Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memaknai Nikmat Kemerdekaan (Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)

Widi Kusnadi - Selasa, 17 Agustus 2021 - 14:40 WIB

Selasa, 17 Agustus 2021 - 14:40 WIB

6 Views

Hari ini, 17 Agustus 2021 kita memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia yang ke-76 tahun. Tentu sudah banyak suka dan duka dirasakan bangsa Indonesia yang menyepakati Pancasila sebagai dasar negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, bangsa tercinta ini menikmati kemerdekaan hingga hari ini. Itu artinya, dalam proses panjang perjuangan memperoleh kemerdekaan, tak dapat dipungkiri, ada campur tangan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalamnya.

Kemerdekaan ini bukan hadiah, atau pemberian dari bangsa lain. Tetapi kemerdekaan kita dapatkan melalui proses perjuangan pantang menyerah melawan penjajah, kegigihan, dan pengorbanan, dengan kucuran air mata, keringat, darah, bahkan nyawa dari putra-putri bangsa.

Kita sebagai bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat kemerdekaan ini. Karena dengan bersyukur, bangsa ini akan selamat dari azab Allah, sebagaimana dalam Al-Quran, Dia berfirman:

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

مَّا يَفْعَلُ ٱللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا (النساء [٤] : ١٤٧)

Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa [4]: 147)

Cara terbaik mensyukuri nikmat kemerdekaan ini adalah mengisi kemerdekaan sesuai dengan ketentuan Allah dengan kemampuan, keahlian, dan keterampilan masing-masing, menghormati dan menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan. Selanjutnya, syukur juga harus disertai dengan meneruskan amanat cita-cita bangsa, memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan jalan meningkatkan kerja sama antar warga dan menumbuhkan sikap toleran antara sesama masyarakat.

Keanekaragaman bangsa ini adalah anugerah terindah yang Allah titipkan kepada kita, berupa kekayaan alam yang melimpah, sumber daya manusia yang banyak, luas wilayah yang terbentang puluhan ribu kilo meter, selat dan laut dan samudera yang bermil-mil dalamnya. Selain itu, negeri kita juga kaya  dengan bahasa, beragam jenis satwa, hingga masyarakat yang berasal dari berbagai suku, ras dan agama. Itu semua adalah amanah yang harus dirawat, dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya, untuk kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Mempertahankan Kemerdekaan

Setelah proklamasi, perjuangan mempertahankan kemerdekaan masih terus dilakukan rakyat Indonesia. Kedatangan Belanda dengan label baru NICA yang membonceng tentara Sekutu ternyata berusaha ingin menguasai kembali Indonesia.

Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer yang digencarkan Belanda di Pulau Jawa dan Sumatera. Agresi bertujuan menguasai sumber daya alam Indonesia yang berada di Sumatera dan Jawa.

Latar belakang agresi itu adalah kekalahan Belanda dalam berbagai peperangan yang membuat ekonomi negara itu lesu. Belanda pun ingin membangkitkan perekonomian negaranya dengan kembali menguasai kekayaan alam Indonesia. Sejumlah tentara pun dikirim kembali ke Indonesia.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Terdapat dua kali agresi militer yang dilakukan terhadap Indonesia yakni Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product (21 Juli – 5 Agustus 1947) dan Agresi Militer Belanda II atau Operatie Kraai alias Operasi Gagak (19-20 Desember 1948). Tujuan Agresi Militer Belanda II adalah untuk melumpuhkan pusat pemerintahan Indonesia.

Perlawanan rakyat Indonesia terhadap tentara Belanda dan Sekutu terjadi di berbagai tempat. Pertempuran pertama diawali dari Peristiwa 10 November di Surabaya, kemudian Pertempuran Lima Hari di Semarang, Ambarawa, Solo, Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, Pertempuran Puputan Margarana (Bali), hingga Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Tidak hanya perjuangan fisik, jalur diplomasi pun ditempuh untuk mendapatkan kedaulatan. Mulai dari perjanjian Linggarjati (1946), Renville (1947), Perjanjian Roem-Royen (1948), hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Agustus 1949 yang akhirnya Belanda memberikan kedaulatan penuh dan mengakui Indonesia merdeka.

