Oleh Widi Kusnadi, wartawan MINA
Membangun Negeri Indonesia tercinta memang sudah menjadi cita-cita sekaligus kewajiban setiap warga negara, tidak terkecuali generasi muda yang menjadi ujung tombak pembangunan. Setiap kita pasti menginginkan negeri ini menjadi negeri yang adil, makmur, aman dan sejahtera rakyatnya. Dalam istilah agama Islam disebut Baldatun Toyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang baik rakyatnya dan diridhai Allah Subhanahu wa taala).
Namun, ada segolongan dari kaum milenial (sebutan anak zaman sekarang) yang mewajibkan masuk dalam kancah politik (maksudnya politik praktis). Alasannya, anak muda harus ikut ambil bagian dalam kancah penentuan kebijakan publik seperti; keputusan tentang kepada siapa subsidi mengalir, kenaikan harga transportasi, dan segenap pengambilan kebijakan publik lainnya yang itu hanya bisa dilakukan bila terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi anggota DPR/DPRD atau mendapatkan jabatan publik tententu.
Sebelumnya, perlu ditegaskan bahwa penulis tidak anti terhadap politik dan kekuasaan. Namun, yang ingin diuraikan penulis adalah tentang haruskah kaum milenial masuk dalam kancah politik praktis untuk dapat membangun bangsa yang besar ini? Apakah tidak ada jalan lain (selain politik praktis) yang bisa dilakukan dalam membangun Indonesia? Bagaimana dampaknya jika kaum milenial hanyut dalam uforia politik praktis? Berikut inilah ulasannya.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Pendidikan
Pertama, penulis ingin mengutip pernyataan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam sebuah simposium yang menegaskan, hanya ilmu yang dapat memajukan suatu negeri. “Suatu negeri kemajuannya sangat tergantung kepada nilai tambah. Nilai tambah sangat tergantung kepada teknologi dan teknologi tergantung pada pendidikan dan riset,” ucapnya.
Negeri ini akan maju, makmur, sejahtera jika memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM berkualitas, hanya bisa terwujud melalui pendidikan. Pendidikan dan pembangunan merupakan sebuah proses yang saling bersinergi. Proses pendidikan menempatkan manusia sebagai “starting point”, karena pendidikan mempunyai tugas untuk menghasilkan SDM yang berkualitas untuk pembangunan.
Mengutip data The Spectator Index, Indonesia memiliki jumlah penduduk 265 juta jiwa (2018) dan menduduki peringkat ke-4 negara dengan penduduk terbesar di dunia. Negeri ini juga memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah di darat dan laut. Kekayaan alam itu akan menjadi sumber kemakmuran bagi masyarakat jika dikelola dengan benar dan adil. Karena itu, yang utama diperlukan bangsa ini adalah bagaimana melahirkan SDM cerdas (yang mampu mengelola sumber daya alam sebaik-baiknya) lagi shaleh (yang mampu berbuat adil bagi seluruh rakyat Indonesia).
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati, Prof. Rohmin Dahuri dalam berbagai kesempatan mengatakan, yang harus dilakukan oleh bangsa sebesar Indonesia adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan (Allah Subhanahu wa taala). Dengan demikian, Allah akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Namun, jika penduduk suatu negeri ingkar, maka azab Allah-lah yang akan terjadi di negeri itu.
Jadi, untuk mencetak SDM yang handal di bidangnya lagi shaleh, hanya bisa diperoleh dari keimanan dan ketaqwaan itu. Jika itu terjadi, Indonesia akan menjadi negeri adil makmur dan sejahtera. Sebaliknya, bila anak negeri dalam usahanya hanya menitikberatkan kepada bagaimana mendapatkan kekuasaan (politik praktis) saja, niscaya harapan untuk menjadi negeri yang Baldatun toyibatun akan jauh dari realita.
Inovasi dan Berprestasi dalam Olahraga, Kesenian
Dalam hal penemuan baru (inovasi), sebenarnya tidak sedikit anak bangsa yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Sebagai contoh, sebutlah nama Dr. Yogi Ahmad Erlangga. Ia adalah salah seorang ilmuwan jenius yang dimiliki Indonesia. Ia merupakan pemecah rumus persamaan Helmholtz yang terkenal sangat rumit. Bahkan, beberapa ilmuwan di dunia pun kewalahan menghadapi persamaan ini.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Dr. Yogi berhasil memecahkan rumus persamaan Helmholtz dalam disertasi S3-nya dalam jurusan Matematika Terapan, di Deft Univeristy of Techology (DUT). Sebelumnya, ia menimba ilmu di jurusan Teknik Penerbangan ITB dan mengambil S2 di DUT untuk jurusan Matematika Terapan.
