DI TENGAH derasnya arus informasi, deras pula derasnya tantangan moral yang harus dihadapi keluarga muslim. Kita hidup di zaman ketika kebenaran kerap diputarbalikkan, kesalahan justru diagungkan, dan batas-batas moral semakin kabur. Inilah yang sering disebut sebagai “kiamat moral” — sebuah situasi di mana nilai kebaikan diuji dengan derasnya gelombang keburukan. Pertanyaannya, mampukah kita membesarkan anak saleh di tengah kondisi seperti ini?
Membesarkan anak saleh bukan hanya tentang memberi mereka makan, pendidikan, atau fasilitas hidup yang memadai. Lebih dari itu, ia adalah upaya menanamkan iman, akhlak, dan rasa tanggung jawab sebagai hamba Allah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari-Muslim). Artinya, peran orang tua sangat menentukan warna keimanan dan moral anak.
Langkah pertama yang paling penting adalah menanamkan tauhid sejak dini. Anak perlu mengenal siapa Rabb-nya, apa tujuan hidupnya, dan untuk apa ia diciptakan. Dengan akidah yang kokoh, anak akan memiliki benteng dalam menghadapi godaan dunia. Mereka mungkin melihat tayangan yang merusak atau mendengar pergaulan yang buruk, tetapi akidah yang kuat akan menjadi filter alami bagi hati mereka.
Selain tauhid, akhlak mulia harus menjadi pondasi kedua. Anak-anak harus diajarkan bagaimana berkata jujur, menjaga amanah, bersikap sopan, dan memiliki kasih sayang terhadap sesama. Ingatlah, akhlak Rasulullah ﷺ-lah yang membuat Islam menyinari dunia. Orang tua tidak cukup hanya mengajarkan lewat kata-kata, melainkan juga dengan teladan nyata di rumah. Anak belajar bukan dari ceramah panjang, tetapi dari sikap sehari-hari yang ia lihat dari ayah dan ibunya.
Baca Juga: Guru: Pelita Bangsa yang Belum Merdeka dari Gelap Perjuangan
Di tengah derasnya arus teknologi, orang tua tidak bisa hanya melarang, tetapi perlu membimbing. Gadget, internet, dan media sosial adalah realitas yang tak bisa dihindari. Namun, anak harus diajarkan cara menggunakan teknologi dengan bijak. Alih-alih sekadar melarang, orang tua bisa mengarahkan anak untuk menggunakan teknologi sebagai sarana belajar, dakwah, dan pengembangan diri. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen kebaikan di dunia digital.
Lingkungan juga berperan besar dalam pembentukan moral anak. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan penuh gosip, kebohongan, dan kekerasan akan mudah meniru perilaku tersebut. Karena itu, orang tua perlu memilihkan lingkungan terbaik: sekolah yang islami, komunitas yang mendukung nilai iman, dan teman-teman yang baik. Bahkan bila perlu, keluarga sendiri harus menjadi lingkungan pertama yang paling nyaman dan penuh kasih sayang.
Salah satu cara yang paling efektif dalam membesarkan anak saleh adalah dengan memperbanyak doa. Tidak ada daya upaya orang tua tanpa pertolongan Allah. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sendiri memohon, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan salat…” (Qs. Ibrahim: 40). Doa orang tua adalah senjata rahasia yang sering kali diabaikan, padahal ia bisa menjadi kunci keberhasilan pendidikan anak.
Selain doa, membacakan kisah-kisah teladan dari Al-Qur’an dan sirah Nabi sangat penting. Anak-anak lebih mudah memahami nilai kebaikan melalui cerita. Kisah Nabi Yusuf tentang menjaga kehormatan, Nabi Musa tentang keberanian, dan Nabi Muhammad ﷺ tentang kejujuran adalah sumber inspirasi yang akan membekas dalam jiwa mereka. Dengan kisah, anak akan tumbuh dengan role model yang benar.
Baca Juga: Santriwati Ponpes Tahfiz Al-Fatah Pekalongan Ikuti Jalan Sehat HUT RI ke-80
Kedisiplinan dalam ibadah juga menjadi kunci penting. Anak perlu dibiasakan untuk salat tepat waktu, membaca Al-Qur’an, dan merasakan indahnya dzikir. Pembiasaan ini akan membentuk kebiasaan baik yang kelak menjadi karakter mereka. Orang tua harus sabar mengingatkan, bahkan bila anak tampak enggan pada awalnya. Ingatlah, iman tumbuh melalui latihan dan pembiasaan, bukan melalui paksaan sesaat.
Hal yang tidak kalah penting adalah membangun komunikasi yang hangat. Anak harus merasa bahwa orang tuanya adalah tempat pulang yang aman, bukan sekadar pemberi aturan. Dengan komunikasi yang terbuka, anak akan lebih mudah menceritakan masalahnya. Orang tua pun bisa mengarahkan tanpa membuat anak merasa tertekan. Komunikasi yang baik ibarat jembatan yang menghubungkan hati antara orang tua dan anak.
Menjadi orang tua di zaman kiamat moral memang bukan tugas mudah. Namun, kesulitan itu bukan alasan untuk menyerah. Justru, di tengah badai inilah pahala membesarkan anak saleh semakin besar. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa di akhir zaman, menjaga agama ibarat menggenggam bara api. Maka, mendidik anak saleh hari ini bukan sekadar tanggung jawab, melainkan juga jihad terbesar.
Pada akhirnya, membesarkan anak saleh di tengah kiamat moral adalah tentang kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan. Orang tua tidak bisa menjamin hasil, karena hidayah sepenuhnya milik Allah. Namun, usaha yang sungguh-sungguh, doa yang tak pernah putus, dan teladan yang nyata akan menjadi jalan terbaik. Semoga Allah menjaga anak-anak kita, menjadikan mereka generasi Qur’ani, dan penyejuk mata bagi orang tua di dunia dan akhirat.[]
Baca Juga: KKN UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan Gelar Sosialisasi Stop Bullying di Pesantren Al-Fatah
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Sekolah Boleh Sederhana, Tapi Mimpimu Harus Luar Biasa