Hari ini, perjuangan melawan penjajah memang telah usai. Namun perjuangan kita belum benar-benar selesai. Ada banyak pekerjaan bagi setiap lapisan masyarakat untuk membangun negara kita menjadi lebih kuat dan makmur.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Cara mempertahankan kemerdekaan hari ini adalah dengan memperkokoh persatuan dan kesatuan agar bangsa ini tidak rapuh oleh provokasi dan infiltrasi asing. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus dilakukan generasi muda agar kita bisa mengalola SDM dan SDA kita sendiri sehingga tidak tergantung kepada bangsa lain. Selain itu, meneladani semangat para pejuang dengan menumbuhkan semangat rela berkorban, demi tegaknya dakwah dan persatuan.

Menghayati Makna Resolusi Jihad

Tiga bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, yakni pekan kedua Oktober 1945, Presiden Soekarno mengirim utusan khusus ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur untuk menemui Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, untuk meminta petunjuk dan arahan guna memecahkan kegundahan hatinya. Pasalnya, Belanda ingin kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara sekutu.

Maka, pada tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) itu menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi bernama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” yang menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan adalah bentuk jihad (perang suci). Mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Dalam tempo singkat, resolusi tersebut tersebar ke seluruh Jawa, Madura, Sumatera dan wilayah-wilayah lain melalui masjid, mushala, siaran radio dan berbagai media lainnya.

Pondok pesantren berubah menjadi markaz perjuangan pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Sebagian besar mereka adalah kelompok santri dan rakyat di berbagai daerah, baik kalangan tua, muda pria dan wanita, semua siap mempertaruhkan harta, dan nyawa mereka untuk kepentingan menegakkan agama, mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya “Api Sejarah 2” mengatakan, Resolusi Jihad telah memantik semangat para santri dan ulama untuk menjegal kembalinya penjajahan di Tanah Air. Hadirnya KH Hasyim Asy’ari, KH Asjhari dan Kiai Toenggoel Woeloeng dari Yogyakarta, KH Abbas dari Pesantren Buntet, Cirebon, dan KH Moestafa Kamil dari Garut turut memancing ulama lain dan para santri merapatkan barisan melawan penjajahan.

Resolusi Jihad 1945 adalah bukti akan komitmen penuh umat Islam, santri, dan kiai (ulama) dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentunya, sebagai generasi penerus, kita tidak hanya sekadar menjadikannya momen nostalgia atau hanya pelajaran sejarah, namun juga sebagai sarana merefleksikan nilai-nilai dan semangat perjuangan dan bertekat meneruskan perjuangan para pendahulu.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Resolusi Jihad bukan hanya semangat merebut kemerdekaan, namun melawan kembalinya segala bentuk ketidakadilan, penjajahan, keserakahan, kedzaliman, dan kemunkaran. Resolusi Jihad adalah bentuk komitmen ingin mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan membulatkan tekat untuk melanjutkan perjuangan.

Takbir dan Pekik Kemerdekaan

Allahu Akbar! Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Merdeka! Itulah pekik takbir Soetomo, atau lebih dikenal dengan panggilan Bung Tomo dalam pidato legendarisnya di Surabaya. Pidato yang selalu dikenang, bahkan setelah wafatnya di Padang Arafah 7 Oktober 1981. Bisa dikatakan, Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaan lantaran pekik kalimat takbir itu.

