Oleh: Nurokhim, M.S. (Ulama Jawa Tengah)
Hanya Allah Ta’ala semata yang memiliki kewenangan untuk menilai kualitas puasa hamba-Nya. Oleh karenanya ibadah puasa hanya ditujukan dan diapresiasi Allah sebagai ibadah yang special. Namun demikian bukan berarti kita tidak boleh melakukan refleksi diri tentang ibadah rutinitas yang dilaksanakan setiap tahunnya. Apakah puasanya masih ada yang “bolong tanpa keterangan” dengan membatalkan puasanya tanpa uzur syar’i atau batal pahalanya tanpa diketahui sehingga puasanya tidak memberikan efek positif pada perilakunya, hanya sebatas merasakan lapar (al-juu’) dan haus (al-‘athosy)saja.
Mengapa Rasulullah Saw. memberikan otokritik kepada umatnya sendiri tentang kualitas puasanya. Inilah salah satu bentuk kasih sayang yang beliau miliki agar umatnya melaksanakan perintahnya dengan benar dan tuntas. Benar dan tuntas dalam melaksanakan amar itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman saja, karenanya puasa Ramadhan hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman saja. Orang yang berimanlah yang mampu merespon pesan Allah dengan cepat sekaligus mampu menunaikannya secara totalitas.
Namun persoalannya adalah ditengarahi dengan selesainya ibadah puasa seolah-olah bebas merdeka dari kekangan sehingga pascanya kembali kepada habibat semula, tidak mampu hijrah fi sabilillah. Serangkaian amaliyah Ramadhan yang dimaksimalkan pelaksanaannya menjadi hilang seperti debu yang terkena air hujan tanpa bekas. Perilaku mengendalikan diri dari nafsu yang terlatih selama satu bulan berubah setelah “belenggu setan dilepas”; masjid sebagai jantung peradaban dan budaya kembali sepi, kajian dan kulsub berhenti, infak-sadaqah-zakat berkurang. Bahkan penyakit-penyakit patologi sosial masih membudaya seperti judi, miras, free sex, perceraian, gosip hingga pertengkaran. Bahkan secara jama’i kita mungkin belum mampu mengendalikan ego kita dari sikap ashabiyah, ikhtilaf, iftiraq; masih suka “sendiri-sendiri” dari pada membangun kebersamaan dalam perbedaan, masih suka memperuncing khilafiyah yang bersifat furu’ dengan argumentasi eksklusif-apologis. Penyakit sosial inilah yang menjadi problem umat yang perlu diurai akar masalahnya kemudian dicari solusinya agar umat Islam ini mampu membawa pesan rahmatan lil ‘alamin sebagaimana maksud diutusnya Nabi Muhammad Saw.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
- Menakar Puasa
Jika hendak menimbang barang maka yang perlu diperjelas dulu adalah jenis timbangan yang tepat agar hasilnya akurat. Salah timbangan sebagai wazannya maka berpeluang akurasinya kurang tepat atau salah hasilnya. Terlebih yang hendak ditimbang adalah ibadah puasa yang sangat privasi dan hanya Allah serta dirinya yang mengetahui. Puasa merupakan bagian dari nilai keimanan seseorang yang bersifat abstrak maka menjadi persoalan yang sulit untuk didapatkan akurasi hasil penilaiannya. Meski demikian dengan keterbatasan riset secara empiris, keimanan dapat diteliti dan diukur dari perilaku yang ditimbulkan dari keimanan dalam hatinya. Perilaku-perilaku orang yang berpuasa inilah yang dapat dijadikan sebagai variabel untuk dianalisis sehingga berpeluang diperoleh hasilnya.
Allah Ta’ala mengajak berkomunikasi hanya kepada orang-orang yang beriman sebagai mukhatabnya dari kalangan umat ini sekaligus memerintahkannya kepada mereka agar berpuasa. Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah. Meminjam istilah Imam Abul Fida’ al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam ibadah puasa terkandung hikmah membersihkan jiwa (zakatu al-nufus) sekaligus menyucikannya (thaharatu al-nufus) serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (al-akhlath al-radiah) bagi kesehatan tubuh dan akhlak-akhlak yang rendah (al-akhlaqu al-radzilah). Boleh dikatakan bahwa puasa dapat dilihat secara fisik dan non fisik. Secara hisiyah mampu mengendalikan kebutuhan fisik untuk ditunda sesaat meskipun miliknya halal agar lebih sehat. Adapun secara maknawiyah mampu menundukkan hawa nafsunya dengan lebih memilih upaya untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pesan taqwa adalah mudah dan cepat merespon pesan Allah baik berupa perintah maupun larangan setelah dicharge selama bulan Ramadhan.
