SEKOLAH bukan sekadar tempat belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ia adalah taman kehidupan, di mana setiap benih kecil bernama anak didik disirami nilai, akhlak, dan pengetahuan. Bila sekolah hanya menghadirkan hafalan, maka ia akan kering. Namun bila sekolah menumbuhkan rasa cinta pada ilmu, ia akan menjadi mata air yang tak pernah habis mengalirkan kebijaksanaan.
Cinta ilmu bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, melainkan perlu ditumbuhkan dengan kasih sayang, keteladanan, dan suasana belajar yang menyenangkan. Guru tidak cukup hanya mengajarkan rumus dan teori, tetapi harus menyalakan api penasaran, membangkitkan rasa ingin tahu, serta membuka cakrawala berpikir murid-muridnya.
Sekolah yang menumbuhkan cinta ilmu tidak menilai anak hanya dari angka di raport. Ia memahami bahwa setiap anak unik, dengan bakat dan potensi berbeda. Ada yang cerdas di bidang sains, ada yang piawai dalam seni, ada pula yang berkilau dalam kepemimpinan. Semua berharga, semua bernilai, dan semua berhak tumbuh dengan penuh penghargaan.
Di sekolah seperti ini, guru adalah sahabat sekaligus teladan. Mereka hadir bukan sebagai penguasa kelas, melainkan sebagai pemandu yang mengajak murid berjalan bersama. Senyum seorang guru, perhatian tulusnya, dan doa yang ia panjatkan untuk muridnya seringkali menjadi energi dahsyat yang menumbuhkan cinta murid kepada ilmu.
Baca Juga: Pendidikan Islam di Era Digital, Menjawab Tantangan Teknologi dalam Keluarga Muslim
Sekolah yang sehat tidak menumbuhkan ketakutan, melainkan keberanian. Anak-anak tidak takut salah, sebab mereka tahu kesalahan adalah bagian dari belajar. Di ruang kelas yang hangat, kegagalan bukanlah akhir, tetapi batu pijakan menuju keberhasilan. Inilah yang menjadikan ilmu terasa manis, bukan beban.
Ilmu yang dicintai adalah ilmu yang terasa dekat dengan kehidupan. Matematika tidak lagi sekadar angka, tetapi cara berpikir logis dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Sains bukan lagi sekadar hafalan rumus, melainkan jendela untuk memahami keindahan ciptaan Allah di alam semesta. Bahasa bukan hanya rangkaian huruf, tetapi pintu untuk menyampaikan kebaikan.
Sekolah yang menumbuhkan cinta ilmu juga menekankan akhlak. Sebab ilmu tanpa akhlak akan melahirkan kesombongan, sementara ilmu yang berbuah akhlak melahirkan keberkahan. Ketika anak belajar dengan niat ibadah, maka setiap pengetahuan yang ia serap akan menjadi cahaya yang membimbing hidupnya.
Bayangkan sebuah sekolah yang halaman depannya penuh keceriaan, di mana anak-anak berlari sambil tertawa, tetapi tetap saling menghargai. Bayangkan ruang kelas yang dindingnya dipenuhi karya murid, bukan coretan kemarahan. Bayangkan guru yang membuka pelajaran dengan doa dan menutupnya dengan senyum. Di sanalah ilmu akan tumbuh dengan penuh cinta.
Baca Juga: Pemuda Sebagai Tolak Ukur kehidupan Berjamaah dan Pembebasan Al-Aqsa
Sekolah seperti ini harus membangun budaya membaca. Sebab buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah cara untuk membuka pintu-pintu pengetahuan. Bila anak-anak terbiasa membaca dengan rasa bahagia, maka mereka akan mencintai ilmu sepanjang hayatnya.
Cinta ilmu juga tumbuh dari lingkungan yang menghargai pertanyaan. Ketika murid berani bertanya, itu tanda ia sedang berpikir. Guru yang baik tidak mematikan pertanyaan dengan ejekan, melainkan merangkul rasa ingin tahu itu dengan jawaban yang bijak atau ajakan untuk mencari bersama.
Sekolah yang ideal tidak hanya melatih kecerdasan otak, tetapi juga kecerdasan hati. Ada kegiatan ibadah, ada latihan berbagi, ada program peduli sesama. Dengan cara ini, ilmu tidak terlepas dari nilai kemanusiaan, dan anak-anak belajar bahwa menjadi pintar saja tidak cukup, mereka harus menjadi manusia yang bermanfaat.
Membangun sekolah yang menumbuhkan cinta ilmu bukan pekerjaan sehari dua hari. Ia membutuhkan visi yang jelas, kerja sama semua pihak—guru, orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah. Hanya dengan sinergi, sekolah dapat benar-benar menjadi taman yang subur bagi generasi penerus bangsa.
Baca Juga: Diamond Generation di Era Digitalisasi
Jika sekolah hanya melahirkan anak-anak yang pandai secara kognitif tapi kehilangan rasa ingin tahu, maka ilmu hanya berhenti di buku. Namun jika sekolah berhasil melahirkan anak-anak yang mencintai ilmu, maka mereka akan terus belajar meski sudah lulus. Mereka akan tumbuh menjadi pembelajar seumur hidup, yang haus pengetahuan dan selalu merendahkan hati di hadapan kebenaran.
Pada akhirnya, membangun sekolah yang menumbuhkan cinta ilmu adalah membangun peradaban. Karena dari ruang-ruang kelas yang penuh cinta itulah akan lahir para pemimpin, ilmuwan, guru, dokter, seniman, dan ulama yang membawa cahaya bagi dunia. Maka setiap guru, setiap orang tua, setiap kita, sejatinya sedang menanam benih masa depan ketika menumbuhkan cinta ilmu dalam diri anak-anak.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Angka Buta Aksara di Indonesia Turun Jadi 0,92 Persen