Memperingati 52 Tahun Kejahatan PKI

(Foto: Pustaka Sekolah)

Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Kantor Berita MINA

Puluhan tahun yang lalu, Partai Komunis Indonesia () menorehkan sejarah berdarah dengan tinta merah di bumi pertiwi ini. Sejarah yang hingga kini terus bergulir seperti sebuah bola salju, kian hari kian membesar. Bagaimana tidak? Hari ini 52 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1965 tanggal 30 September, PKI melakukan aksi ketiganya dalam mengkudeta Pemerintah Indonesia setelah gagal pada dua aksi sebelumnya.

Usaha perebutan kekuasaan terbesar yang dikenal dengan nama G30S/PKI tahun 1965 itu dimulai dengan penculikan dan pembunuhan yang sadis terhadap enam perwira tinggi pejabat teras Angkatan Darat (AD) Republik Indonesia. Seorang sasaran utama, Jendral AH Nasution, Menko Hankam/KASAB, jendral Islami yang sangat anti komunis, lolos dari aksi pembunuhan itu.

Satuan-satuan tentara yang berhasil dipengaruhi komunis, beraksi. Tanpa ampun mereka membunuh dan membuang mayat korbannya di sumur Lubang Buaya. Namun, aksi kudeta ini juga gagal. Panglima Kostrad Mayjen. Soeharto bertindak cepat menghadapi aksi komunis ini.

Beberapa bulan kemudian dia membubarkan  PKI karena dinilai sebagai pelaku pengambil alih kekuasaan. Tepatnya tanggal 12 Maret 1966, sehari sesudah Mayjen. Soeharto menerima Surat Perintah dari Presiden Soekarno untuk mengembalikan situasi normal.

Salah satu yang paling dirugikan pasca peristiwa G30S/PKI adalah , khususnya Angkatan Darat (AD). Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu target utama dari peristiwa 52 tahun yang lalu itu adalah sejumlah perwira tinggi TNI AD, utamanya Jendral AH Nasution (yang berhasil lolos dari penyergapan), Jend. Ahmad Yani, Letjen. Suprapto, Letjen. M.T. Haryono, Letjen. S. Parman, Mayjen. Pandjaitan, Mayjen. Sutoyo Siswomiharjo. Para jendral yang tewas bersama para perwira lainnya yang juga jadi korban kebiadaban komunis, yang kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi oleh Pemerintah Indonesia.

Pembunuhan tokoh dan lawan-lawan politik sudah merupakan bentuk aksi komunis seperti yang mereka lakukan juga di Uni Sovyet, China. Inipun dilakukan PKI di Indonesia dengan membunuh jendral-jendral pejabat tinggi Angkatan Darat sebab Angkatan Darat dibawah pimpinan KSAD Jendral Achmad Yani merupakan halangan utama PKI untuk berkuasa.

Demikian juga sejak sebelum G30S/PKI, PKI menyasar kekuatan-kekuatan Islam seperti pimpinan-pimpinan Pondok Pesantren di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Anshor, Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sehingga banyak yang jatuh jadi korban keganasan komunis atau diprovokasi agar dibubarkan.

PKI juga memiliki andil besar dalam pembubaran Partai Islam Masyumi oleh Presiden Soekarno tahun 1960. Masyumi adalah partai peraih suara terbanyak bersama PNI dalam pemilihan umum 1955. Masyumi yang dipimpin Mohammad Natsir tegas, keras anti komunis, tak mau bekerjasama dengan komunis, tak mau sama-sama duduk dalam kabinet dengan komunis.

Begitu kelamnya sejarah yang diukir oleh PKI di NKRI ini, maka tak heran ketika Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dengan tegas menyatakan untuk memutar ulang film drama-dokumenter tentang kejahatan PKI garapan Arifin C. Noer dan memerintahkan seluruh prajuritnya untuk menonton film ini.

“Itu saya yang perintahkan nonton film itu. Kalian mau apa? Saya nggak mau berpolemik. Ini juga upaya meluruskan sejarah. Saya hanya ingin menunjukkan fakta yang terjadi saat itu. Karena anak-anak saya, prajurit saya, masih banyak yang tidak tahu,” kata Gatot ketika diminta alasannya memutar ulang film tersebut.

Meski ada yang menolak untuk memutar ulang, namun tak sedikit pula yang mendukung penuh. Salah satu wartawan senior Indonesia, Ismet Rauf, mengemukakan aksi komunis ini perlu terus dipaparkan, karena makin marak usaha-usaha pihak-pihak tertentu di dalam maupun di luar negeri, yang memisahkan PKI dari tragedi berdarah itu. Seminar, buku, artikel di media massa semacam itu juga marak untuk menghapus sejarah kelam mereka.

“Salah satu upaya PKI membersihkan wajah mereka adalah dengan melemparkan kejahatannya kepada militer. Jadi hati-hati ketika membaca dan menulis tentang PKI ini,” kata Ismet mengingatkan penulis.

Menurut Ismet, pentingnya selalu aksi-aksi berdarah komunis ini dipaparkan adalah juga karena makin kurangnya minat generasi muda umumnya pada sejarah (a historis), sehingga dikhawatirkan terpengaruh oleh aksi-aksi yang membenarkan kejahatan  komunis itu.

“Lagipula, bangsa kita adalah bangsa yang pelupa dengan sejarah,” kata Ismet Rauf yang sekarang menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency).

Kalau dulu selalu disebut Gerakan 30 September-Gestapu/PKI, kini makin banyak yang menulis tanpa sebutan PKI lagi.

Pengurus Besar Nahdathul Ulama (NU) menurut dia, sampai mengeluarkan “buku putih” untuk mengungkapkan kalangan Islam terutama NU yang justru banyak jadi korban PKI. Di cover belakang buku itu dikutip ucapan Gus Dur yang sebagai Presiden memaafkan PKI, tapi kemudian itu disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyatakan PKI tak salah, sehingga akhirnya Gus Dur menyesal memberi maaf .

Sastrawan Taufik Ismail yang juga aktif dalam Angkatan 66, mengemukakan bahwa ideologi komunis pertama kali dikembangakan oleh dua sosok pemuda, dia adalah Karl Marx (28) dan Frederick Angels (30) dalam buku Manifesto terbitan tahun 1848. Kemudian dari pandangan mereka, bermunculan tokoh-tokoh seperti Vladimir Lenin, Joseph Stalin, Mao Tse Tung yang membanjiri jagat raya ini dengan darah.

Tak heran bila saat ini mereka secara terang-terangan menunjukkan identitas mereka kembali, mengingat sejarah yang mereka tancapkan di bumi Pertiwi ini begitu dalam dan panjang. Tidak sedikit pula pionir-pionir mereka hari ini menjabat wakil-wakil rakyat di DPR RI ataupun beberapa DPRD tingkat I dan II di berbagai provinsi, kota/ kabupaten.

Ia menyatakan, ideologi PKI ini hakikatnya ideologi yang haus darah, yang  tahun 1926, 1948, dan 1965 telah mencoba merebut kekuasaan dan akhirnya selalu gagal, maka sejak tahun 1966 melalui Tap MPRS No 25, partai ini secara resmi dilarang di Indonesia. Tetapi ideologi ini, diam-diam bergerak terus atas dasar dendam. Padahal, di seluruh dunia ideologi ini sudah gagal total. Tercatat, selama 74 tahun melakukan aksi kebiadan di berbagai wilayah seluruh dunia, mayoritas mengalami kegagalan.

Kenapa bisa disebut gagal? Ada beberapa alasan, pertama, negara induk ideologi ini mencampakkannya. Pada hakikatnya, Uni Sovyet sejak tahun 1991 telah membuang jauh paham komunis yang kemudian mengguncang dunia kala itu, khususnya China, Korea Utara dan Kuba.

Mereka seakan tak percaya ketika Presiden Uni Sovyet waktu itu secara terang-terangan menolak ideologi komunis, mengingat Uni Sovyet adalah induk dari lahirnya ideologi yang haus darah dan memandang enteng (murah) nyawa manusia, anti Tuhan, immoral, anti perdamaian, dan pura-pura pro demokrasi itu.

Kedua, China mengikuti arah perubahan politik yang dipakai Uni Sovyet dalam menjalankan pemerintahannya. Walaupun terlihat mereka memakai ideologi komunis, namun sebenarnya pemerintah China telah meninggalkannya, hal itu dibuktikan dengan terbukanya China terhadap beberapa negara di dunia, tak terkecuali Amerika Serikat (AS) yang terkenal dengan ideologi bebasnya yang amat bertentangan dengan Komunisme. Di China saat ini, mereka membungkus pola demokrasi dengan ideologi komunis sehingga seakan China masih nampak menggunakan ideologi itu.

Ketiga, kegagalan komunisme dalam usaha menyingkirkan para tokoh muslim dan juga kegagalan menggulingkan Pancasila, sehingga sehari setelah tragedi 30 September 1965, dikukuhkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober.

Memusuhi

Selama ini komunisme selalu memusuhi umat Islam. Banyak faktor pendorong akan adanya realita itu. Dalam sejarah yang belum sampai satu abad, komunisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan  pemerintahan negara, bangsa-bangsa, dan kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.

Dalam Peristiwa Madiun, 1948 misalnya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan PKI karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Kedua, karena banyak pemuka agama Islam dan ulama yang dibunuh oleh PKI, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kyai Mursyid dan sesama kyai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan.

Demikin juga Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang menjadi gerakan underbownya PKI, selalu berhadap-hadapan dengan organisasi-organisasi pelajar muslim, salah satunya PII. Seperti yang diungkapkan oleh Jenderal (Purn) Kivlan Zein yang ketika tragedi 65 itu terjadi, dia menjadi salah satu anggota PII mengaku bahwa IPPI adalah gerakan underbow yang mendukung PKI, bahkan beberapa kali terlibat bentrok dengan PII, hingga menjadikan Kivlan Zein salah satu target buruan PKI pada tahun 1965.

Selain itu, secara ideologis, komunisme juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Komunisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama yang betapa praktisnya, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan.

Apalagi komunisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai candu yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema penataan komunisme atas masyarakat, Islam merupakan agama yang harus diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena merupakan bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme, walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.

Taufik Ismail mengutip pendapat Chang dan Halliday (2006), Courtois (2000), Nihan (1991), Ratanachaya (1996), dan Rummel (1993), yang memaparkan fakta mencengangkan bahwa secara statistik matematis korban kekejaman ideologi komunis sudah diluar perikemanusiaan dan begitu biadab.

Sepanjang 1917-1991 komunisme telah membantai 120 juta manusia, yang jika dirata-ratakan berarti tidak kurang dari 1.621.621 orang pertahun, dan berarti 4.504 sehari, 3 orang permenit, yang mereka lakukan selama 74 tahun di 75 negara. Dari aksi itu, 28 diantaranya berbuah pada berdirinya negara komunis.

Buku Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba yang ditulis Taufiq Ismail menyebutkan, setidaknya ada 100 juta orang lebih dibantai, termasuk di Indonesia oleh rezim Komunis dan orang-orang Partai Komunis di dunia. Ideologi komunis selalu pada intinya anti Hak Asasi Manusia, anti demokrasi, dan anti Tuhan. Sebab itu, menjadi ironi apabila masih banyak ‘orang dan kelompok masyarakat’ yang masih menginginkan paham komunis berkembang di Indonesia.

Menurut Taufik Ismail, dalam menjalankan aksinya, para pengagum komunisme menggunakan 18 patokan yang menjadi pedoman praktis, diantaranya; berdusta, memutarbalikkan fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, membenci, mencaci, menyiksa, memperkosa, merusak, membumihanguskan, membunuh hingga membantai. Aktivis partai, pada awalnya dilatih untuk berdusta, kemudian membunuh dan pada akhirnya membantai.

Terakhir, pesan dari Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur kepada generasi muda umat Islam untuk banyak membaca buku-buku tentang komunisme  untuk pengetahuan saja, dibarengi dengan aqidah Islamiyah yang kokoh. (A/R06/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.