Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memori Perjuangan AM Fatwa

kurnia - Kamis, 14 Desember 2017 - 20:56 WIB

Kamis, 14 Desember 2017 - 20:56 WIB

133 Views ㅤ

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal DKI Jakarta Andi Mappetahan Fatwa atau yang bisa disapa AM Fatwa telah meninggal dunia pada Kamis 14 Desember 2017.

Ia yang pernah menjabat sebagai Ketua Badan Kehormatan DPD. Tokoh yang telah dua periode menjadi anggota DPD dan pernah menjabat Wakil ketua MPR periode 2004-2009 dan wakil ketua DPR periode 1999-2004.

Menurut putri kedua AM Fatwa, Dian Islamiaty Fatwa melalui pesan whatsapp, AM Fatwa meninggal  berusia 78 tahun di Rumah Sakit MMC Jakarta. Selain faktor lanjut usia beliau menderita penyakit yang telah cukup lama dideritanya.

Sehingga membuat kesehatannya semakin menurun hingga menemui ajal berpulang ke rahmatullah.  AM Fatwa dishalatkan di rumah duka, di Jalan Condet Pejaten Nomor 11, Jakarta Timur, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, Jakarta, pada Kamis siang.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Istilah fatwa biasanya diberikan tokoh ulama yang berisi keputusan atas suatu masalah. Figur ayah dari lima anak yaitu M Averus, Dian Islamiati, Ikrar Fatahillah, Diah Sakinah, dan Rijalulhaq, serta kakek sejumlah cucu itu, sejak awal dikenal sebagai tokoh aktivis Islam ini juga kerap menyampaikan fatwa dalam puluhan buku dan artikel yang pernah ditulisnya.

Sebagian besar isinya adalah sikap, pandangan dan perjuangannya dalam melawan segala bentuk kezaliman. Lantaran itulah pada 29 Januari 2008, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menganugerahkan penghargaan “pejuang anti kezaliman” kepada sembilan warga asing, termasuk AM Fatwa di Teheran saat mengikuti konferensi National Congress of Fajrafarinan (Fajr Creator) ke-2.

Penghargaan dari pemerintah Iran disampaikan langsung Ahmadinejad kepada AM Fatwa dan delapan tokoh lain yang berasal dari Afrika Selatan dan Lebanon. Pemerintah Iran menilai AM Fatwa sebagai tokoh perjuang dalam melawan kezaliman di Indonesia.

Di dalam negeri AM Fatwa juga pernah mendapat penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana dari Mantan Presiden Susilo Yudhoyono. AM Fatwa diterima secara baik oleh warga batak dan mendapat gelar Ginting di Brastagi, Tanah Karo, lalu marga Harahap, di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Selain itu mendapat Piagam Adat dari Sai Batin Raja Adat Kesatuan Paksi Pak Skala Brak dengan gelar Tumenggung Alip di Lampung, Lencana Kehormatan Radyolaksono dari Sri Sunan Pakubuwono XII dari Solo dan pemberian nama Hadinagoro dan gelar Kanjeng Pangeran pada 2003.

Fatwa merupakan salah saksi sejarah babak hitam rezim Orde Baru, rezim yang pernah menjebloskan dia ke penjara. Hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah dan disangka konseptor Lembaran Putih Petisi 50 untuk kasus Tanjung Priok 1984 ia dituduh melakukan tindakan subversif.

Fatwa saat itu Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50, komunitas para tokoh yang berseberangan dengan Soeharto. Ketua Pokja Petisi 50 adalah Letnan Jenderal TNI Marinir (Purnawirawan) Ali Sadikin atau Bang Ali, yang pernah menjabat gubernur DKI Jakarta, adalah orang dekat dan mantan atasan Fatwa ketika bekerja di Pemda DKI Jakarta.

Saat itu Majelis hakim memvonis tokoh kelahiran Bone, Sulawesi Selatan 12 Februari 1939 dengan hukuman 18 tahun penjara. Selama sembilan tahun pertama sempat mendekam di beberapa penjara-rumah tahanan militer Cimanggis, Guntur, dan Markas Batalion Infantri 202 di Bekasi, sebelum kemudian mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, LP Cirebon, LP Sukamiskin, LP Paledang, dan kembali ke Cipinang.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Penjara telah memasung kebebasannya. Berbagai perlakuan menyakitkan diterimanya mulai siksaan fisik sampai penghinaan martabat. Dia pernah dijebloskan ke dalam sel yang amat sempit dan berbau kotoran manusia. Ia hanya bisa berdiri dan terpaksa menunaikan shalat seadanya dengan bertayamum menempelkan tangan ke dinding.

Selama dipenjara masih bisa menulis surat yang dikirimkan kepada Presiden Soeharto, yang kemudian dibukukan dengan judul Menggugat Dari Balik Penjara. Fatwa dibebaskan pada 1993, lebih cepat daripada masa hukuman penjaranya. Dia sempat kembali ke pemerintahan saat menjadi Staf Khusus Menteri Agama, Tarmizi Taher, pada 1996-1998. Ia terjun ke politik setelah era reformasi 1998 pada pemerintahan Presiden BJ Habibie dengan bergabung ke Partai Amanat Nasional.

Perjalanan hidup Fatwa memang sangat menarik. Dia pernah menjadi imam bagi para tentara saat bekerja sebagai Wakil Kepala Dinas Rohani Islam KKO TNI AL (Marinir) Komando Wilayah Timur di Surabaya pada 1967-1970, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik Pemda DKI Jakarta/Staf Khusus untuk masalah-masalah agama dan politik pada 1970-1979, tetapi dia pula yang dizalimi oleh rezim sehingga masuk penjara.

Dia juga pernah menerima Bintang Mahaputera Adipradana pada 2008 dari pemerintahan Susilo Yudhoyono bersama sejumlah tokoh lain nasional.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

AM Fatwa menanamkan pendidikan politik dengan memegang teguh etik dan moral. Dia memaafkan penguasa Orde Baru, Soeharto, yang memenjarakan dia, bahkan mendoakan Soeharto saat menjenguk dan mencium keningnya saat dirawat di RS Pertamina, lalu melayat dan mengantarkan ke kuburnya di Mangadeg, Jawa Tengah.

Seiring dengan perubahan zaman, semakin banyak kalangan yang terbuka matanya tentang siapa sosok AM Fatwa sebenarnya. Saat penganugerahan gelar doktor (honoris causa) dari Universitas Negeri Jakarta pada 16 Juni 2009, Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat itu memuji keteguhan hati atau konsistensi AM Fatwa dalam berpolitik.

Kalla berpandangan bahwa sosok seperti  AM Fatwa sudah sangat langka bahkan sudah tidak ada lagi. Ia mengandaikan dengan kebanyakan orang sekarang ini kalau digertak saja langsung berubah namun AM Fatwa digertak apapun tetap konsisten meskipun penjara dan ancaman lain taruhannya.

Pengalaman Fatwa dapat dijadikan pelajaran bagi siapa saja yang konsisten dan yakin untuk memperbaiki kondisi bangsa ini.

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Fatwa dikenal juga sebagai seorang pemikir, pekerja dan tokoh pendidikan. Ia membina Taman Kanak-Kanak melalui Yayasan Pendidikan Fatahillah sejak 1973. Melalui yayasan ini AM Fatwa membina pengajian untuk pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan. Perjuangannya dilanjutkan istrinya, Nunung Nurjannah selama Fatwa dipenjara.

AM Fatwa lahir di Bone pada 12 Februari 1939 dari keluarga yang bersahaja, meskipun sebenarnya dia termasuk keturunan keluarga Kerajaan Bone. Ia menjadi ikon perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru, sehingga sejak muda sering mendapat teror dan tindak kekerasan dari aparat intel kedua rezim otoriter tersebut, sampai keluar masuk rumah sakit dan penjara.

Terakhir ia divonis 18 tahun penjara, dari tuntutan seumur hidup, dijalani efektif 9 tahun, lalu tahanan luar, dan dapat amnesti, karena kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Jika diakumulasi, ia menghabiskan waktu selama 12 tahun di balik jeruji besi, selain tahanan luar.

AM FAtwa adalah salah seorang anak asuh Amnesti Internasional di London yang banyak mempublikasikan kasus-kasus politiknya ke dunia internasional. Dua Anggota Kongres Amerika Serikat telah mendesak Presiden George Bush untuk memberikan perhatian khusus kepada dua tahanan politik Indonesia yaitu HR Dharsono dan AM Fatwa.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Dokumen surat kedua anggota kongres tersebut diterima AM Fatwa dari mantan Kapolri yang juga aktivis Petisi 50, Jend. Pol. Hoegeng Iman Santoso. Ketika Dan Quayle, Wapres AS (1989-1993) berkunjung ke Indonesia pada bulan April 1989, tokoh pegiat HAM, HJC Princen dkk langsung menemuinya dan mengingatkan agar lebih memperhatikan nasib dua tahanan politik tersebut.

Mendapatkan kemuliaan dengan mendapat kepercayaan sebagai pimpinan lembaga negara dan berbagai gelar kehormatan, setelah belasan tahun dizalimi rezim penguasa, merupakan muara dari catatan perjalanan hidup yang dia abdikan untuk bangsa dan negara. segala fatwa, nasihat, ajaran, dan pandangan serta konsistensinya yang dia tinggalkan untuk bangsa ini. (R03/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Rekomendasi untuk Anda

Sosok