Bung Tomo tak sembarangan memilih kata “Takbir dan Merdeka” dalam pidatonya. Kata demi kata ia pilih dengan sangat cermat untuk mengobarkan semangat para pejuang kala itu. Dia sadar siapa orang-orang yang ia tuju untuk mau ajak berjuang.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Dalam disertasi William H. Frederick berjudul “In Memoriam: Sutomo” yang diterjemahkan dengan judul “Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979)” menyebutkan, pekik takbir dilakukan setelah melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Takbir digunakan untuk menarik perhatian umat Islam yang ada di Surabaya kala itu, tetapi belum terjaring dalam gerakan perlawanan. Artinya, Bung Tomo, cukup tahu bahwa pejuang yang terjun di lapangan adalah kalangan santri, sebagian besar datang dari luar kota.

Faktanya, pidato menggelora Bung Tomo membuat semangat heroisme para pejuang di lapangan semakin mantap. Sebab, dalam tradisi Islam, penggunaan takbir untuk mempertahankan tanah air sama halnya dengan panggilan suci. Pidato Bung Tomo seakan menjadi pertanda dimulainya sebuah pertempuran suci menegakkan agama, mempertahankan tanah air. Meski bersenjata seadanya, rakyat dengan gagah berani berperang secara terbuka.

Takbir selalu melekat di dalam pidato Bung Tomo itu tidak lepas dari pengaruh Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh para ulama sebulan sebelumnya, 22 Oktober 1945. Bung Tomo juga seorng santri yang dikenal dekat dengan KH Hasyim Asyari. Dia kerap berkunjung ke kediaman Sang Kiyai untuk mendapatkan kekuatan spiritual dan keteguhan imannya saat berjuang. Nasihat dan petuah Sang Kiyai tersebut adalah untuk selalu mengucap takbir di awal pembuka dan penutup orasi. Hal ini bertujuan agar senantiasa mendapatkan perlindungan Allah, terutama saat di medan pertempuran.

Komitmen terhadap Kemerdekaan Palestina

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Pembukaan UUD 1945 secara tegas mengatakan, segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Hal itulah yang menginspirasi Ir. Soekarno untuk tetap konsisten membela Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Meskipun Bung Karno belum pernah menjejakkan kaki di tanah Palestina, akan tetapi jejak dukungannya untuk kemerdekaan Palestina telah terpatri dalam catatan sejarah.

Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” begitu pernyataan Soekarno, pada 1962 silam.

Dukungan pemerintah Indonesia, yang digaungkan Bung Karno, terhadap kemerdekaan Palestina tak lepas dari dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan sejarah, setahun sebelum Indonesia merdeka, yaitu 6 September 1944, mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, memberikan dukungan secara terbuka bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Palestina juga merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Setelah merdeka, M Ali Taher, seorang raja media dan saudagar dari Tepi Barat, Palestina juga membantu mensosialisasikan perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui media-media yang dimilikinya sehingga Indonesia mendapat dukungan dari masyarakat dan para pemimpin negara-negara Arab. Ia juga ikhlas menyumbangkan semua tabungannya demi suksesnya perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Hari ini, Bangsa Indonesia telah menikmati kemerdekaan, sementara rakyat Palestina masih menghadapi penjajahan dan kedzaliman. Tragedi memilukan yang terjadi di Palestina sejak 1947 hingga saat ini merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan.  Tanah-tanah warga Palestina dirampas oleh Zionis Israel. Mereka juga diusir dari kampung halamannya. Tidak sedikit nyawa rakyat Palestina melayang karena mempertahankan hak-hak mereka. Hingga saat ini mereka tidak dapat kembali pulang ke tanah kelahiran mereka.

Sebagai orang Indonesia, pembelaan kita kepada Palestina berlandaskan kepada pembukaan UUD 1945. Sebagai umat Islam, pembelaan terhadap Palestina berdasarkan firman Allah bahwa semua orang beriman adalah saudara (Al-Hujurat [49]: 10). Sementara Rasulullah bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim (aniaya) dan yang dizhalimi.” (H.R. Al-Bukhari). Sebagai sesama manusia, kita bisa melandaskan keberpihakan kita pada Deklarasi Universal HAM pasal 3: “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. Manusia berhak hidup merdeka, tanpa penjajahan.”

Wallahu a’lam bis shawab. (A/P2/P1)

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kolom