Melalui pendekatan holistik kita memiliki peluang untuk menakar kualitas puasa, ternyata puasa mampu membentuk kepribadian manusia secara komprehensif dan integratif. Perkembangan kepribadian tidaklah terjadi begitu saja, melainkan merupakan perpaduan (interaksi) antar faktor-faktor konstitusi; biologi, psiko-edukatif, psiko-sosial dan spiritual. Manusia disebut sebagai makhluk yang berdimensi bio-psiko-sosio-spiritual, Al-Qur’an menyebut dalam penciptaannya sebagai bentuk terbaik (ahsan taqwim). Puasa diharapkan mampu memenuhi semua unsur yang padu sehingga mendapat predikat muttaqin sebagai buah ibadah puasa.
Muttaqin adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dengan lebih mengedepankan perintah-Nya. Adapun perintah Allah dan Rasul-Nya itu mengandung nilai kebaikan/maslahah, sedangkan larangan-larangan itu mengandung nilai kerusakan/mafsadah. Maslahah dan mafsadah itu tidak hanya bagi pelakunya saja tetapi bagi makhluk lainnya hingga alam semesta. Ketaatan itu mengindikasikan melakukan perbaikan di langit dan bumi, sebaliknya maksiat adalah indikator seseorang berbuat kerusakan. Abul Aliyah mengatakan bahwa maksiat kepada Allah hakikatnya ia telah berbuat kerusakan di muka bumi, karena baiknya bumi dan langit itu dikarenakan ketaatan kepada Allah. Semua bentuk maksiat itu akan tumbuh karena mendahulukan hawa nafsunya dengan meninggalkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Perilaku seseorang saat sedang melaksanakan puasa Ramadhan karena melaksanakan perintah-Nya dapat dijadikan indikator kualitas shaumnya. Kita hanya mencoba memerhatikan zhahirnya saja sedangkan batinnya hanya dirinya dan Allah semata yang mengetahuinya. Tidurnya orang yang berpuasa saja berpeluang mendapatkan pahala karena secara pasif mampu melakukan tindakan preventif, pencegahan dari berbuat sesuatu yang dapat membatalkan puasa atau menghilangkan pahala puasa. Jika demikian maka aktivitas yang produktif tentunya lebih berpahala dan berpeluang puasanya lebih berkualitas.
Apresiasi yang Allah berikan pada bulan Ramadhan dengan melipatgandakan pahala kebaikan hamba-Nya yang berbuat kebajikan dapat dijadikan momentum untuk berinvestasi pahala sebanyak mungkin. Ramadhan memiliki daya magnet yang sangat kuat untuk berlomba-lomba dalam meningkatkan kualitas ibadahnya baik secara vertikal (hubungan individu dengan Allah) maupun horizontal (hubungan sosial sesamanya). Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial begitu kuat ditampilkan pada bulan Ramadhan. Perbuatan dosapun banyak yang “tertunda” karena rasa takutnya kepada Allah jika puasanya sia-sia tanpa pahala/ganjaran dari Allah. Pertanyaannya adalah berapa persen amaliyah Ramadhan dapat dipertahankan dan diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan kedepan. Jawabannya bersifat privasi yang dapat dilihat dan dibuktikan besok pasca Ramadhan 1444 H.
- Perilaku Hijrah pasca Ramadhan
Hijrah secara zahir adalah keluar dari negeri kufur (dar al-kufr) menuju negeri iman (dar al-iman) sebagaimana hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Setelah orang Quraisy mengetahui perkembangan Islam, mereka berusaha meneror dan menganiaya para sahabatnya. Raulullah Saw. dan para sahabatnya menolak larangan orang Quraisy dan terus menyebarkan dakwahnya maka amarah orang Quraisy memuncak sehingga mereka sepakat untuk membunuhnya. Mereka berkonspirasi agar tiap kabilah mengirimkan pemuda terbaiknya untuk mengepung sekaligus membunuh Nabi Muhammad Saw. secara bersama-sama agar tidak mudah dituntut oleh keluarganya. Dengan kasih sayang-Nya, Allah menyuruh mereka untuk hijrah ke Madinah. Mereka melaksanakannya dengan penuh rasa takut akan intimidasi dan dihalang-halangi orang Quraisy. Dengan perjalanan yang sangat melelahkan sekitar 450 km, mereka akhirnya sampai ke Madinah dan disambut oleh orang-orang yang sudah masuk Islam di Madinah.
Prolog kisah singkat tersebut dapat dipergunakan untuk mengkaji lebih mendalam tentang filosofi hijrah. Mengkaji hakikat hijrah dengan pendekatan sejarah (historical approach) dapat digunakan dalam membantu memahami agama Islam lebih utuh. Bahkan beberapa ayat dan hadis akan kurang dipahami secara utuh maksudnya jika tidak dilihat konteks sejarah saat itu. Hijrah juga dapat mengandung makna meninggalkan syahwat, akhlak yang tercela dan keliru. Perlulah kiranya kita menata ulang bagaimana hijrah dalam beragama yang berdimensi vertikal dan horisontal, menjadi pribadi yang tekun beribadah yang memiliki kemanfaatan bagi orang lain melalui momentum puasa Ramadhan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Jika kesehatan jasmani dan rohani dapat dijadikan ukuran hikmahnya melaksanakan ibadah puasa (Ibnu Katsir), tentunya orang yang berpuasa makin stabil kesehatannya sekaligus berkurang sakitnya. Sakitnya fisik atau jasmani biasanya yang lebih mengetahui adalah dirinya sendiri, tetapi sakitnya rohani terkadang yang lebih mengetahui adalah orang lain melalui potret perilakunya. Setiap muslim dapat melakukan evaluasi dan refleksi diri tentang pengaruh puasa bagi kesehatan jasmani dan rohaninya. Staminanya makin prima sehingga makin produktif itulah indikasi tattaqun sesuai maksud Allah mewajibkan mukmin untuk berpuasa. Namun jika diberi sakit bisa jadi itulah tanda kasih sayang Allah kepada kita agar lebih ikhlas dan sabar serta sakitnya menjadi penghapus dosanya (kafarat dzunub).
Nuansa Ramadhan dapat dilihat pada bulan-bulan berikutnya, apakah masih stabil amaliyahnya atau labil kembali seperti bulan sebelum Ramadhan. Variabel yang mudah untuk dijadikan ukuran untuk diteliti adalah memakmurkan masjid. Ada indikasi terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas dalam memakmurkan masjid sebagai pusat kegiatan dan konsolidasi umat Islam. Di penghujung Ramadhan saja mulai nampak berbanding terbalik orientasi hidupnya antara masjid dengan pasar/mall jika dibandingkan waktunya di awal dan akhir Ramadhan. Sungguh Rasulullah Saw. memang betul-betul fatonah dengan mengajak umatnya melakukan iktikaf pada akhir bulan Ramadhan agar tidak terjadi disoreintasi hidup saat berpuasa sehingga memiliki efek positif dalam kehidupan sehari-hari baik individual maupun sosial.
Jika dilihat sebagian data sebagai bagian dari indikator untuk mengetahui kesehatan jasmani dan rohani maka dapat diambil beberapa sampel. Dilihat dari jumlahnya, RSU di Indonesia menurut data statistik BPS tahun 2018 memiliki 2.269 dan tahun 2020 memiliki 2.423 (peningkatan jumlah tersebut dapat diartikan makin banyaknya pelayanan kesehatan atau makin banyaknya orang sakit). Adapun taraf kesehatan rohani dapat dilihat dari tingkat kejahatan sebagai penyakit sosial. Angka kriminalitas tahun 2022 naik 7,3 % dari tahun 2021. Jika dirata-rata ada 31,6 kejahatan setiap jamnya. Tingkat kejahatan tahun 2021 ada 257.743 kasus, tahun 2022 mengalami kenaikan menjadi 276.507. Data Pusiknas-Polri tahun 2022 menunjukkan tindak kejahatan di Indonesia meningkat sebesar 16,36 persen dibanding tahun 2021. Persoalan keluarga yang menyebabkan broken home dari data talak/perceraian terus meningkat. Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Angka ini meningkat 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Data perceraian faktor poligami juga masih tinggi, tahun 2021 mencapai 893 dan tahun 2022 mencapai 874.
Dalam dimensi sosial, ada kecenderungan mundurnya perasaan beragama dengan meningkatnya tindakan kriminal, perilaku antisosial, dan kemerosotan moral. Formalitas keberagamaan menjadikan prototipe Islam yang rahmatan lil alamin kurang bermakna. Orang lebih cenderung melaksanakan berbagai ritual ibadah yang bersifat vertikal tapi hampa secara horizontal. Lebih berbahaya lagi perilaku mengamalkan syariat hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja. Jika sudah selesai melaksanakan ibadah seolah-olah tidak merasa bertanggungjawab dengan kepentingan sosial, nasib Islam dan muslimin.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Umat Islam sekarang hidup dalam kepungan ideologi musuh-musuh Allah yang selalu mengancam; komunisme, kapitalisme, sekulerisme, zionisme, dan maisunisme Yahudi yang meruntuhkan semua bangunan agama terutama Islam yang zahiriyahnya ingin menyatukan semua aliran dan agama. Dunia Islam terus mengalami intimidasi dan penderitaan dimana-mana; Palestina, Kashmir, Rohingya, dan negeri-negeri lainnya. Jika formalitas keberagamaan kita cenderung “egois” vertikal, mungkinkah umat ini akan mampu bertahan hidup dalam beragama. Mengapa kita masih berpecah-belah dengan meninggalkan hidup berjama’ah, sedangkan kita ditakdirkan hidup bersaudara dunia-akhirat meskipun tinggalnya berpencar di berbagai negeri dari masyriq hingga maghrib, namun bukan untuk mengedepankan ashobiyahnya.
Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara diharapkan Indonesia makin berperan aktif dalam kancah internasional, waktunya Indonesia berhijrah melalui momentum puasa bulan Ramadhan 1444 H agar menjadi lebih baik. Kita sebagai muslim sekaligus warga negara Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memajukan bangsa ini agar bermartabat dan bermanfaat bagi manusia di dunia. Fitrah manusia adalah mencintai tanah airnya dimana ia lahir dan dibesarkannya sehingga tidak akan melupakannya. Nabi Muhammad Saw. juga kelihatan berat meninggalkan Mekah sebelum akhirnya hijrah ke Madinah sesuai perintah Allah Swt. Dengan konsep cinta tanah air bagian dari nilai keimanan seseorang maka hendakmya seorang muslim pandai bersyukur dengan negerinya sendiri. Predikat mutaqin pasca puasa, tentunya akan didedikasikan untuk bangsanya sendiri sebagai bentuk cinta tanah air. Terlebih tanah air Indonesia yang sangat luas, kaya raya, gemah ripah loh jinawi tata tentrem yang terkadang menjadi “incaran” negara lain yang iri dan hasud. Kita berkewajiban menjaganya menjadi negeri yang terbaik baldatun tayibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang makmur, sejahtera, berkeadilan sosial, rakyatnya berkecukupan dan dosanya mendapat ampunan Allah Ta’ala.
Setiap manusia dibekali rasa cinta terhadap syahwat tetapi diperintahkan untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya sebagai bukti imannya. Perlulah kiranya seorang mukmin menempatkannya secara adil dengan keseimbangan yang benar. Al-Khattabi mengelompokkan cinta pada dua kategori; cinta karena tabiat dan cinta karena upaya/ikhtiar. Cinta kepada syahwat/keinginan berupa wanita, anak, harta berupa emas dan perak, kuda pilihan/kendaraan, binatang ternak, sawah ladang dan lainnya berupa kesenangan dunia, dapat dikategorikan sebagai cinta karena tabiat manusia (thabi’i). Tidak perlu belajar, diklat, nyantri atau kuliah maka setiap orang akan mencintai syahwat tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa yang di sisi Allah adalah yang terbaik. Kalau cinta kepada Allah dan Rasulullah bukan karena tabiat manusia tetapi perlu diupayakan/ikhtiar agar mampu menumbuhkan dalam dirinya cinta tersebut (ikhtiyari). Tanpa ada upaya untuk mendapatkannya maka dirinya tidak akan pernah memiliki rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Indikator mencintai Allah dan Rasulullah Saw. adalah mencintai sesuatu yang dicintai Allah dan membenci sesuatu yang dibenci-Nya, mengutamakan ridha Allah dari pada ridha selain-Nya, berusaha memperoleh ridha-Nya semampunya, menjauhkan hal-hal yang diharamkan sekaligus membencinya, dan mengikuti Rasulullah Saw. dengan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
Di siang hari bulan Ramadhan semua makanan dan minuman beserta suami/isterinya di rumah itu hukumnya halal karena milik pribadi. Tetapi nafsu tersebut perlu dikendalikan dulu untuk tidak mengkonsumsinya sesaat dengan mengedepankan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Barulah saat maghrib tiba diperbolehkan secukupnya saja tanpa berlebih-lebihan hingga terbit fajar. Jika mengendalikan keinginan yang halal saja seorang mukmin mampu, terlebih terhadap yang diharamkan. Hijrahnya kita adalah dengan mengendalikan semua keinginan berupa kenikmatan dunia yang sifatnya sementara untuk memilih kenikmatan hakiki yang ada di sisi-Nya dengan cara mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kemenangan hasil puasa Ramadhan adalah saat seseorang sedang menaati Allah dan Rasul-Nya secara kontinuitas (tidak hanya di bulan Ramadhan). Ingatlah pesan Allah,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
…وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
Artinya: “dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab[33]: 71)
Allahu a’lam wa huwa al-musta’an
(A/R4/P2)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Mi’raj News Agency (MINA)