Oleh Rudi Hendrik, jurnalis MINA
Siapa yang tidak kenal Aung Sang Suu Kyi? Ia adalah politisi pro demokrasi Myanmar yang mendapat penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1991. Artinya, ia adalah tokoh yang berperan besar dalam menciptakan perdamaian, terkhusus di negaranya.
Ketika tragedi Muslim Rohingya terjadi beberapa tahun yang lalu di Negara Bagian Rakhine, Barat Myanmar, dunia Muslim dan kemanusiaan berharap banyak kepada Suu Kyi selaku tokoh perdamaian. Terlebih ketika partainya memenangkan pemilu di negaranya. Meski statusnya sebagai Penasehat Negara, tapi de facto ialah pemimpin pemerintahan karena UU melarangnya jadi Perdana Menteri sebab suaminya orang asing. Pemilu itu mengakhiri rezim militer, tapi rezim ini tak sepenuhnya sudi melepas kekuasaan kepada sipil.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Tragedi yang kembali dialami oleh Muslim Rohingya di Rakhine, menunjukkan jati diri seorang Suu Kyi yang sebenarnya. Banyak fihak mempertanyakan kelayakannya menerima Hadiah Nobel.
Bermula konflik pecah pada 25 Agustus 2017. Sekelompok gerilyawan Rohingya bersenjata menyerang puluhan pos polisi dan satu kamp militer. Dalam pertempuran yang terjadi, belasan personel keamanan Myanmar dan puluhan gerilyawan tewas.
Militer dan polisi Myanmar kemudian melakukan serangan balasan terorganisir justru kepada warga sipil Rohingya yang tidak memiliki kaitan dengan gerilayawan, kecuali hanya persamaan etnis dan agama.
Lebih 56 desa dibakar habis, lebih 6.800 rumah warga dibumihanguskan, warga disiksa dan ditembaki hingga tewas dan terluka tanpa pandang bulu, memaksa lebih 146.000 orang mengungsi ke Bangladesh dengan bekal seadanya dan ribuan lainnya masih terjebak di perbatasan.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Sejak konflik baru meletus di Rakhine, dunia menunggu respon dan komentar Suu Kyi terkait penganiayaan terhadap Rohingya yang minoritas. Namun, komentar pertama orang yang katanya “tokoh perdamaian” itu, baru muncul 12 hari kemudian, tanggal 6 September 2017.
Dua belas hari adalah waktu diam yang cukup lama sebagai seorang pemimpin negara dan seorang tokoh dunia. Bahkan, menunggu korban yang jatuh lebih dari 400 orang, menurut versi pemerintah Myanmar. Sementara versi pejabat PBB dan media lokal di Rakhine meyakini korban tewas sudah lebih seribu orang.
Suu Kyi menunggu 12 hari dan korban tewas ratusan orang. Itupun setelah masyarakat dunia menekan dirinya agar bersuara dan melakukan tindakan untuk menghentikan “pembantaian” militernya terhadap komunitas Muslim yang tidak bersalah.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Komentar Mengejutkan
Akhirnya, beberapa media internasional dan lokal mempublikasikan komentar pertama Suu Kyi tentang krisis di Rakhine usai menanggapi telepon langsung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Namun, respon yang ditunggu-tunggu dari seorang Suu Kyi justru mengejutkan masyarakat Muslim dan kemanusiaan. Ia justru mengkritik tentang informasi yang keliru dari konflik di Rakhine.
Suu Kyi menyebut yang terlihat di permukaan adalah fenomena gunung es dan semuanya bertujuan untuk memberikan simpati bagi terorisme.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
“Kami membela semua orang di Rakhine dengan cara terbaik. Kami tahu betul, lebih dari yang orang lain ketahui, arti dari pencabutan hak asasi manusia dan perlindungan demokrasi,” kata Suu Kyi yang pernyataannya disampaikan melalui akun fanpage Facebook Kantor Penasehat Negara Myanmar, selepas dihubungi Presiden Turki.
Komentar Suu Kyi justru dinilai sebagai pernyataan yang kontroversial dan mengecewakan, karena pada faktanya penilaian yang ia simpulkan bertentangan dengan apa yang diperoleh oleh para aktivis media dan kemanusiaan profesional yang menyaksikan langsung apa yang terjadi dan dialami oleh puluhan ribu pengungsi Rohingya.
Jika yang dimaksud kategori “teroris” itu adalah termasuk warga sipil Rohingya, mungkin akan benarlah pernyataan Suu Kyi tersebut.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Sipil Rohingya disebut “Teroris Bengali”
Seorang warga Muslim Rohingya yang selamat dari serangan terhadap desanya, mengungkapkan bahwa tentara Myanmar membakar rumah-rumah mereka, menewaskan sekitar 100 warga sipil dan menuduh warga sebagai “teroris Bengali”.
Seorang guru sekolah menengah bernama U Maung Ni dari ThihoKyun, Maungdaw Utara mengatakan, rezim Myanmar telah memberi label kepada mereka sebagai “teroris Bengali” sejak tahun 1990.
“Kami bukan teroris. Kami adalah korban Genosida sejak tahun 1990. Saya mengutuk serangan gerilyawan ARSA (Tentara Keselamatan Arakan Rohingya) di Pos Penjaga Perbatasan pada 9 Oktober 2016,” katanya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Alih-alih menemukan penyerang, penjaga militer dan perbatasan lebih cenderung menargetkan warga sipil pada bulan Oktober, November dan Desember 2016.
Ada kemungkinan, pemerintah, militer dan warga Buddha Myanmar menyebut sama antara gerilyawan dan warga sipil Rohingya sebagai “teroris”. Jika demikian, bisa saja korban tewas warga sipil dimasukkan dalam hitungan “teroris” yang tewas.
Cabut Nobel Perdamaian Suu Kyi
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Lebih dari 386.000 warga pengguna media sosial aktif menandatangani sebuah petisi daring yang digulirkan pada 7 September 2017, mendesak Komite Nobel di Norwegia untuk mencabut Nobel Perdamaian yang pernah diterima Aung San Suu Kyi pada tahun 1991.
Penggugat menginginkan Ketua Badan Penghargaan Nobel untuk “menyita” atau “mengambil kembali” hadiah yang dimenangkan pemimpin de facto Myanmar itu.
Suu Kyi telah ditargetkan oleh para pemohon karena sikap diamnya atas meningkatnya kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Wanita muda peraih Nobel Perdamaian asal Pakistan, Malala Yousafzai menyampaikan kritikan keras kepada militer Myanmar dan pemimpin sipilnya Aung San Suu Kyi atas penderitaan minoritas Muslim Rohingya.
Baca Juga: Inggris Hormati Putusan ICC, Belanda Siap Tangkap Netanyahu
“Setiap kali saya melihat berita tersebut, jantung saya hancur karena penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar,” ujarnya dalam sebuah pernyataan di Twitter.
Namun, Lembaga Nobel Norwegia yang mengawasi Hadiah Nobel Perdamaian mengatakan bahwa hadiah tahun 1991 yang diberikan kepada Suu Kyi dari Myanmar tidak dapat dicabut.
Organisasi itu pada pada Jumat, 8 September 2017 mengatakan, tidak ada kehendak dari pendiri yayasan Alfred Nobel atau peraturan Yayasan Nobel yang mengatur kemungkinan untuk menarik penghargaan dari para pemenang. (A/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia