Memaknai Keberkahan Ramadan (Oleh: Shamsi Ali)

Oleh: , Presiden Nusantara Foundation

Kita mengetahui bahwa Ramadan adalah bulan yang penuh dengan ragam kebaikan dan manfaat. Berbagai kebaikan atau manfaat itu tersimpulkan dalam satu kata “barokah”. Bahwa bulan Ramadan adalah bulan berokah yang dimaknai sebagai “azziyadatu fil khaer” (bertambahnya kebaikan).

Sayangnya seringkali keberkahan-keberkahan atau nilai tambah itu hanya dimaknai secara terbatas pada aspek ritual. Sehingga kepedulian mayoritas Umat tertuju pada ragam ritual, dari puasa itu sendiri, tarawih, hingga ke dzikir dan bacaan Al-Quran dengan tujuan mengumpulkan pahala.

Hitung-hitungan pun terjadi. Saya melakukan sholat malam dengan ikhlas. Insya Allah dosa saya dihapuskan oleh Allah setahun lalu. Atau saya telah menyelesaikan bacaan Al-Quran saya sekian juz dengan jumlah huruf sekian. Pahala dari bacaan saya sudah sekian.

Tendensi hitung-hitungan seperti ini bisa keliru bahkan berakibat pada terbangunnya sikap yang kurang etis kepada Allah Shalallahu alaihi wasallam. Benar ada kata “isytara” (transaksi antara Allah dan hamba) sebagai penggambaran komitmen ketaatan seorang hamba pada Tuhannya. Tapi itu tidak dimaksudkan sebagai kalkulasi-kalkulasi yang harus terjadi antara hamba dan Tuhannya.

Keberkahan Ramadan hendaknya dipahami dengan makna yang lebih luas dan komprehensif. Bahwa Ramadan adalah bulan berbagai ritual yang pahalanya dilipat gandakan itu pasti. Amalan-amalan wajib dilipat gandakan pahalanya. Sunnah-sunnah dinilai dengan penilaian amalan wajib. Umrah misalnya di bulan Ramadan dimaknai seolah amalan haji.

Kalau saja kita paham, bulan Ramadan ini memang dahsyat. Kita kenal bahwa Allah itu melebihkan sebagian waktu dan/atau tempat tertentu di atas waktu dan tempat yang lain. Ada waktu-waktu atau tempat-tempat tertentu yang yang diberikan keutamaan (fadhilah) lebih dari lainnya.

Contoh tempat yang diutamakan misalnya adalah Masjidil Haram dan Multazam. Demikian pula padang Arafah di hari Arafah. Mihrab (tempat Imam memimpin shalat) itu bukan sembarang tempat. Tapi di sana Allah jadikan doa lebih utama dan diutamakan dalam pengabulan. Contoh terdekat adalah doa nabi Zakariyah yang meminta anak di Mihrab dan dikabulkan ketika itu. Padahal logikanya Zakariyah AS tidak mungkin lagi punya anak.

Untuk waktu yang diutamakan ambillah sebagai contoh waktu sahur. Yaitu 2/3 malam hingga menjelang masuk waktu fajar. Keutamaan sahur sesungguhnya bukan saja karena di saat itu orang-orang yang akan berpuasa menikmati makanan yang penuh keberkahan (sahur). Tapi karena waktu sahur itu Allah turun ke langit dunia (terdekat) membuka kesempatan bagi yang berdoa untuk dikabulkan dan bagi yang meminta ampun diampuni.

Allah menegaskan keutamaan waktu itu dalam Al-Quran: “dan mereka yang di waktu sahur beristigfar”.

Karena semua keutamaan (keberkahan) ritual Ramadan itu menjadikan banyak di kalangan Umat ini membatasi diri. Mereka hanya memburu keutamaan-keutamaan (keberkahan atau pahala) ritual Ramadan dan melupakan keutamaan-keutamaan lainnya yang tidak kalah dahsyatnya.

Di antara keberkahan Ramadan adalah bahwa bulan ini adalah bulan “muhasabah”. Yaitu bulan kalkulasi-kalkulasi dalam banyak hal. Seperti yang pernah diingatkan oleh Umar: “lakukanlah kalkulasi pada diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat) kelak”.

Satu di antara hal yang urgen untuk selalu dikalkulasi atau dihitung-hitung adalah kenyataan hidup yang kerap salah kaprah dan salah destinasi. Manusia sering berpikir jika hidup dunianya panjang. Bahkan seringkali merasa hidup dunianya yang nyaman itu akan menjadikannya seolah-olah akan hidup abadi (Al-Lumazah).

Selain salah kaprah juga manusia seringkali salah destinasi dalam hidupnya. Manusia menjadikan dunia ini sebagai destinasi hidup. Akibatnya semua hidupnya diorientasikan untuk memenuhi hajat dunianya. Sementara kehidupan Sesungguhnya (Akhirat dalam istilah Al-Qur’an lahiya al-hayawanu) mereka lalaikan.

Situasi ini digambarkan oleh Surah Ar-Rum: “mereka mengetahui lahiriyah kehidupan dunia tapi mengenai Akhirat mereka lalaikan”.

Keadaan tersebut terjadi karena manusia lengket (attached) dengan sangat dekat dengan dunia ini. Mereka terlalu melebih-lebihkan kehidupan dunianya (bal tu’tsirunal hayatad dunia).

Di sìnilah puasa melatih seseorang untuk melepaskan ikatan atau kungkungan dunianya. Dengan puasa orang beriman belajar meletakkan dunianya pada porsi dan posisi yang sesuai. Mungkin ungkapan yang indah tentang itu adalah: “letakkan dunia ini di tanganmu dan bukan di hatimu”. Atau “milikilah dunia ini tapi jangan dimiliki oleh dunia”.

Dengan puasa seorang Mukmin akan melakukan reorientasi destinasi hidup. Dari material oriented life menjadi “akhirah oriented life”. Insya Allah! (AK/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)