudah menikmatinya berkali-kali dan dalam waktu tertentu, sampailah ia kepada satu titik, kondisi, perasaan yang namanya bosan.
Kesenangan dan kepuasan itu biasanya berasal dari faktor eksternal (barasal dari luar badannya), berhubungan dengan kebutuhan biologis (sandang, pangan papan, pasangan, perhiasan dan lainnya) dan durasinya pun hanya dalam waktu tertentu (sementara/tidak lama). Kesenangan dan kepuasan itu sebenarnya merupakan pemenuhan keinginan, hasrat dan nafsu manusia saja.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menggapai Syahid di Jalan Allah Ta’ala
Dalam Al-Quran, hal ini telah Allah sampaikan di dalam surah Ali-Imran ayat ke-14 yang terjemahan bebasnya adalah: “Dijadikan indah (dalam pandangan) manusia untuk mencintai apa saja yang mereka sukai, berupa wanita (pasangan), anak-anak (keturunan), kekayaan yang melimpah seperti emas, perak (perhiasan) dan kuda-kuda (kendaraan) yang baik , dan binatang-binatang ternak semisal unta,sapi dan kambing (bisnis), serta tanah yang di jadikan untuk bercocok tanam dan berladang (properti). Semua itu adalah pesona kehidupan dunia yang bersifat sementara dan perhiasannya pasti akan sirna. Dan hanya di sisi Allah lah terdapat tempat kembali dan pahala yang terbaik, yaitu surga”.
Para pembaca yang budiman, lantas apakah kesenangan itu identik dengan kebahagiaan? Apakah orang yang merasa puas itu pasti bahagia? Ternyata bila kita lihat orang-orang di sekeliling kita, atau kita membaca dan menyaksikan di berbagai media, banyak orang yang memiliki berbagai fasilitas kehidupan dunia, akan tetapi hatinya hampa, kebahagiaan tidak ia temukan di tengah kemegahan.
Betapa kita saksikan, ada orang yang berada dalam rumah yang megah, mobil yang mewah, tapi wajahnya muram, penuh dengan derai air mata, sementara ada seorang anak yang hanya naik odong-odong, ia bisa tertawa lepas dan begitu ceria.
Atau seseorang yang tinggal di hotel berbintang, dengan makanan yang lezat dan tidur di kasur yang empuk, akan tetapi, ia merasa sepi, menyendiri dan tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa lagi. Sementara di tempat lain, ada seorang petani yang berangkat mencangkul ke sawah pagi-pagi, kemudian ketika matahari telah meninggi, datanglah sang istri dengan membawakan beberapa bungkus ketan bersama air teh yang sepet, kental lagi tawar. Kemudian ia suapi sang suami dengan penuh cinta. Mereka makan berdua di pematang sawah. Tak terasa sepuluh bungkus ketan yang dibeli dari pasar, mereka habiskan. Syukurlah tidak sekalian mereka makan bersama daun pembungkusnya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Mempersiapkan Generasi Pembebas Masjid Al-Aqsa
Pembaca yang budiman, begitulah kebahagiaan. Ia tidak hanya dirasakan oleh orang yang bergelimang kemewahan, atau melimpahnya harta dengan segala fasilitas hidup di dunia, namun orang yang hidup sederhana juga bisa merasakannya.
Lezatnya makanan bisa dibeli, tapi nikmatnya makan, Allah yang bagi. Kasur beserta bantal dan guling yang empuk bisa diraih, tapi nikmatnya tidur hanya Allah yang kasih. Mobil dan kendaraan yang mewah bisa diusahakan, tapi kalau mabuk perjalanan, mewah dan nyamannya kendaraan tidak bisa dirasakan.
Begitulah kebahagiaan. Ia tidak datang dari kemegahan, kemewahan dan gemerlapnya dunia, tapi Allah ilhamkan kepada siapa saja, ummat manusia yang mampu mensyukuri setiap dan sekecil apapun anugerah dan pemberian-Nya.
Kebahagiaan bisa dirasakan oleh siapa saja, baik yang miskin, apalagi yang kaya, yang sakit atau yang sehat, yang berpendidikan tinggi, atau yang hanya sebatas bisa membaca. Karena ia adalah anugerah yang Allah berikan kepada siapa saja yang mempu mensyukuri nikmat-Nya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Bahagia yang sebenarnya tidak terletak dari kesempurnaan yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, atau dirasakan melalui panca indera, tapi sempurnanya hati untuk dapat menerima segala kekurangan ataupun kelebihan yang ada pada dirinya.
Jadi bahagia itu letaknya di hati, ia tidak selalu terikat dengan kebutuhan jasad dan syahwat. Kebahagiaan juga tidak terikat dengan durasi waktu dan tempat tertentu. Di manapun dan kapanpun, seseorang tetap bisa merasakan bahagia walaupun hanya memiliki fasilitas hidup yang sederhana.
