Mempersiapkan Generasi Pembebas Al-Aqsha (Oleh: Ustaz Wahyudi KS.)*

Oleh: Ustaz Wahyudi KS., Amir Tadrib wa Ta’lim Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Islam lahir sebagai ajaran rahmat dan penerang peradaban di tengah-tengah kejahiliyahan jaman saat itu. Cahayanya yang terang benderang telah menerangi alam yang gelap gulita, merubah umat dari biadab menjadi beradab. Islam sebagai agama yang syamil (universal) dan kamil (kaaffah), senantiasa dapat menjawab permasalahan umat ini. Tidak satu pun permasalahan umat ini yang tidak terjawab oleh Islam. Namun demikian, betapa banyak umat Islam yang telah meninggalkan ajarannya, sehingga ia tidak dapat mewujudkan Islam secara kaaffah.

Generasi sahabat, adalah generasi terbaik sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Oleh karena itu, kepada mereka-lah kita meneladani dinamika kehidupan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sukses membina umat ruh tauhid, pakaian syari’ah dan hiasan akhlaqul kariimah. Pembinaan tersebut pada awalnya saat di Mekkah, beliau pusatkan di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, sehingga dikenal dengan Daarul Arqam. Setelah hijrah ke Madinah, beliau melanjutkan pembinaan para sahabat di beranda atau emper masjid, yang dalam istilah Arab disebut dengan Shuffah.

Institusi Shuffah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bentuk forum belajar para sahabat di beranda/emperan Masjid Nabawi. Guru besarnya adalah tunggal, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sendiri. Dibantu para sahabat senior seperti: Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, Umar radliyallahu ‘anhu, dan lain-lain. Juga para huffazh al-Qur’an seperti: Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Ka’ab radliyallahu ‘anhumaa. dan lain-lain, dan shahabat/shahabiyah ahli hadits seperti: Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, Aisyah radliyallahu ‘anha. dan lain-lain.

Al-Quds di Masa Nubuwwah

Pada tahun 10 kenabian, ketika diwajibkan shalat pada malam Isra’ dan Mi’raj, 3 tahun sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum, telah shalat menghadap Masjidil Aqsha.

Kemudian setelah hijrah ke Madinah, Masjidil Aqsha tetap menjadi Kiblat umat Islam selama 16-17 bulan. Sampai turunnya ayat 150 surat Al Baqarah ketika shalat sedang ditegakkan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung pindah arah kiblat dan diikuti oleh para sahabatnya. Atas dasar itulah, masjid ini dinamakan masjid qiblatain (dua kiblat).

Al-Quds di Masa Khalifah Rasyidah

Pada tahun 15 H. Khalifah Umar mengutus empat pasukan terbaik untuk mengepung Baitul Maqdis. Mereka adalah pasukan khusus yang dipimpin oleh empat komandan pilihan, antara lain;

  1. Pasukan Mujahidin yang dipimpin oleh Khalid bin Walid radliyallahu ‘anhu.
  2. Pasukan Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radliyallahu ‘anhu.
  3. Pasukan Mujahidin yang dipimpin oleh Surahbil bin Hasanah radliyallahu ‘anhu.
  4. Pasukan Mujahidin yang dipimpin oleh Amru bin Ash radliyallahu ‘anhu.

Karena tidak akan mampu untuk melakukan perlawanan kepada muslimin, maka pimpinan Nashrani saat itu, yakni Uskup Sophronius, mengakui kalah, namun tidak mau menyerahkan kunci Yerusalem, kecuali langsung kepada khalifah Umar. Sesampainya berita tersebut kepada Khalifah Umar, maka dari al Jabiyah, Khalifah Umar bin al Khaththab radliyallahu ‘anhu bergerak menuju Baitul Maqdis untuk melakukan perjanjian damai dengan kaum Nashrani. Khalifah Umar berangkat bersama seorang khadam (pembantu/pengawal) dengan satu kuda, yang ditunggangi secara bergantian.

Qadarullah, begitu sampai di gerbang Al-Quds, Khalifah Umar bagian menuntun, dan khadamnya yang menunggang kuda. Sehingga kaum Nashrani mengira yang diatas kuda itulah khalifah Umar. Namun segera mereka ketahui, bahwa Khalifah Umar adalah yang menuntun kuda. Kemudian khalifah diterima langsung oleh pemimpin kota Al-Quds (Yerussalem), seorang uskup agung yang bernama pendeta Xeverinus, orang Arab menyebutnya Sophronius.

Umar bin al Khaththab radliyallahu ‘anhu mengajukan syarat agar semua elemen kekuasaan Romawi segera meninggalkan Baitul Maqdis dalam waktu tiga hari, sebelum Umar bin al Khaththab masuk ke Masjidil Aqsha lewat pintu yang dimasuki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra’. Sesampainya di Baitul Maqdis, Khalifah Umar bin al Khaththab radliyallahu ‘anhu melakukan shalat tahiyatul masjid yang dilanjutkan dengan shalat shubuh bersama muslimin. Pada rakaat pertama Umar bin al Khaththab membaca Surat Shad yang di dalamnya terdapat ayat sajdah, dan pada rakaat kedua Umar bin al Khattab membaca Surat al Isra’

Al-Quds di masa Khalifah Rasyidah

  1. 614 M — Yerusalem jatuh dan dikuasai oleh Persia. (QS. Ar-Ruum: 2).
  2. 629 M-Romawi Bizantium berhasil merebut kembali kota Yerusalem dari Persia.
  3. 638 M/15 H.-Khalifah Umar telah berhasil merebut Yerusalem dan menerima penyerahan kunci Yerusalem langsung dari Sophronius.

Al-Quds di masa Khalifah Mulkiyyah

  1. 1096 M. — Jatuh ke tangan Salibis (Nasrani) dengan komando Paus Urbanus II.
  2. 1128-1187 M./ 521-589 H.—-Kembali ke pangkuan muslimin melalui proses selama 88 th (M)/91 th (H). Mulai dari Imaaduddin Zanky, Nuruddin Zanky dan akhirnya Shalahuddin al-Ayubi.
  3. 27 Rajab 583 H./2 Oktober 1187 M. Fathul Aqsha / Al-Quds (Muslimin Memasuki Al-Quds).
  4. 4 Sya’ban 583 h. / 9 Oktober 1187 m. Khutbah Jum’at perdana ba’da futuh, dengan Khatib: Imaam Muhyiddin Zanky.

Generasi Pembebas

Untuk mengetahui siapakah yang akan menjadi generasi di akhir zaman ini, perlu melakukan kajian mendalam. Sementara ini penulis belum menemukan dalil-dalil yang secara eksplisit menyebutkan langsung tentang hal tersebut. Namun demikian, kita bisa melakukan pendekatan munasabatul ayat /surat, pendekatan hadits, dan juga pendekatan historis/sejarah. Dalam Surat Al-Isra’ ayat 5 disebutkan sebagai berikut:

فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولَاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولًا

“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.”

Kalimat ‘Ibaadan lanaa Uli ba’sin syadiid , (hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar), ada korelasinya dengan kata ‘Ibaadurrahman pada QS. Al-Furqaan: 63, dan kata ‘Ibaadiyash Shaalihuun di surat Al-Anbiyaa: 107.

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”

Pada surat Al-Isra’ ayat 7 diatas, disebutkan; bahwa janji terakhir, atau hukuman bagi kejahatan kedua, yang dilakukan oleh Bani Israil, maka Allah akan menyuramkan wajah-wajah Bani Israil, dan mereka (muslimin) akan masuk ke dalam masjid, sebagaimana pada kali pertama (yakni di masa Khalifah Umar dan atau di masa Shalahuddin Al Ayubi).

Di kalimat terakhir, surat Al-Isra’ ayat 7, menyebutkan bahwa generasi terakhir tersebut akan membinasakan Bani Israil sehabis-habisnya. Kalimat ini sejalan dengan hadits shahih sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوِ الشَّجَرُ: يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ 

“Tidak akan tiba hari Qiyamat hingga umat Islam bertempur sengit melawan Yahudi (Israil) sampai bangsa Yahudi bersembunyi di belakang batu/pohon. Lalu keduannya (batu/pohon) berkata: “Hai muslim, hai Abdullah di belakangku adalah bangsa Yahudi, maka bunuhlah mereka. Kecuali pohon Ghorqod, ia tidak memberitahukan sebab ia pohon Yahudi.” (Shahih Muslim, Juz 4, hal 2239, no. hadits 82)

Saat penulis menanyakan kepada Prof. Dr. Mahmoud HM. Al Anbar, seorang Guru Besar Tafsir Al-Qur’an di Universitas Islam Ghaza Palestina, hafizhahullah ta’ala: “Ya Syaikh, apakah ada korelasinya antara kalimat “ibaadan lanaa ulii ba’sin syadiid, dan Ibaadurrahman dalam Al-Qur’an, dengan kalimat dalam hadits shahih Ya Muslim, Yaa Abdallah, Maka beliau hafizhahullah menjawab: “Tentu saja ada korelasinya, bahwa memang Al-Aqsha pun akan dibebaskan oleh muslimin yang punya karakter “hamba Allah.”

Asy Syaikh As’ad Bayudh At Tamimi, dalam bukunya Impian Yahudi, terbitan Gema Insani Press, menyebutkan: “Bahwa kata masjid dalam QS. Al-Isra’ ayat ke 7, adalah Masjid Al Aqsha, yang kini dalam penguasaan Zionis Israel.” Maka berdasarkan ayat tersebut, menunjukkan bahwa Masjidil Aqsha akan kembali ke tangan muslimin, dan pada akhirnya Bani Israil akan kalah, dikejar-kejar kaum muslimin, dan akan hancur dengan sehancur-hancurnya. Allahu Akbar.

Dari keterangan diatas, bila kita mengkaji pula hadits-hadits tentang akhir zaman, in syaa Allah akan menjadi lebih yakin, bahwa Masjidl Aqsha akan kembali ke pangkuan muslimin, sekalipun hari ini dikuasai oleh Zionis Israel yang didukung dengan kekuatan Amerika Serikat.

Karakteristik Hamba Allah Pembebas Al-Aqsha

Pada hakikatnya, persada bumi ini telah diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Maka itu berarti para hamba yang shalih sebagai ahli waris, wajib menjaga kelestarian, keamanan dan kemakmuran bumi Allah ini. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang shalih. (QS. Al-Anbiyaa: 105)

Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsirnya, adalah sebagai berikut: Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, memberitahukan tentang apa yang telah dipastikan-­Nya dan apa yang telah ditetapkan-Nya buat hamba-hamba-Nya yang shalih, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat; di dunia diwariskan-Nya bumi ini kepada mereka, selain kebahagiaan di akhirat nanti yang menjadi milik mereka. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

إِنَّ الأرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah diwariskan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-A’raf: 128)

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الأشْهَادُ

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). (Al-Mu’min: 51)

Dan firman Allah SWT:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya. (QS. An-Nur: 55)

Selanjutnya Allah menyebutkan bahwa hal ini telah tertulis di dalam kitab-kitab syariat, juga takdir; hal ini pasti akan terjadi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuzh. (QS. Al-Anbiya: 105)

Al-A’masy pernah bertanya kepada Sa’id ibnu Jubair tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuzh. (Al-Anbiya: 105). Bahwa yang dimaksud dengan az-dzikr ialah kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Mujahid mengatakan bahwa Zabur adalah nama kitab.

Ibnu Abbas, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa Zabur adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud, sedangkan az-dzikr artinya kitab Taurat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa az-dzikr artinya Al-Qur’an.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa az-dzikr ialah kitab yang ada di langit. Mujahid mengatakan bahwa Zabur artinya semua kitab sesudah az-dzikr. az-dzikr ialah kitab yang ada di sisi Allah (Lauhul Mahfuzh). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Hal yang sama telah dikatakan oleh Zaid ibnu Aslam, bahwa az-dzikradalah kitab pertama.

As-Tsauri mengatakan bahwa az-dzikr artinya Lauhul Mahfuzh.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Zabur adalah kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi, sedangkan az-dzikr ialah Ummul Kitab yang telah tercatat di dalamnya segala sesuatu sebelum itu. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan di dalam kitab Taurat dan kitab Zabur serta pengetahuan-Nya yang terdahulu sebelum ada langit dan bumi, bahwa Dia akan mempusakakan bumi ini kepada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Dia akan memasukkan mereka yang shalih ke dalam surga-Nya.

Mujahid telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya: bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shalih. (Al-Anbiya: 105) Bahwa yang dimaksud dengan bumi ialah bumi surga. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abul Aliyah, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah, As-Saddi, Abu Shalih, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan As-Tsauri. Abu Darda mengatakan, “Kitalah yang dimaksud dengan orang-orang shalih itu.” Sedangkan menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang mukmin (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, hal. 384-385).

Dari keterangan diatas, dapat kita pahami bahwa Hamba Allah yang Shalih, yang menjadi ahli waris bumi Allah ini, dan akan terpilih menjadi pembebas Masjidil Aqsha, serta dimenangkan Allah saat berperang melawan Yahudi (Zionis Israel), adalah memiliki 13 karakter, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Furqaan: 63-74, adalah sebagai berikut:

  1. Tidak sombong.
  2. Membalas keburukan dengan kebaikan.
  3. Senantiasa menghidupkan shalat malam.
  4. Berdo’a memohon perlindungan dari siksa Jahannam
  5. Berinfaq dengan tidak berlebihan dan tidak kikir.
  6. Tidak syirik sedikitpun.
  7. Tidak membunuh yang diharamkan Allah, kecuali benar.
  8. Tidak berzina.
  9. Tidak menjadi saksi palsu.
  10. Menjaga kehormatan diri di tengah kerusakan umat.
  11. Tidak buta dan tuli terhadap ayat Allah.
  12. Berdo’a untuk kebaikan keluarganya.
  13. Berdo’a untuk dijadikannya Imaam bagi orang-orang yang taqwa.

Untuk dapat melahirkan generasi “Pembebas Al-Aqsha”, sebagaimana penjelasan diatas, maka tidak bisa tidak, kita harus napak tilas sejarah kemenangan kaum muslimin generasi awal, sebagaimana pernyataan Imam Malik rahimahullah:

لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

Tidak akan baik akhir umat ini kecuali dengan apa-apa (yang telah) baik dengannya generasi awalnya (Ushul al Iimaan fii dlau’i al-kitaab wa as-sunnah, hal. 303).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ

Maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku, dan sunnah Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin (Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 15, no. 42)

Dalam menyiapkan generasi pembebas Al-Aqsha, tidaklah dapat mendadak, tapi harus mendidik. Sosok Khalifah Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu, adalah mantan pembesar Quraisy, musuh Islam dan kejam, sehingga demi gengsinya di masa jahiliyyah, ia tega mengubur putrinya hidup-hidup. Namun ketika hidayah menembus relung hatinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membina dan mengarahkannya, ia berubah total 180 derajat, dari biadab menjadi beradab, pribadinya agung, kecerdasannya luar biasa, sehingga menjadi Khalifah yang mampu memimpin dunia Islam, meraih masa keemasan. Pada masa kepemimpinannya, Parsi dan Romawi dalam pangkuan muslimin, Al-Aqsha pun kembali diraihnya dari tangan Nasrani pada tahun 15 H. oleh pasukan terpilihnya.

Sejarah mencatat, bahwa sosok Shalahuddin Al-Ayubi pun awalnya tidak lebih dari seorang pemuda biasa yang suka menghabiskan waktunya untuk bermain bola, menunggang kuda dan permainan anak muda umumnya. Keadaan ini berlanjut sampai menyertai pamannya Asaduddin Syirkuh, yang merupakan panglima tertinggi tentara Nuruddin dalam sebuah ekpedisi ke Mesir.

Di sinilah Shalahuddin mulai bersentuhan langsung dengan Mu’askar ‘Aqidiy (pasukan yang mengusung nilai luhur aqidah Islam) yang telah melatih diri dengan bekal pemikiran, semangat dan kemiliteran. Shalahuddin menggambarkan kondisi kejiwaannya ketika mulai bergabung dengan pasukan ini seperti berikut:

“Sebenarnya aku sangat tidak suka untuk bergabung dengan pasukan dalam misi pernyerbuan kali itu. Keikutsertaanku bersama paman bukan didorong oleh pilihanku sendiri. Inilah hikmah yang dapat diambil dari firman Allah:“Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia adalah lebih baik bagi kamu”. (Al-Baqarah:216)

As-Subki menegaskan ada perubahan pada kepribadian Shalahuddin, ia menyatakan; “Saat Shalahuddin memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Nuruddin, ia telah meninggalkan gaya hidup yang bergelimang kenikmatan” (Thabaqat Asy-Syafi’iyah jilid 7 halaman 241)

Bukanlah perkara mustahil, bahwa in syaa Allah kita dapat melahirkan generasi militan sebagaimana generasi terdahulu. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan pusaka kepada kita, itulah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan kita dapat napak tilas serta menjadikan tolok ukur terhadap langkah-langkah sukses mereka. Kita dapat mengkaji sirah nabawiyah dan sirah sahabat, kemudian menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Perjalanan sejarah telah menjadi bukti, bahwa kemenangan kaum muslimin di Badar, Khandaq, Muktah, Yarmuk, Qadisiyah, bukan karena jumlah yang lebih banyak. Mereka berjumlah jauh lebih sedikit dibanding musuh-musuh Allah. Namun karena kesabaran, kekuatan ruhiyah, sinergi jama’ah, dan taat komando Imaam, sehingga Allah memenangkannya.

Demikian pula Thariq bin Ziyad menembus Spanyol, Shalahuddin meraih Al-Aqsha, Muhammad Al-Fatih mengambil alih Konstantinopel, karena kedekatannya dengan Allah, dan kekompakkan serta kekuatan berjama’ah, sehingga Allah ‘Azza wa Jalla menjadi penolong mereka dan memenangkannya. Sebagaimana firman-Nya:

ثُمَّ نُنَجِّي رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِينَ

Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (QS. Yunus: 103)

Demikianlah, mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba Allah yang diberi kesempatan mengembalikan Al-Aqsha ke tangan muslimin. Dan secara global dapat menjadi bagian dari Izzul Islam wal Muslimun.

Wallahu a’lam bish shawaab. (AK/R01/B05)

Mi’raj News Agency (MINA)

*Tulisan ini disampaikan oleh Ustaz Wahyudi KS pada Kuliah Subuh dalam rangkaian Festival Sya’ban 1440H di Masjid An-Nubuwwah, Muhajirun, Natar, Lampung Selatan, Sabtu, 21 Sya’ban, 1440H/27 April 2019M.

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.