Jakarta, MINA – Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia Nasaruddin Umar menyerukan pentingnya membangun arsitektur perdamaian global berbasis nilai-nilai Timur, melalui kolaborasi antara Wasathiyah Islam (Islam moderat) dan kebijaksanaan Tionghoa.
Berbicara pada World Peace Forum ke-9 di Jakarta, Selasa (11/11), Menag menegaskan, dunia membutuhkan paradigma baru yang bersumber dari akar spiritualitas Timur, bukan sekadar diplomasi kekuasaan.
“Wasathiyah Islam dan kebijaksanaan Tionghoa sama-sama menempatkan keseimbangan, keadilan, dan harmoni sebagai nilai universal. Keduanya dapat menjadi fondasi untuk membangun arsitektur perdamaian global dari Timur,” ujar Nasaruddin.
Dalam forum yang dihadiri pemimpin agama dan akademisi dari lebih dari 25 negara, Menag menekankan bahwa dunia kini menghadapi krisis moral dan polarisasi ekstrem. Karena itu, nilai-nilai spiritual dan etika Timur perlu dihidupkan kembali untuk menata ulang tatanan global yang lebih manusiawi.
Baca Juga: Update Korban Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta Jadi 96, 3 Luka Berat
“Semua agama besar lahir dari Timur, Islam, Hindu, Taoisme, Nasrani, dan Yahudi. Ini menandakan bahwa cahaya peradaban berawal dari Timur, dan kini saatnya kita menyalakan kembali cahaya itu untuk dunia,” kata Nasaruddin.
Menag juga mengusulkan konsep holy peace atau “perdamaian suci” sebagai paradigma baru hubungan antarbangsa.
“Tidak ada perang suci. Yang ada hanyalah perdamaian suci. Dunia harus mulai membangun narasi baru yang berakar pada kasih dan kemanusiaan,” tegasnya.
Forum tersebut menjadi ruang penting untuk mempertemukan dua warisan besar, yakni Wasathiyah Islam yang menekankan keadilan dan keseimbangan, serta falsafah Tionghoa klasik seperti Zhong Yong (jalan tengah) dan He (harmoni). Kedua tradisi ini, menurut Menag, bukan sekadar doktrin kultural, tetapi basis moral yang mampu menata kembali hubungan antarbangsa di era ketegangan geopolitik.
Baca Juga: Usai Purna Jabatan, Laksana Tri Handoko Kembali Menjadi Peneliti di Pusat Riset Fisika Kuantum BRIN
“Islam wasathiyah adalah dinul Islam, agama keseimbangan dan keadilan. Ketika nilai ini dipertemukan dengan kebijaksanaan Tionghoa, kita membangun diplomasi nilai, bukan hegemoni,” jelasnya.
Tokoh lintas agama dan akademisi internasional menyambut gagasan tersebut sebagai pendekatan baru dalam diplomasi global.
Prof. Din Syamsuddin, pendiri World Peace Forum sekaligus Co-President Religions for Peace, menyatakan bahwa model dialog peradaban dari Timur dapat menjadi blueprint perdamaian yang lebih berkeadilan.
“Kolaborasi antara Wasathiyah Islam dan nilai-nilai Tionghoa adalah model diplomasi budaya yang bisa melengkapi kebuntuan pendekatan politik Barat. Dunia tidak butuh dominasi, tetapi keseimbangan nilai,” ujarnya.
Baca Juga: Densus 88 Pastikan Ledakan di SMA 72 Jakarta Bukan Aksi Teror
Delegasi dari China, Thailand, Rusia, dan Iran juga menekankan pentingnya menjadikan Asia sebagai episentrum perdamaian baru dunia. “Forum ini membuktikan bahwa spiritualitas dan kebijaksanaan Timur dapat menjadi penyeimbang terhadap pragmatisme global,” ujar Tan Sri Lee Kim Yew, Pendiri Cheng Ho Multi Culture Education Trust (CHMET).
Dengan sejarah panjang pluralisme dan moderasi, Indonesia dipandang layak menjadi pusat diplomasi budaya dan rumah bagi dialog lintas peradaban.
“Indonesia memiliki posisi unik sebagai jembatan antara Islam dan Asia Timur. Dari Jakarta, kita bisa menata ulang masa depan perdamaian dunia yang lebih inklusif,” kata Din Syamsuddin.
World Peace Forum ke-9 diselenggarakan atas kerja sama Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), CHMET, dan Kementerian Agama RI, dengan tema “Wisdom of Wasathiyah Islam and Chinese Civilization for Global Harmony. []
Baca Juga: Polisi Resmi Tetapkan Satu Tersangka Kasus Ledakan di SMA 72 Jakarta
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Belasan Jongko Kayu di Babakan Ciparay Bandung Ludes Terbakar
















Mina Indonesia
Mina Arabic