Kebahagiaan yang Sempurna
Untuk memaknai kebahagiaan yang sempurna, penulis ingin menganalogikan dengan sebuah pertandingan sepak bola. Sebuah permainan akan menarik, disaksikan oleh jutaan pasang mata, dinikmati oleh banyak penggemar, diliput berbagai media, bahkan pemainnya mendapat banyak penghargaan, apabila dalam permainannya itu ada saling kocek, saling tendang, saling umpan, saling tangkap, bahkan saling sikut, saling takel, saling sliding, dan lebih menarik lagi ada hatrik dan dyfing. Wasit pun harus mengeluarkan teguran, peringatan, kartu kuning, bahkan kartu merah. Begitulah sebuah pertandingan sepak bola yang menarik.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Jika sebuah pertandingan sepak bola datar-datar saja, masing masing pemain mempersilahkan lawannya untuk membuat gol, tidak ada saling serang, saling kocek, saling berebut bola, pastilah pertandingan terasa hambar, membosankan, penonton di stadion akan pulang, yang menonton di tv akan matikan tv-ny, dan selanjutnya tidak ada yang mau menonton lagi. Di Indonesia, hal ini kita kenal dengan istilah sepak bola gajah.
Atau sebuah pertandingan tinju atau One Pride Never Quit. Pertandingan akan seru jika para kontestan, saling pukul, saling hantam, jual beli serangan, saling menjatuhkan, ada kuncian, yang hampir kalah, bisa bertahan dan bangkit, lalu membalas serangan dan seterusnya.
Kalau atlet tinju atau One Pride Never Quit tidak saling menjatuhkan, tidak ada jual beli serangan, pasti yang didapat dari para penonton bukan sorakan dan pujian, tapi lemparan sepatu dan sandal karena kekecewaan dan kekesalan.
Begitulah hakikat kebahagiaan yang sempurna. Tidak didapat dengan kenyamanan dan kemudahan, akan tetapi kebahagiaan akan sempurna dirasakan bila melalui proses perjuangan, berselimut duka dan lara, diiringi derai air mata, berjibaku dengan kekurangan, penderitaan, kesulitan, bahkan harus bergelut dengan rintangan, hambatan, gangguan dan ancaman dari orang lain.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Jadi, kalau diri kita sedang menghadapi banyak permasalahan hidup, di phk dari pekerjaan, bisnis ditipu orang, diancam akan dibunuh, atau punya anak yang bandel, pasangan yang kasar, bahkan bercerai dengan pasangan sekalipun, maka ketahuilah itu semua adalah episode yang harus kita lalui dengan ikhlas, sabar dan tawakkal kepada Allah.
Sesungguhnya, Allah menciptakan kesulitan bukan untuk membuat manusia menderita, tapi supaya manusia itu bisa merasakan nikmatnya solusi dari masalah dan kesulitan. Allah ciptakan lapar supaya manusia bisa merasakan nikmatnya makan. Allah ciptakan haus supaya manusia tahu nikmatnya minum. Allah ciptakan dingin supaya manusia mengerti penting dan nikmatnya berselimut. Allah ciptakan gerah agar manusia menyadari betapa berharganya angin bertiup.
Demikian pula, Allah ilhamkan kepada manusia sifat buruk bukan ingin mereka celaka dan masuk neraka, akan tetapi Allah ciptakan sifat buruk supaya bisa tumbuh sifat-sifat taqwa dalam jiwa manusia. Jika suami/istri kita sedang marah, sewot, ngambek, maka sebenarnya Allah ingin menumbuhkan sifat sabar pada pasangannya. Jika ada rekan kerja yang menipu dan berbohong, Allah ingin menyemai dan menumbuhkan sifat jujur pada diri kita. Jika ada tetangga yang sombong, Allah ingin menyuburkan sifat rendah hati pada diri kita. Semua sifat buruk yang Allah ilhamkan kepada manusia adalah untuk menjadikan manusia itu menumbuhkembangkan potensi taqwa dan sifat-sifat kebaikan pada dirinya.
Itulah bahagia sebenarnya, yang diraih dengan penuh perjuangan, berpeluh keringat, berderai air mata, bahkan dengan proses yang lama, bukan didapat dalam waktu yang singkat, tidak diraih dengan penuh dengan kemewahan dan kenyamanan.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Terakhir, Kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika seorang hamba berada dalam ketaatan atas perintah tuhannya. Ketika manusia taat menjalankan perintah tuhan-Nya, sabar dalam menjalani semua takdirnya, ikhlas dan sabar dalam menerima setiap ujian, cobaan dan musibah yang menimpanya, maka Allah akan ridha kepadanya.
Apalah artinya kesenangan dan kepuasan, jika Allah tidak ridha dengan perbuatan kita. Kesenangan itu hanya menjadi kebahagiaan semu karena Yang Maha Pancipta tidak merestui atas apa yang kita dapat dan rasakan. Meski banyak harta, namun jika itu hasil korupsi, mencuri, merampok, dan menipu pastinya Allah tidak ridha atas apa yang kita punya. Meski punya jabatan tinggi, namun jika didapat dari hasil kecurangan, pasti ia akan sengsara dengan jabatannya.
Maka dari itu, kebahagiaan yang sebenarnya lahir dari ketaatan menjalankan perintah Tuhannya. Ia berbuat, bertindak, mengambil sikap dan keputusan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT. Sesungguhnya setiap perbuatan akan ada pertanggungjawaban dan janji Allah bagi siapa saja yang tulus ikhlas berada dalam ketaatan, Allah akan beri balasan dengan pahala dan tempat mulia di sisi-Nya.
Allah berfirman: “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang bahagia lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku”. (QS. Al-Fajr: 27-30). (A/P2/P1)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
Mi’raj News Agency (MINA)