Dengan berhasil dipecahkannya persamaan Hemzholtz, banyak pihak yang merasa gembira. Karena rumus tersebut dapat dipakai di berbagai bidang seperti dalam industri radar, penerbangan, kapal selam, bahkan dalam teknologi Blu-Ray.
Dalam bidang olahraga, siapa yang tidak mengenal pebulu tangkis Tontowi Yahya dan Liliana Natsir. Owi, sapaan akrab Tontowi yang merupakan alumni pesantren Ma’arif NU Selandaka, Sumpiuh, Banyumas dan Al-Falah, Ploso, Kediri itu berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di berbagai ajang kejuaraan dunia bulu tangkis.
Dalam bidang kesenian, siswa Indonesia juga tidak kalah berprestasi. Di ajang International High Schools Arts Festival tahun lalu delegasi Indonesia terdiri atas Mujahid Afif dari SMAN Modal Bangsa Aceh sebagai peserta dan Robin Kristian dari Direktorat Pembinaan SMA sebagai pendamping meraih medali emas pada kompetisi ini.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Menjadi Relawan
Selain pendidikan, inovasi dan olahraga serta kesenian, masih banyak isu sosial yang membutuhkan perhatian serius demi Indonesia lebih baik. Persoalan-persoalan sosial seperti; kemiskinan, penanganan bencana, penyediaan air bersih bagi daerah-daerah tertentu dan lainnya merupakan hal serius yang perlu segera diatasi dan tentu saja memerlukan keterlibatan tak terbatas dari generasi milenial.
Alhamdulillah, saat ini mulai lahir di tengah-tengah masyarakat organisasi kemanusiaan yang dibentuk untuk membantu kaum kurang mampu dan daerah-daerah bencana di Indonesia. Di antara lembaga-lembaga kemanusiaan itu antara lain; seperti MER-C yang konsen dengan penyediaan bantuan medis. Ukhuwah Al-Fatah Rescue (UAR) yang selalu terjun setiap kali ada bencana, baik di dalam maupun luar negeri. Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, dan lainnya yang memiliki visi membangun negeri, mambantu masyarakat yang memerlukan pertolongan segera.
Pemberdayaan UMKM
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga memerlukan perhatian serius, khususnya dari kaum milenial. Para ekonom menilai, UMKM sebagai tumpuan perekonomian sebuah negara. Tanpa adanya usaha kecil, roda perekonomian akan macet dan banyak memberikan dampak pada usaha skala besar. Selain itu, sifat dari usaha kecil yang mudah dan gesit membuat banyak ruang bagi pencari lowongan kerja. Itu sebabnya, perhatian pada usaha kecil menengah semakin besar dilakukan untuk menjaga kondisi ekonomi Indonesia.
Peran UMKM juga dikatakan mendominasi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia yang dikutip dari CNN Indonesia, disebutkan, kontribusi UMKM meningkat cukup tinggi dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen.
Dari segi tenaga kerja, serapan tenaga kerja sektor usaha kecil juga meningkat dari 96,99 persen menjadi 97,22 persen. Hal ini membuktikan, sektor UMKM menjadi tumpuan utama bagi ekonomi Indonesia. Tanpa adanya UMKM, tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat kecil tidak akan meningkat. Sehingga secara strategis UMKM memiliki peran dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran.
Bagaimana Menyikapi Kekuasaan
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Plato dalam bukunya Republica mengatakan manusia adalah makhluk zoon politicon. Manusia secara individual merupakan elemen terkecil dari sebuah negara.
Kaum milenial memang tidak seharusnya buta dengan politik. Pun juga tidak boleh alergi dengan kekuasaan. Prinsipnya kekuasaan bukan sesuatu yang diperebutkan, tetapi itu adalah amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat.
Sebagai calon-calon pemimpin masa depan, kaum milenial harus memiliki mental dan ilmu untuk menjadi seorang pemimpin. Sehingga suatu saat nanti jika mendapat amanah memimpin suatu lembaga, atau negara sekalipun ia sudah siap.
Jadi, untuk kaum milenial, bersiaplah menjadi pemimpin masa depan. Boleh meraih kekuasaan selama ia diraih dengan elegan; baik dan jujur. Bukan sebaliknya, kekuasaan itu diraih dengan jalan culas dan curang.(A/P2/RS3)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu