Jakarta, MINA- Menteri Agama Fachrul Razi memastikan bahwa penyelenggaraan pesantren diatur oleh UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren, sehingga, masalah pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya.
Hal ini dikemukakan menanggapi viral di media sosial bahwa RUU Cipta Kerja mengancam eksistensi pesantren dan membuka peluang pemidanaan ulama dan atau kyai pengasuh pondok tradisional. Demikian keterangan kemenag.go.id Senin, (31/8).
Pandangan itu didasarkan pada rencana perubahan pasal 62 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang mencabut kewenangan perizinan dari Pemerintah Daerah.
Dalam Pasal 62 RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sementara Pasal 71 mengatur bahwa penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin, bisa dipidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak 1M.
Baca Juga: Tausiyah Kebangsaan, Prof Miftah Faridh: Al-Qur’an Hadits Kunci Hadapi Segala Fitnah Akhir Zaman
“Kita punya UU tersendiri yang mengatur pesantren, aehingga, penyelenggaraan pesantren merujuk pada UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Tidak ada sanksi pidana,” tegas Fachrul di Jakarta, Senin (31/8).
“UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga berlaku kaidah Lex specialis derogat legi generali, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum,” lanjutnya.
Terkait pendirian pesantren, Pasal 6 UU 18/2019 mengatur bahwa pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, atau masyarakat.
Pendirian Pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.
Baca Juga: Pembukaan Silaknas ICMI, Prof Arif Satria: Kita Berfokus pada Ketahanan Pangan
Pesantren juga harus memenuhi unsur-unsurnya, yaitu: Kiai, Santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
“Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada Menteri,” jelas Menag.
“Jika semua syarat terpenuhi, Menteri Agama memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT,” lanjutnya.
Menurut Menag, meski izin dikeluarkan Menag, proses pengajuan pendaftaran tidak harus langsung ke Kemenag pusat di Jakarta, melainkan dilakukan berjenjang melalui Kanwil Kemenag Provinsi.
Baca Juga: Menteri Yusril Sebut ada Tiga Negara Minta Transfer Napi
“Proses pengajuan izin pesantren melalui Kanwil Kemenag akan diatur dalam Peraturan Menteri Agama yang saat ini tengah difinalisasi,” ujar Menag.
“Dan yang terpenting, RPMA tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKT nya,” tandasnya.
Menag menambahkan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal atau nonformal. Pendidikan formal pesantren berbentuk Pendidikan Muadalah atau Diniyah Formal Ula; Pendidikan Muadalah atau Diniyah Formal Wustha Pendidikan Muadalah atau Diniyah Formal Ulya.
Adapun pendidikan nonformal di pesantren berbentuk pengkajian Kitab Kuning.
Baca Juga: ICMI Punya Ruang Bentuk Kader-kader Indonesia Emas 2045
Berdasarkan data Ditjen Pendidikan Islam, saat ini ada 28.134 buah pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama. (R/SH/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Antisipasi Kerawanan Pangan, Wamendes PDT Wacanakan Satu Provinsi Satu Desa ICMI