Khader Adnan (45 th) adalah seorang Palestina yang harus meregang nyawa di penjara Israel setelah beberapa lama melakukan aksi mogok makan akibat perlakuan yang tidak manusiawi dari para petugas penjara.
Tidak hanya Adnan, Fatima Shaheen (33 th) menjadi wanita pertama yang menemui syahidnya di dalam jeruji besi Zionis Israel. Shaheen adalah seorang wanita tangguh yang rela mempertaruhkan jiwanya demi perjuangan rakyat Palestina. Cita-citanya mulia, ingin menghentikan kekejaman Zionis Israel terhadap rakyat Palestina dan mengabarkan kepada dunia tentang perjuangan rakyatnya melawan penjajahan dan aphartheid Zionis di negerinya.
Menurut data Kementerian Tahanan Palestina/Ministry of Prisoners’ Affairs (MPA), setidaknya sudah ada 189 tahanan Palestina yang meninggal di dalam penjara Israel sejak 1967.
Pasukan Zionis Israel menahan 34 tahanan wanita Palestina, dari sekitar 4.900 tahanan, dan di antaranya ada 1.083 tahanan administratif (dipenjara tanpa pengadilan), termasuk di antaranya 7 anak-anak, 2 keluarga dan 15 wartawan.
Baca Juga: Abu Ubaidah Serukan Perlawanan Lebih Intensif di Tepi Barat
Sementara jumlah narapidana yang sakit mencapai 700 orang. Mereka menderita penyakit dengan berbagai kondisi, termasuk 24 narapidana dengan kanker dan tumor dengan kondisi yang berbeda-beda.
Penyebab terbesar meninggalnya para tahanan adalah karena penyiksaan yang dilakukan rezim Zionis, di penjara yang sama sekali tidak layak untuk manusia dan pengabaian atas layanan kesehatan untuk para tahanan.
Aksi mogok makan menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh para tahanan untuk memprotes kebiadaban Zionis Israel. Mereka rela berbulan-bulan melakukannya. Di antara mereka banyak yang menemui sayhidnya di penjara.
Kondisi Penjara
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Menurut putusan Mahkamah Agung Israel di tahun 2017, setiap tahanan harus memiliki ruang minimal 4,5 meter persegi, termasuk kamar mandi dan toilet. Putusan itu juga menyebut, tahanan administratif Palestina harus dibebaskan setiap tahunnya untuk mengurangi kepadatan penjara.
Namun undang-undang tersebut dirubah oleh Menteri Israel, Itamar Ben-Gvir sejak 2023 ini. Ben-Gvir melakukan pressing ketat kepada para tahanan dengan mempersempit ruangan tahanan hingga mereka tidak mendapatkan akses air yang layak, toilet, tempat tidur dan layanan kesehatan.
Selain itu, Ben Gvir juga merubah peraturan yang menghapus kemungkinan para tahanan bisa bebas kurang dari setahun, meskipun mereka ditangkap dan ditahan tanpa tuduhan yang jelas dan tidak ada peradilan untuk mereka.
Kebijakan Ben-Gvir yang kemudian mendapatkan reaksi keras dari berbagai lembaga kemanusiaan adalah seruannya untuk membunuh saja tahanan Palestina jika merepotkan, serta tidak boleh menyerahkan jasad tahanan yang meninggal tersebut kepada keluarganya.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Penderitaan paling menonjol yang dirasakan para tahanan adalah tidak leluasa bergerak di dalam penjara, ventilasinya sangat buruk karena tidak ada jendela di dalamnya, dan satu ruangan hanya berisi satu tempat tidur, padahal dihuni sedikitnya lima orang.
Seorang fotografer bernama Tomer Iffrah berkesempatan dan memperoleh akses untuk masuk ke dalam penjara wanita Nerve Tirza, Ramle. Israel.
Iffrah juga diberi kesempatan berbicara dengan beberapa narapidana dan akhirnya ia bisa memotret dan menggambarkan banyak kehidupan di dalam penjara tersebut.
Selama tiga bulan, ia menghabiskan satu hari dalam sepekan di dalam penjara tersebut dan mendapatkan banyak informasi dan wawasan mengenai kisah hidup para narapidana wanita Palestina.
Baca Juga: Tentara Israel Mundur dari Kota Lebanon Selatan
Foto-foto Ifrah kemudian beredar luas, menunjukkan sisi gelap kehidupan di penjara Israel.
Para tahanan yang berdesakan di ruangan kecil dan berbagi tempat tidur dengan para tahanan lain.
Seorang tahanan wanita Palestina bernama Rasmiah Odeh menceritakan, sebanyak 150 tahanan berbagi sel dan beberapa dari mereka membawa anak-anaknya.
Menurut Odeh, mereka yang tinggal di sana telah kehilangan kebebasan berekspersi, tidak bisa menuliskan perasaan mereka, juga tidak memiliki kebebasan untuk beribadah.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Di antara para wanita yang dipenjara di Nerve Tirza berasal dari berbagai latar belakang sosial, agama dan budaya. Beberapa dari mereka berasal dari Rusia, Etiopia dan Amerika selatan.
Hampir semua tahanan Palestina adalah mereka yang ditangkap tanpa pengadilan, tidak memiliki hak untuk menghadirkan pengacara, bahkan keluarganya tidak diizinkan untuk menjenguk.
Para tahanan berasal dari berbagai wilayah di Palestina yang terjajah yang dituduh melakukan aksi perlawanan terhadap rezim Zionis. Sementara alasan mereka melawan hanyalah ingin mempertahankan hak-hak mereka yang dirampas oleh pasukan Israel.
Samir Subaih, perempuan yang pernah melahirkan di penjara Israel, juga mengatakan dalam sebuah webinar, penderitaan tahanan di penjara pendudukan sangat dahsyat dan itu masih berlangsung sampai sekarang.
Baca Juga: PBB Adopsi Resolusi Dukung UNRWA dan Gencatan Senjata di Gaza
“Mereka hidup di penjara dengan penuh penderitaan yang amat sangat, kesehatan mereka tidak terawat. Kondisi tahanan sangat menderita siang malam, karena ditempatkan di ruangan yang sangat sempit dan tidak layak dihuni manusia,” paparnya.
Samir Subaih menegaskan bahwa gerakan untuk menekan Zionis Israel harus dilakukan agar melepaskan para tahanan Palestina karena mereka sama sekali tidak bersalah. Selain itu, agar masyarakat dunia juga terus mendukung dan menyuarakan pembebasan para tahanan.
Apa yang bisa kita lakukan?
Maemuna Center sebagai sebuah lembaga kemanusian yang khusus membela kaum Perempuan dan anak-anak Palestina pada 2022 lalu menyelenggarakan konferensi Perempuan Internasional untuk Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina (IWCLA).
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Cut Meutia yang terdiri dari 8 point, diantaranya;
- Menyerukan persatuan dan kesatuan pergerakan seluruh faksi di Palestina sebagai sumber kekuatan perlawanan terhadap aksi-aksi brutal Zionis Israel kepada perempuan dan anakanak Palestina.
- Menginisiasi pembentukan aliansi organisasi non pemerintah dalam skala nasional, regional dan internasional untuk pembelaan terhadap perempuan dan anak-anak Palestina.
- Menyerukan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Parlemen Dunia untuk menolak normalisasi hubungan dengan Zionis Israel.
- Mengimbau Generasi milenial untuk meningkatkan kepedulian terhadap permasalahan Palestina, serta mengoptimalkan potensi dan kemajuan teknologi informasi untuk menentang segala jenis propaganda Zionis Israel sebagai bentuk dukungan perjuangan pembebasan Al Agsa dan Palestina.
- Mengajak seluruh perempuan untuk memberikan dukungan secara konsisten terhadap rakyat Palestina terutama pada kaum perempuan Palestina.
- Mengutuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Zionis Israel terhadap para tahanan perempuan dan anak-anak Palestina serta para Murabithah.
- Mengajak seluruh perempuan muslim untuk menanamkan pendidikan Al Our’an dan Al Hadits serta sejarah Palestina kepada anak-anak sejak dini sebagai dasar kecintaan terhadap Masjid Al Agsa dan Palestina.
- Menyeru advokat internasional untuk ikut serta membela tahanan perempuan dan anak anak Palestina dengan memperjuangkan hak-hak mereka yang dilanggar oleh zionis
Israel selama di dalam penjara.
Penulis mengajak seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia dan segenap aktifis kemanusiaan bersama-sama bergerak berjamaah mewujudkan poin-poin Deklarasi Cut Meutia tersebut sehingga persoalan kemanusiaan di Palestina segera terselesaikan dan Palestina mendapatkan kemerdekaan dan kedamaian.
sumber: Maemuna Center Indonesia
Wallahu a’lam bis shawab.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
(A/Of/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)