Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Membangun Kesuksesan Kolektif-2 (Oleh: Shamsi Ali, New York)

Septia Eka Putri - Selasa, 5 Desember 2017 - 09:03 WIB

Selasa, 5 Desember 2017 - 09:03 WIB

123 Views ㅤ

(Foto: Istimewa)

 

(Foto: Istimewa)

Oleh: Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation

Pada seri awal disebutkan bahwa Islam itu semuanya mengarah kepada kesuksesan paripurna. Yaitu kesuksesan dalam kehidupan material sekaligus spiritual, dan juga intelektual. Kesuksesan dalam hidup duniawi tapi berorientasi ukhrawi. Dan juga kesuksesan yang bersifat individu, namun mengarah kepada pembangunan kesuksesan jama’i (kolektif).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa saja pilar-pilar yang diperlukan sehingga kesuksesan jama’i terbangun? Tentu jawabannya tidak sesederhana membalik telapak tangan. Hal pertama yang rumit adalah karena kesuksesan jama’i (kolektif) melibatkan banyak orang, dengan pemikiran, ide, bahkan kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi jika kepentingan itu dikuasai oleh tendensi egoistik dari masing-masing pelaku, akan semakin pelik untuk membangun kebersamaan untuk membangun kesuksesan kolektif itu.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Kata kuncinya memang ada pada kebersamaan atau persatuan. Dalam bahasa Inggris kebersamaan (togetherness) juga disebut “unity” (kesatuan) dan bukan “uniformity” (penyeragaman). Dalam bahasa agama Islam juga justeru lebih dikenal dengan “wihdah” (kesatuan) dan bukan “menyamakan”. Tapi mungkin bahasa yang lebih dikenal adalah membangun “shoff” (barisan) atau juga membangun jamaah (kolektifitas).

Semua kata yang menggambarkan kebersamaan maupun kesatuan di atas tidak sama sekali mengingkari atau menghilangkan kemungkinan adanya keragaman di dalamnya. Makanya wajar saja jika di dalam Islam perintahnya bukan menyamakan atau menyeragamkan, tapi mempersatukan (tauhiid). Bahkan ketika Allah SWT menggambarkan kedekatan hubungan hati antar anggota umat ini Allah SWT tidak menyebutkan “wahhada” (menyatukan), apalagi menyamakan. Tapi justeru yang dipakai adalah “allafa baena quluubikum” (menjinakkan di antara hati-hati kalian).

Semua di atas menggambarkan bahwa kebersamaan, persatuan dan kesatuan sangat bisa terwujud dengan segala keragaman dan perbedaan yang ada. Motto “Bhinneka Tunggal Ika” (bersatu dalam keragaman) itu adalah esensi keimanan dalam Islam. Karena Islam menggariskan bahwa dalam iman sekalipun Allah SWT tidak pernah menjadikan semua manusia sama. Akan ada perbedaan-perbedaan itu hingga akhir zaman.

Lalu apa saja pilar-pilar dari terbangunnya kesuksesan kolektif itu? Berikut ada beberapa hal yang menjadi pilarnya.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Satu, Visi Benar dan Sama

Dalam hidup orang beriman, sejatinya memang hanya ada satu visi benar. Segala sesuatu yang lain dari itu adalah visi yang salah. Visi itulah yang akan mewarnai prilaku hidupnya. Benar tidaknya prilaku manusia ditentukan kemudian oleh benar salahnya visi yang dibangun.

Inilah yang disimpulkan dalam hadits nabi: “semua amal itu berdasarkan niatnya”.

Visi itu dalam bahasa agama adalah niat. Maka ketika berbicara tentang visi hidup seorang Mukmin, sejatinya adalah “lillahi ta’ala”. Yaitu hidup dengan pengabdian semata kepada Allah (ibadah lillah). Segala sesuatu yang terjadi di antaranya adalah proses ibadah. Makan, minum, usaha, kerja, pejabat, guru, bahkan tidur dan hubungan suami dan isteri bagi seorang Mukmin bervisikan “lillahi ta’ala”.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Maka ketika kita berbicara tentang kolektifitas, tidak ada pilar yang lebih fundamental dan lebih penting dari visi benar bersama. Yaitu semuanya karena Allah SWT.

Jika kita tarik dalam dunia nyata, dan lebih khusus lagi dalam kehidupan komunal umat Islam, maka sejatinya tidak akan ada dua visi di kalangan umat ini. Semua anggota umat ini, atau semua kelompok anggota umat ini pasti memiliki visi yang sama. Yaitu limardhotillah (mencari ridho Allah) atau lillah ta’ala (karena Allah semata). Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, Jamaah Tablig, Gerakan Tarbiyah, bahkan Salafi, semuanya bermuara ke satu visi: lillahi ta’ala.

Dilemanya memang seringkali visi ini dicampur adukkan dengan proses atau jembatan. Saudara-saudara seiman yang berjuang melalui Muhammadiyah, seringkali merasa bahwa visi perjuangan adalah Muhammadiyah. Demikian juga NU, dan kendaraan-kendaraan perjuangan lainnya. Padahal semua asosiasi itu tidak lain hanyalah proses dan kendaraan.

Ibaratnya mudik di hari raya. Semua bertujuan yang sama, kembali ke kampung halaman menemui keluarga. Tentu kendaraan yang dipakai berbeda-beda berdasarkan sikon masing-masing. Ada yang baik pesawat karena memang punya duit dan kampungnya dekat dengan airport. Ada pula yang naik kapal laut karena lebih murah dan kampungnya memang dekat dengan pelabuhan. Ada pula yang hanya naik bis, kereta api, bahkan kendaraan pribadi. Tapi secara tujuan (niat) semuanya melakukan aktifitas yang sama, yaitu mudik lebaran.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Begitulah kehidupan umat dan bangsa ini. Semuanya bermuara ke satu visi: lillah ta’ala secara agama, dan terwujudnya baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur secara negara. Yaitu terwujudnya bangsa yang makmur, adil di bawah naungan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan visi ini semua elemen umat dengan segala keragaman yang ada, baik secara pemahaman fiqhi, pemikiran keagamaan, maupun dalam harakah dan pergerakan akan mampu membangun visi yang tidak dibatasi oleh sempitnya kendaraan masing-masing. Tapi mampu melihat bahwa di balik dinding-dinding kelompok itu, baik secara agama, politik, ras dan suku, ada visi yang sama ada tujuan yang sama (visi yang sama). Yaitu membangun bangsa dan negara secara bersama-sama berdasarkan visi “lillahi” demi terwujudnya baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.

Jika umat dan bangsa ini masih terculik (hijacked) oleh visi yang sempit, karena kepentingan pribadi, kelompok atau partai, maka akan sulit terbangun kebersamaan dan kesuksesan kolektif itu.

Oleh karenanya jihad terbesar bagi umat dan bangsa masa kini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh mewujudkan visi bersama itu; menggapai ridho Ilahi dalam perjuangan membangun bangsa dan negara yang adil, makmur dan rabbani (dinaungi nilai-nilai Ketuhanan). Tentu dalam sebuah kesadaran akan keragaman jalan yang dilalui. Semoga!

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Setelah terbangun visi yang benar, lalu apa pilar selanjutnya untuk terwujudnya kesuksesan kolektif? (Bersambung)!

(R07/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Ramadhan
Ramadhan 1445 H
Kolom
Kolom
Kolom