Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan waktunya dengan hari Jumat, tanggal 9 bulan suci Ramadhan 1364 H.
Betapa kemerdekaan RI itu dinyatakan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, buan yang mulia dan penuh keberkahan. Karena itu, Ramadhan dan Agustus dapat dimaknai sebagai bulan kemerdekaan, baik dalam pengertian ruhani maupun dalam pengertian fisik.
Bulan Ramadhan dimaknai sebagai bulan kemerdekaan ruhani, jiwa, mental dan spiritual, dari cengkeraman hawa nafsu dan dari godaan syaitan yang terbelenggu.
Baca Juga: Masya-Allah, di Pengungsian, Anak-Anak Gaza Tetap Menghafal Al-Quran
Agustus dimaknai sebagai bulan kemerdekaan warga dan bangsa Indonesia dari genggaman, penindasan, serta penjajahan bangsa asing.
Pilihan hari proklamasi kemerdekaan pun jatuh pada penghulunya atau induknya hari (sayyidul ayyam), yakni Hari Jumat dan di bulan Ramadhan. Pilihan ini tentu bukan kebetulan, semua atas kehendak Allah, qadarullah.
Bung Karno sebelum memproklamasikan kemerdekaan RI, pun terlebih dahulu meminta saran kepada para ulama. Di antaranya kepada Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dari Nahdatul Ulama dan Kyai Haji Abdoel Moekti dari Muhammadiyah.
KH Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama besar, pendiri organisasi Nahdhatul Ulama, dan kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI.
Baca Juga: Satu Tahun Genosida di Gaza, Rakyat Palestina tidak Bersama Saudaranya
Sedangkan KH Abdoel Moekti adalah seorang Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah Madiun. Dia juga tokoh dari Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta, dan pernah memimpin Laskar Sabilillah saat menghadapi pasukan Inggris di Surabaya.
Teks Proklamasi itu sendiri, didiktekan oleh Bung Hatta dan ditulis Bung Karno pukul 03.00 pada waktu sahur Ramadhan.
Sebelum itu, diplomasi kemerdekaan RI ke luar negeri sudah dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari, dengan melakukan korespondensi ke dunia Arab melalui Syaikh Al-Amin Al-Husaini, yang pernah menjadi Mufti Besar Baitul Maqdis Yerusalem, Palestina (1921-1937).
Syaikh Al-Husaini saat itu menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia. Syaikh Al-Husaini ketika sedang berada di Jerman, menyampaikan tentang desakan kemerdekaan itu kepada Duta Besar Nippon (Jepang) di Jerman, Oshima.
Baca Juga: Parfum Mawar Untuk Masjid Al-Aqsa
Al-Husaini saat itu dikenal dekat dengan Jerman, karena mengikuti aliansi dengan Blok Poros (Jerman dan Italia) dalam Perang Dunia II. Ia bergabung dalam misi anti Yahudi-Zionis.
Begitulah, Syaikh Al Husaini menyuarakan dukungan kemerdekaan Indonesia jauh sebelum proklamasi kemerdekaan itu dikumandangkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945.
Ia menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia melalui radio berbahasa Arab di Jerman, pada 6 September 1944, setahun sebelum proklamasi.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Syaikh Muhammad Amin Al Husaini memberikan selamat, dan mendorong negara-negara kawasan Arab dan dunia Islam untuk ikut memberikan selamat dan pengakuan.
Baca Juga: Keseharian Nabi Muhammad SAW yang Relevan untuk Hidup Modern
Pernyataannya menjadikan Palestina sebagai salah satu negara pertama, walaupun belum diakui sebagai negara oleh internasional, yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto.
Termasuk dalam barisan diplomasi awal kemerdekaan Indonesia adalah Abdurrahman Baswedan (A.R. Baswedan), yang kala itu menjabat sebagai Wakil Menteri Muda Penerangan, Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante, yang juga seorang wartawan.
A.R. Baswedan, yang merupakan kakek dari Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DK Jakarta 2017-2022), adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari pemerintah Mesir.
Begitulah karunia Allah berupa kemerdekaan pada bulan Ramadhan, yang kemudian dipatrikan di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Baca Juga: Satu Tahun Badai Al-Aqsa, Membuka Mata Dunia
Para pendahulu kita saat itu merekatkan semua perbedaan yang ada untuk meraih kemerdekaan, dan bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hingga kini para ulama, kyai, habaib, asatidz, tokoh dan umat Islam selalu menjaga persatuan dan kesatuan itu, serta mengisi pembangunan berkelanjutan dengan nilai-nilai takwa.
Begitulah, kewajiban puasa Ramadhan memiliki kaitan yang erat dengan takwa. Puasa Ramadhan yang dilaksanakan dengan baik dan benar, akan menghasilkan derajat takwa di sisi Allah Ta’ala. (QS Al-Baqarah : 183). Dan itu adalah modal utama pembangunan bangsa, dengan adanya sumber daya manusia yang bertakwa kepada Allah.
Dengan takwa itulah harta menjadi berkah, ilmu menjadi manfaat, hidup menjadi bermakna, berbobot dan berkualitas, dan diridhai Allah.
Baca Juga: Satu Tahun Taufanul Aqsa
Dengan takwa niscaya Allah akan mengadakan jalan ke luar, dan dengan takwa Allah akan memberikan rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Semoga pesan yang terkandung di dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada hari Jumat bulan suci Ramadhan, dapat mengantarkan kita menjadi manusia-manusia prestatif yang bertakwa kepada Allah. Manusia-manusia pembangunan yang terus mengadakan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih baik lagi, dalam ridha Allah. Aamiin. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)